Larry McDonald seharusnya sudah meninggalkan New York dua hari sebelumnya, dengan menggunakan Pan Amerika Boeing 747, tapi dia memilih untuk menunda keberangkatannya dan menunggu Prof. Edward Sano agar dapat pergi bersama sama. Saat itu Larry McDonald, mengantungi jumlah voter suara tertinggi dan akan maju dalam pemilihan di tahun depan, kebijakan Larry yang saat itu yang sangat menentang sistim kapitalisme komunis, menginginkan agar dalam pertemuan 17 negara yang hadir di Seoul nanti akan membuat suatu pandangan baru dalam kebijakan 1 July 1968 yang membuat negara negara maju, akan ikut terlibat dalam tanggung jawab pengembangan nuklir di masa depan.
Namun sebuah tragedi Pesawat Korean Air KAL 007, pada penerbangan 1 September 1983, yang di tembak jatuh oleh Uni Soviet di lepas pantai Sakhalin pada pagi hari, sungguh mengecam dan membuat banyak negara negara di dunia mengutuk Soviet atas perbuatan barbar mereka. Menewaskan hampir 269 penumpang, Keputusan politik yang diperlukan bagi Soviet untuk kepentingan satu tujuan, dengan mengorbankan ratusan orang yang tidak berdosa.
Menurut buku Shootdown - The Verdict on KAL 007Â yang di tulis R.W. Johnson dan di publikasikan oleh Book Club Associates pada 1 January 1986, di jelaskan bahwa sebelum pesawat di tembak jatuh, pilot penerbang sempat merubah laporan sistim navigasi hingga 3 kali sebelum mendarat di Ankora, 587 Km sebelum lepas pantai Sakhalin untuk menurunkan berberapa dokumen. Bagi yang pernah membaca buku karya David Pearson yang berjudul KAL 007 Cover Up, di tulis bahwa 25 menit sebelum pesawat di tembak jatuh, pilot penerbang kedua, sempat menghubungi Menara Pengawas Tokyo, untuk meminta ijin mendarat dan melaporkan kejadian darurat di dalam pesawat namun yang ironisnya, rekaman komunikasi telah hilang sebelum proses penyelidikan di mulai.
David Pearson menulis bahwa, sejak di New York sudah ada berberapa anggota agen KGB yang ikut naik ke dalam peswat dan tidak di ketahui secara pasti apakah Prof. Dr. Edward Sano, telah benar benar tewas dalam tragedi pesawat tersebut dan meninggalkan anak laki lakinya dan istrinya yang sedang mengandung putrinya, atau agen agen KGB dan perwira tinggi Soviet telah menurunkannya di Ankora dan membawanya pergi. Hingga saat ini 32 tahun berlalu masih menjadi sebuah misteri, di mana jasadnya tidak pernah di temukan di antara puing puing pesawat bersama ratusan jasad lainnya.
Ada banyak teori yang di kembangkan lebih jauh oleh Michael Parenti, penulis buku Inventing Reality - The Politics of Mass Media. Di dalam buku tersebut ada sebuah banyak skenario dengan tingkat probabilitas yang cukup akurat dan disertai oleh bukti, namun sangat di sayangkan, Michael Parenti tewas dalam sebuah kecelakaan mobil 3 bulan setelah bukunya di terbitkan. Sejak saat itu buku karyanya telah berhenti di publikasikan.
Dr. Dimitri Azzakov sendiri setelah kembali ke Soviet di tangkap karena di anggap sebagai pengkhianat negara dengan membantu Prof. Dr. Edward Sano, yang menyembunyikan hasil riset dan informasi lainnya.
Dr. Dimitri beserta para assisten dan seluruh keluarganya di culik dan di penjara dan di siksa dengan amat kejam selama 6 tahun, agar bersedia memberitahu hasil riset dan kode sandi Diafragma.
Setelah pihak Soviet tidak mendapatkan hasil yang mereka inginkan, maka Dr. Dimitri Azzakov di eksekusi pada malam hari dalam peristiwa The Drilling Hell dan kasus ini menjadi pemberitaan nasional seperti yang di terbitkan dalam surat kabar Harian Ammennusatia pada Agustus 1989.
The Day of The Green Cobra
Istri dari mediang Prof. Dr. Edward Sano, adalah seorang wanita yang tidak diketahui namanya. Seorang dokter yang bertugas dan menetap di Surabaya mulai tahun 1980 hingga ditangkap dan di culik di kediamannya pada bulan Agustus 1984 tepat satu bulan setelah melahirkan, oleh orang orang yang tidak di kenal dan diasingkan selama bertahun tahun hingga meninggal dunia. Hingga kini pengasuh dan pembantu, yang masih hidup di Magelang Jawa Tengah dan berusia 86 tahun, masih dapat mengingat dan menceritakan semuanya dengan sangat jelas. Tepatnya pada pagi hari minggu pukul 05.10 saat Nyonya Sano terbangun ketika mendengar suara dari ruang tamu, di sana sudah ada 14 orang berseragam TNI lengkap dengan senjata membawanya keluar dan masuk ke dalam mobil.
Prof. Dr. Edward Sano dan istrinya, memiliki satu orang anak laki laki bernama Andrew Sano dan satu anak perempuan yang namanya tidak diketahui. Anak laki laki yang lahir di Jakarta pada tanggal 7 November 1982 dikirim oleh keluarganya ke sebuah keluarga dalam lingkungan Gereja di kawasan Jakarta Selatan. Anak perempuannya yang lahir pada May 1984, dikirim ke Amerika.