Sebagaimana kita tahu, bahwa posisi militer dan kepolisian dalam hal ini adalah netral. Tapi masih saja ada oknum-oknum yang mengatasnamakan institusi mereka untuk mendukung salah satu pasangan. Seperti yang terjadi ketika pilkada serentak 2018. Hal ini dibeberkan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beliau mengatakan bahwa terdapat operasi senyap berupa gugus tugas intelijen, baik dari BIN, Polri maupun TNI.
Kasus dalam pilkada serentak 2018 tersebut sangat rasional apabila diperhitungkan. Karena hasil dari pilkada 2018 kemarin merupakan pertarungan pada pilpres 2019 nanti. Hasil-hasil tersebut bisa saja mengubah peta dukungan parpol pengusung. Terutama didaerah-daerah vital seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sehingga wajar apabila ada beberapa pihak yang sangat marah ketika mendengar isu keterlibatan intelijen dalam semarak demokrasi tersebut.
Oknum atau kelompok kecil dalam dunia intelijen apabila membantu dan memberika service demi kepentingan salah satu pasangan calon sangat dilarang, namun bukan berarti tidak ada kemungkinan. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Informasi dan Komunikasi BIN bahwa kerangka kerja intelijen tidak terstruktur, sehingga kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja muncul. Asal tidak menyimpang dan menjadi tanggung jawab pribadi.
Selain keterlibatan intelijen, masuknya para jendral dan eks-jendral kedalam pusaran politik menjadikan militer sangat erat dengan perpolitikan. Disisi lain, jendral adalah seorang figure, pasti dia mempunyai koneksi di institusinya. Ditambah lagi perspektif yang melekat di masyarakat bahwa militer adalah pengayom masyarakat dan stabilitator negara, maka para paslon berlomba-lomba menarik para jendral untuk masuk ke dalam tim kampanye.
Kita lihat pada pilpres 2014 silam, banyak sekali anggota militer baik aktif maupun non aktif yang masuk ke dalam tim kampanye nasional. Dari kubu Jokowi-Kalla misalnya, ada Wiranto, Tyasno Sudarto, Luhut Binsar Pandjaitan, AM. Hendropriyono, Fachrur Rozi, Sutiyoso, Subgayo HS dan Dai Bachtiar. Kemudian di kubu Prabowo-Hatta ada George Toisutta, Kivlan Zen, Djoko Santoso, Johannes Suryo, Widodo AS, Freddy Numberi, Syarwan Hamid dan Adang Darajatun.
Pada pilpres 2019 nanti tak kalah banyak anggota militer yang berpartisipasi di kedua kubu. Bahkan bisa dikatakan lebih massif daripada 2014 kemarin. Dari kubu Prabowo-Sandi misalnya, ada Moekhlas Sidik, Tekho Edhie P, Yunus Yosfiah, Judi Magio Yusuf, Yayat Sudrajat, Musa Bangun, dan Glenny Kairupan. Ketua Tim Pemenangan-nya pun seorang jendral, yakni Djoko Santoso. Selain itu, pengaruh dari Susilo Bambang Yudhoyono dan anaknya Agus harimurti Yudhoyono juga patut diperhitungkan.
Lalu di kubu Jokowi Ma'ruf ada Try Sutrisno, Sidarto Danusbroto, Ginanjar Kartasasmita, Marsetyo, Lodewijk Freidrich Paulus, Herwin Supardjo, Robert J, Moeldoko, Budi Gunawan, Yusuf Kartanegara, Gories Mere dan Djoko Setiadi. Ditambah lagi dukunga dari gabungan puluhan purnawirawan yang tergabung dalam Cakra 19 besutan Hinsa Siburian dan Bravo 5 besutan Luhut Binsar Pandjaitan.
Jika dilihat sekilas, memang banyak sekali anggota militer yang terlibat dalam pilpres 2019. Bahkan dalam pesta demokrasi tersebut tidak hanya adu gagasan dan ide dari para paslon, mungkin bisa dikatakan adu strategi dari para jendral dibalik paslon tersebut. Dan selama proses demokrasi ini berjalan, kita semua berharap agar TNI tetap netral demi terlaksananya pemilu yang adil dan damai.