Mohon tunggu...
Masanto Riu
Masanto Riu Mohon Tunggu... lainnya -

As my friend said, live the life you love, and love the life you live...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengemis Itu, "Ibuku"

15 November 2013   22:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:07 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tatapan memelas itu terarah padaku. Seorang Ibu-ibu dengan pakaiannya yang lusuh, duduk bersimpuh di pinggir jalan arah kos-kosan yang sering dilalui mahasiswa ini. Seperti biasa kuletakan recehan 1.000 rupiah di gelas plastik yang dia sodorkan padaku, setiap hari, setiap kali melewatinya.

.

Aku tersenyum kepadanya, kemudian berlalu. Hanya aku yang tahu, satu dua tetes air mata senantiasa mencoba lepas dari sudut mataku, sesaat setelah aku melewatinya. Semoga kesabaran diberikan kepadamu wahai Ibu pengemis. Semoga pengorbananmu merendahkan kedudukanmu untuk tujuan tinggi dan mulia, demi keluarga dan anak-anakmu, bukan sekedar berfoya-foya memegahkan rumah seperti yang sering terdengar di berita.

.

Iwan, teman kos yang sering berjalan bersama berkali-kali bertanya, "Kenapa sih lo selalu ngasih ke Ibu-ibu tadi, gw tahu padahal hidup lo pas-pasan, dah gitu orang kayak begitu modus doang fren, dia di kampungnya sana kaya, rumahnya gedong," Aku pun hanya tersenyum menanggapinya, dan menjawab singkat "Biarin Wan, kasihan."

.

#######

.

Lagi-lagi aku tidak mendapati si Ibu pengemis di tempatnya. Sudah sejak kemarin tempat ini, tempat biasa beliau duduk kosong. Tidak ada orang lain disekitarnya yang ada di situ, yang bisa kutanya. Uang receh seribuan yang sudah kusiapkan dari kosan pun tetap kugenggam. Ingin aku mencarinya, tapi tak tahu bagaimana, dimana. Semoga tidak terjadi apa-apa kepadanya.

.

Maafkan aku Ibu pengemis. Hanya seribu ini yang bisa kusisihkan setiap kalinya aku melewatimu. Aku bukan orang kaya, bahkan aku orang miskin. Tapi tetap kusisihkan setiap hari untukmu, karena aku percaya, ada tujuan mulia dibalik susah deritamu. Aku percaya, meskipun banyak pengemis yang mengejar kesenangan sama, dirimu berbeda, dirimu seperti Ibuku dikampung sana, yang pergi setelah Shubuh dan pulang setelah Isya, berkeliling di jalan-jalan, hanya demi anaknya kuliah di kota ini.

.

Air mataku pun mengalir deras, karena teringat pesan Ibuku. "Bu daripada Ibu mengemis pagi hingga malam begini, biarlah Faisal tidak usah sekolah Bu, biarlah Faisal bekerja saja, Ibu istirahat dirumah." "Jangan Nak, kamu belajar saja, biarkan saja Ibu begini, sudah tanggung jawab Ibu, tanggung jawabmu belajar yang rajin, jadi anak pandai, sekolah yang tinggi, dan pastikan keluargamu, dan anak-anakmu, tidak ada yang seperti Ibu."

.

Air mataku semakin tidak terbendung, dan dalam hati aku akan berjanji, anak-anakmu, cucu-cucumu, tidak akan kubiarkan sepertimu wahai Ibu, cukup engkaulah yang berkorban, dan akan kupastikan pengorbananmu tidak sia-sia. Terima kasih Ibu, semoga Allah menerima segala amal kebaikanmu, dan memaafkan segala kesalahan-kesalahanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun