Amerika telah menyelesaikan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Selasa, 5 November 2024. Donald Trump menang dengan perolehan suara 50,5 persen, mengungguli Kamala Harris yang memperoleh 47,9 persen suara (Associated Press, 2024).Â
Di sisi lain, Indonesia pada 27 November 2024 juga akan melangsungkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di berbagai wilayah.
"Lain lubuk lain ikan, lain ladang lain belalang," demikian saya mengutip kalimat dari Y.B. Mangunwijaya untuk menggambarkan perbedaan antara dua negara ini. Sederhananya, lain Amerika, lain pula Indonesia.Â
Meskipun kedua negara sama-sama menganut sistem demokrasi, corak pemilihan umum di Indonesia sangat khas dan berbeda.Â
Indonesia yang kental dengan adat ketimuran nyatanya belum sepenuhnya meninggalkan unsur magis dan esoteris dalam penentuan tampuk kepemimpinan.
Mengambil istilah dari Adam Smith, ada "invisible hands" yang turut berperan dalam kontestasi politik, tetapi dalam konteks Pilkada, entitas tersebut dikenal sebagai "dukun."
Pergeseran Makna Dukun dalam Sejarah
Dukun sebagai sebuah profesi dan entitas yang masih eksis hingga kini menjadi bahan kajian yang menarik. Di berbagai periode sejarah, makna "dukun" terus mengalami perubahan.Â
Mengutip penelitian sejarawan Martina Safitry dari UIN Raden Mas Said Surakarta (Republika.co.id, 2022), ada upaya terstruktur untuk menstigmatisasi profesi dukun dalam konteks negatif.
Makna Awal Dukun
Pada tahun 1701, dalam Kamus Inggris-Melayu, dukun didefinisikan sebagai "orang yang punya keahlian khusus" yang meliputi bidang kesehatan, pengobatan, dan keterampilan lainnya. Di masa itu, dukun lebih dikenal sebagai penyedia jasa pengobatan atau praktisi kesehatan, yang keahliannya dihormati tanpa terlalu banyak unsur magis.
Transformasi Definisi di Awal Abad ke-20
Seiring waktu, definisi dukun mulai mengalami perubahan. Pada tahun 1917, makna dukun berkembang menjadi "pribumi yang memiliki berbagai keahlian," termasuk medis. Transformasi ini masih mencerminkan dukun sebagai praktisi pengobatan yang berperan besar dalam kesehatan masyarakat.
Dominasi Unsur Magis
Perubahan besar terjadi pada tahun 1939 dalam Kamus Sastra Jawa, di mana dukun mulai lebih diasosiasikan dengan unsur magis. Mereka digambarkan sebagai sosok yang mampu mengobati penyakit dengan menggunakan mantra atau jampi-jampi.Â
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemudian mendefinisikan dukun sebagai orang yang mengobati dengan unsur magis dan jampi. Pergeseran ini mencerminkan semakin kuatnya asosiasi dukun dengan praktik-praktik supranatural.
Upaya Stigmatisasi Profesi Dukun
Menurut catatan Friztiani dalam sumber yang sama (Republika.co.id, 2022), keberadaan dukun bahkan dianggap sebagai ancaman bagi profesi medis modern pada zamannya. Ada upaya terstruktur untuk menstigmatisasi profesi ini agar tidak menghambat perkembangan kedokteran modern di Indonesia.Â
Hal ini memperjelas posisi dukun dalam masyarakat, yaitu sebagai figur yang dihormati dan dianggap berpengaruh, tetapi mulai dibayangi stigma.
Dalam tulisan ini, pengertian dukun yang dirujuk kembali ke makna awal dalam Kamus Inggris-Melayu tahun 1701, yaitu "orang yang punya keahlian khusus" di berbagai bidang.Â
Makna ini memberikan pemahaman yang lebih luas tentang dukun, tidak terbatas pada unsur magis, tetapi juga keahlian praktis yang dipercaya masyarakat.
Demand Dukun Kultural dan Dukun Intelektual
Dalam konteks perebutan kekuasaan seorang penguasa harus ingat bahwa apa pun yang mendatangkan keberhasilan adalah karena kekuasaan. Machiavelli mengungkapkan Untuk memperoleh kekuasaan politik, ia dapat menggunakan segala jenis cara, semua politik adalah politik kekuasaan (rgu.ac.in, 2021). Pilkada merupakan kontestasi perebutan kuasa.
Secara historis kekuasaan jawa bermula dari wisik dukun kultural, sebut saja kemaharajaan ken arok yang bermula dari ramalan pendeta Lohgawe, joko tingkir naik tahta sesuai ramalan Sunan Giri, begitupula dengan ramlan panembahan senopati sebagai raja alas mentaok. Dukun kultural melekat erat dengan perebutan kekuasan hingga hari ini.
Disisi lain, Dukun intelektual yang merupakan produk dari Ilmu Pengetahuan modern, melembaga dan menjadi entitas baru dalam konteks perebutan kuasa. Meminjam istilah Antonio Gramscy, dukun intelektual adalah "intelektual organic" yang memanfaatkan pengetahuan dan analisis untuk memengaruhi opini publik atau memberikan wawasan dalam pengambilan keputusan yang penting bagi pengguna.Â
Umumnya personilnya berisi pakar, akademisi dan konsultan politik, yang menyediakan seperangkat metodologi, data, dan taktik praktis ilmiah untuk mencapai tujuan memperoleh kekuasaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam konteks Pilkada, kepercayaan masyarakat terhadap dukun, baik yang kultural maupun intelektual, tetap menjadi bagian integral dalam proses demokrasi.Â
Di tengah persaingan politik yang ketat, kesaktian dukun masih dipercaya sebagai faktor yang mampu memengaruhi hasil akhir sebuah perpaduan unik antara warisan budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam demokrasi Indonesia. lantas mana yang lebih sakti? Silahkan tunggu hasil penghitungan suara pasca pilkada 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI