Mohon tunggu...
Nurmansyah Amirudin
Nurmansyah Amirudin Mohon Tunggu... Administrasi - Tidak sedang merasa baik-baik saja

Jika untuk bergerak saja saya tidak mampu bukan berarti ide-ide gila di kepala saya mati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aliya

2 Agustus 2020   08:34 Diperbarui: 2 Agustus 2020   08:33 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/1/

Sejak pertama mengenalmu, Dik,

aku tidak begitu peduli kau bahagia sebab apa.

Kau berlari menuju entah pun

aku masih tidak ada niat mengejarmu.

Tubuh berkeringat, kau masih saja

sibuk tertawa. Sesingkat detik ternyata

sepi kepalaku terjebak di dalam gelombang

otakmu---yang riuh begitu saja.

Datang tanpa kabar lalu pulang dengan pamit.

Aku harus kembali, Dik, secepatnya

berteman nasib buruk sekali lagi. Dik, maaf

dan terima kasih juga cara semesta

untuk kita belajar sesalnya meninggalkan

tanpa merasa kehilangan.

/2/

Sepertimu, dunia bagai taman bermain

yang di dalamnya

kau bergerak satu senti pun

bahagia bertebaran di sekitarmu.

Perlahan, kami terjebak

di nanar tatap membiru harap.

Kau asyik dengan duniamu dan

kami sibuk menduniakanmu.

Sekali lagi, kami menjadi purba.

Selepas Subuh senyummu belia,

matahari ceria. Dik, cara menyebalkanmu

mirip Bunda, tapi aku lebih mencintaimu.

Satu hal yang aku tahu,

sekarang aku nasib buruk yang membaik

di empat sudut alun-alun menyatu.

Kau peran utama

di tubuhku yang sepi pengunjung.

/3/

Dari bermacam-macam permulaan,

bertanya kabar bukanlah hebatku.

Apalagi mengirim pesan singkat

yang isinya itu-itu saja.

Apa yang disampaikan pagi selain rasa syukur?

Pesan singkat di beberapa surat kabar

atau sesal dari seseorang kemarin malam.

Kurasa keduanya terjadi di waktu yang sama.

Tutup mulutmu ketika kantuk saja,

aku masih penggemar berat senyummu.

Kalau boleh, menjadi satu-satunya.

Jangan bilang Bunda, beliau pasti marah jika tahu.

Biarkan rindu memuncaki rasa

bahkan untuk perempuan cadel sepertimu.

Dik, jangan malu tiba-tiba.

Cinta tidak perlu huruf R sekali pun untuk mencintaimu.

/4/

Dik, denganmu

aku bisa tersenyum tanpa aba-aba.

Denganmu juga,

aku bisa tertawa tanpa pura-pura.

Denganmu juga lagi,

aku bisa terbiasa tersenyum lalu tertawa.

Dik, terima kasih

sudah datang tanpa rencana.

Terima kasih juga,

sudah bersedia meredam kuasa.

Terima kasih juga lagi,

sudah mau membebas-tugaskan

gerak tubuh dan isi kepala

dari orang-orang yang salah sangka.

Dik, sekali lagi

denganmu dan terima kasih.

Sesekali belajarlah mengeja rindu, sebab

di tengah kata itu kau boleh memisalkan aku.

/5/

Kuberitahu sembari kau memakan gigil.

Puisi itu bukan permainan kata-kata melainkan

kidung makna. Hati-hati, dunia sedang dangkal dan kerdil.

Seperti hidungmu

sebenarnya tidak pesek, Dik,

hanya mancung ke dalam saja.

Jika selesai, aku punya teh hangat untukmu agar

dingin sekadar lewat. Kau boleh memangku senja

yang sudah kutimang sejak lama. Di beranda

kata-kata juga pustaka semesta. Akui saja bahwa

kau akan mencintai satu lelaki

yang isinya memberi, bukan pergi.

Tetapi, Dik, kau akan lebih dulu berkelana

Mengenal juga bertanya kabar dengan lainnya.

Kebanyakan yang datang sebagai pelajaran

selebihnya cuma sakit di hati.

Sesekali cobalah bercanda, Dik,

menebak perasaan orang yang pergi

tidak semenyenangkan orang yang kembali.

/6/

Iya, Dik, kau kuncup kembang

yang mulai merekah indah. Menjelma parasmu

juga hidungmu yang sewaktu-waktu

kembang kempis---meliuk menikuk---

ke kanan lalu ke kiri.

Dik, ucapan sepertiku terkadang pedas

apalagi karetnya dua. Aku sering pesan dan tak jarang

mual muntah meriang. Ketika kau ingin bermain

bianglala coba mengikutsertakan Bunda.

Aku takut jika saja

akal sehatmu turut terbalik. Nyata tersamarkan

saat mimpi menjaga imajimu. Lain waktu,

Bunda akan mengajarimu hal baik;

bagaimana caranya bahagia dengan

menyelipkan luka.

/7/

Sempat kutulis selain kamu, Dik,

dan selalu gagal dieja.

Terkadang menjadi kalimat tanya

tidak selalu bisa dijawab juga

saat kau tertawa barang tak ada

kelucuan. Sekali dua kali

menekuk lutut juga dahi

hanya untuk merelakan diri

berulangkali membunuh sepi. Dik,

perhatikan langkahmu pijakanmu

tapak mana yang harus lebih dulu.

Jika kau rapuh, aku juga.

Jika kau jatuh, aku jaga.

Tidak ada yang lebih sederhana

ketimbang perangaimu, Dik, tersebab

aku mencintaimu oleh hal unik dan lucu.

Setelah mendengar tawamu,

melihatmu memasak juga akan menjadi kegemaran.

Dengan rambut dikuncir rapi, misalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun