Mohon tunggu...
Ahmad Ashim Muttaqin
Ahmad Ashim Muttaqin Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Alumni Madrasah Mu'allimin dan penikmat kegaduhan negri.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Adu Strategi Militer dalam Pilpres 2019

30 Desember 2018   22:24 Diperbarui: 1 Januari 2019   22:47 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kompas/thomdean

Dalam pilpres 2019 nanti, terdapat kandidat presiden yang berasal dari militer atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan kemiliteran. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mungkinkah strategi militer ditetapkan di dunia sipil terkhusus pilpres 2019 nanti? Terhadap strategi militer, telah dilakukan banyak adaptasi, agar strategi itu dapat diterapkan dalam pertempuran di dunia sipil.

Dengan kata lain, selain untuk bisnis dan manajemen, strategi militer juga dapat diberlakukan dalam persaingan politik. Dari khazanah klasik, Seni Perang karya Sun Tzu dan Buku Lima Cincin karya Miyamoto Musashi adalah yang paling popular. 

Sebaliknya, Mao Zedong yang bersama Tentara Merah telah melakukan long march selama setahun, maupun berbagai pertempuran melawan pasukan Jepang dan nasionalis Kuomintang, ternyata sampai tahun 1936 belum pernah membaca Sun Tzu secara utuh.

Ini menunjukkan bahwa bagi Mao, yang sebetulnya adalah pemimpin dan ideolog partai, persoalannya bukanlah perbedaan militer dengan sipil, melainkan bahwa didalam kedua ranah itu sama-sama diperlukan strategi. Meski disebut sebagai jenius strategi perang, sebetulnya yang bekerja adalah imajinasi tentang strategi berdasarkan bakat politik Mao.

Dengan begitu, strategi perang militer bias diterapkan dalam politik, dan sebaliknya kiat-kiat politik yang rumit bukan tak berguna dalam pemenangan perang. Dalam berbagai wacana operasi militer, sering terdengar istilah "pendekatan territorial" yang sangat politis, ketika pihak militer dituntut untuk 'bertempur" dengan memenangkan keberpihakan sipil di wilayah yang dikuasainya.

Pernyataan Sun Tzu yang terkenal, "bertempur seratus kali dan mendapat seratus kemenangan, bukanlah yang terbaik dari yang terbaik. Menundukkan lawan tanpa sekalipun bertempur, adalah yang terbaik dari yang terbaik". 

Artinya, betapapun politik itu merupakan alternative yang lebih baik daripada perang. Ini juga mengarah kepada pengertian, bahwa dunia politik bias menjadi penyaluran bakat para ahli siasat, ahli taktik dan strategi militer. Baik dalam keadaan para ahli ini sudah pension, maupun karena kasus tertentu sehingga tidak menjadi anggota militer lagi.

sumber: tempo.co
sumber: tempo.co
Masalahnya, benarkah alih wahana dari strategi militer menuju strategi politik ini bisa menghilangkan ciri kekerasan yang merupakan sifat khas militer? Dalam orang sipil yang berperang seperti Mao, dikatakan bahwa Mao tidak membawa-bawa kesipilannya dalam ranah militer. 

Mungkinkah jika posisinya dibalik akan berlangsung kesetaraan serupa, bahwa dalam ranah sipil para praktisi siasat militer melucuti diri dari kemiliteran, dalam pengertian melepas factor kekerasannya?

Dalam penerapan strategi militer para eks. Jendral yang mendadak terjun ke dunia poltiik, para pengamat dapat membaca dan memperkirakan strategi politiiknya berdasarkan konstruksi teoritik. 

Salah satunya menggunakan metodologi pretorian. Antara moderator pretorian, pengawal pretorian atau pemerintahan pretorian. Akan dapat diperbincangkan, apakah dalam strategi politik itu militerismenya masih dominan, bernegosiasi dengan cara-cara sipil, atauu melebur sama sekali.

Sebagaimana kita tahu, bahwa posisi militer dan kepolisian dalam hal ini adalah netral. Tapi masih saja ada oknum-oknum yang mengatasnamakan institusi mereka untuk mendukung salah satu pasangan. Seperti yang terjadi ketika pilkada serentak 2018. Hal ini dibeberkan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beliau mengatakan bahwa terdapat operasi senyap berupa gugus tugas intelijen, baik dari BIN, Polri maupun TNI.

Kasus dalam pilkada serentak 2018 tersebut sangat rasional apabila diperhitungkan. Karena hasil dari pilkada 2018 kemarin merupakan pertarungan pada pilpres 2019 nanti. Hasil-hasil tersebut bisa saja mengubah peta dukungan parpol pengusung. Terutama didaerah-daerah vital seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sehingga wajar apabila ada beberapa pihak yang sangat marah ketika mendengar isu keterlibatan intelijen dalam semarak demokrasi tersebut.

Oknum atau kelompok kecil dalam dunia intelijen apabila membantu dan memberika service demi kepentingan salah satu pasangan calon sangat dilarang, namun bukan berarti tidak ada kemungkinan. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Informasi dan Komunikasi BIN bahwa kerangka kerja intelijen tidak terstruktur, sehingga kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja muncul. Asal tidak menyimpang dan menjadi tanggung jawab pribadi.

Selain keterlibatan intelijen, masuknya para jendral dan eks-jendral kedalam pusaran politik menjadikan militer sangat erat dengan perpolitikan. Disisi lain, jendral adalah seorang figure, pasti dia mempunyai koneksi di institusinya. Ditambah lagi perspektif yang melekat di masyarakat bahwa militer adalah pengayom masyarakat dan stabilitator negara, maka para paslon berlomba-lomba menarik para jendral untuk masuk ke dalam tim kampanye.

Kita lihat pada pilpres 2014 silam, banyak sekali anggota militer baik aktif maupun non aktif yang masuk ke dalam tim kampanye nasional. Dari kubu Jokowi-Kalla misalnya, ada Wiranto, Tyasno Sudarto, Luhut Binsar Pandjaitan, AM. Hendropriyono, Fachrur Rozi, Sutiyoso, Subgayo HS dan Dai Bachtiar. Kemudian di kubu Prabowo-Hatta ada George Toisutta, Kivlan Zen, Djoko Santoso, Johannes Suryo, Widodo AS, Freddy Numberi, Syarwan Hamid dan Adang Darajatun.

Pada pilpres 2019 nanti tak kalah banyak anggota militer yang berpartisipasi di kedua kubu. Bahkan bisa dikatakan lebih massif daripada 2014 kemarin. Dari kubu Prabowo-Sandi misalnya, ada Moekhlas Sidik, Tekho Edhie P, Yunus Yosfiah, Judi Magio Yusuf, Yayat Sudrajat, Musa Bangun, dan Glenny Kairupan. Ketua Tim Pemenangan-nya pun seorang jendral, yakni Djoko Santoso. Selain itu, pengaruh dari Susilo Bambang Yudhoyono dan anaknya Agus harimurti Yudhoyono juga patut diperhitungkan.

Lalu di kubu Jokowi Ma'ruf ada Try Sutrisno, Sidarto Danusbroto, Ginanjar Kartasasmita, Marsetyo, Lodewijk Freidrich Paulus, Herwin Supardjo, Robert J, Moeldoko, Budi Gunawan, Yusuf Kartanegara, Gories Mere dan Djoko Setiadi. Ditambah lagi dukunga dari gabungan puluhan purnawirawan yang tergabung dalam Cakra 19 besutan Hinsa Siburian dan Bravo 5 besutan Luhut Binsar Pandjaitan.

Jika dilihat sekilas, memang banyak sekali anggota militer yang terlibat dalam pilpres 2019. Bahkan dalam pesta demokrasi tersebut tidak hanya adu gagasan dan ide dari para paslon, mungkin bisa dikatakan adu strategi dari para jendral dibalik paslon tersebut. Dan selama proses demokrasi ini berjalan, kita semua berharap agar TNI tetap netral demi terlaksananya pemilu yang adil dan damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun