Mohon tunggu...
Agung Santoso
Agung Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Tertarik dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals (TPB/SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Doom Spending, Bom Waktu Keuangan Generasi Z

6 November 2024   21:21 Diperbarui: 6 November 2024   21:52 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.netizenwatch.com

Kemudahan belanja online hanya dengan sekali klik membuat konsumen semakin "sulit" menahan keinginan untuk membeli barang yang mungkin tidak mereka butuhkan. 

Bagi generasi milenial dan Generasi Z yang tumbuh di era digital, godaan ini semakin besar. 

Salah satu fenomena konsumsi yang menjadi perhatian adalah doom spending, yaitu kebiasaan belanja impulsif untuk meredakan stres atau kecemasan, terutama saat merasa pesimis terhadap kondisi ekonomi atau masa depan.

Fenomena ini pertama kali dibahas oleh Bruce Y. Lee, seorang Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dari City University of New York, yang menyebutkan bahwa doom spending sering terjadi di Amerika Serikat ketika seseorang merasa tertekan oleh faktor-faktor seperti kekacauan politik, perubahan iklim, dan kondisi global lainnya (sumber: detik.com, 2024). 

Pada dasarnya, orang yang terjebak dalam doom spending menggunakan belanja sebagai pelarian dari perasaan ketidakpastian, meskipun perilaku ini sering kali justru memperparah masalah keuangan pribadi mereka.

Di Indonesia, fenomena ini juga menarik perhatian para pakar. Riza Wahyuni, psikolog dari Universitas 17 Agustus Surabaya, menyebutkan bahwa doom spending bukan hanya masalah belanja, tetapi berdampak besar pada kesehatan mental. "Ketika utang semakin menumpuk, tagihan terus masuk, dan sulit dibayar, mereka menjadi tertekan, rentan terhadap depresi, bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup sebagai jalan keluar," ungkap Riza (sumber: 30/9/2024). 

Demikian juga, Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., psikolog dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa orang yang melakukan doom spending biasanya sedang mengalami stres, kecemasan, kebosanan, atau kesepian (sumber: republika.co.id, 2024). Menurut survei di laman Psychology Today tahun 2023, doom spending lebih umum terjadi pada generasi milenial (43%) dan Gen Z (35%).

Menerapkan Filosofi "Eling lan Waspodo" untuk Mengatasi Doom Spending

Meluasnya fenomena doom spending jelas menjadi masalah serius yang perlu diatasi agar lebih banyak orang terhindar dari dampak finansial dan psikologis yang merugikan. 

Dalam konteks ini, kita dapat mengambil inspirasi dari filosofi Jawa, yaitu "eling lan waspodo" atau "ingat dan waspada." Filosofi ini mengajarkan kesadaran diri dan kewaspadaan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. 

Nilai eling lan waspodo mendorong seseorang untuk lebih tenang dan terkontrol saat berhadapan dengan godaan atau tekanan.

Para ahli psikologi menyarankan bahwa kunci utama untuk mengatasi doom spending adalah dengan pengendalian diri. 

Dalam hal ini, menerapkan filosofi eling lan waspodo menjadi sangat relevan dan dapat diterapkan secara praktis melalui teori habit loop dari Charles Duhigg, yang terdiri dari tiga elemen utama: pemicu (cue), rutinitas (routine), dan ganjaran (reward).

1. Pemicu (Cue) Pemicu dalam doom spending biasanya berupa emosi negatif seperti stres, kecemasan, atau kebosanan. Filosofi eling mendorong kita untuk sejenak berpikir: "Apakah saya benar-benar membutuhkan barang ini, atau ini hanya keinginan sesaat?" Pertanyaan ini dapat membantu kita untuk menyadari emosi yang memicu dorongan berbelanja, sehingga kita lebih mampu mengendalikan diri dan menghindari keputusan impulsif.

2. Rutinitas (Routine) Setelah menyadari pemicu, kita memasuki tahap rutinitas. Alih-alih langsung menekan tombol "beli," filosofi waspodo mengajarkan kita untuk waspada dan berpikir kritis terhadap keputusan tersebut. Kita dapat mencoba beberapa langkah praktis berikut sebagai rutinitas alternatif:

  • Menunda pembelian: Biarkan barang di keranjang selama 24 jam. Waktu ini dapat membantu kita mengidentifikasi apakah barang tersebut benar-benar kebutuhan atau hanya keinginan sesaat.
  • Catat pemicu: Amati pola-pola emosi atau situasi tertentu yang mendorong kita untuk berbelanja secara impulsif. Menyadari pola ini akan memudahkan kita untuk mengenali dan mengatasi pemicu di masa mendatang.
  • Alihkan aktivitas: Gantikan kebiasaan berbelanja dengan aktivitas lain yang lebih sehat, seperti berjalan-jalan, meditasi, atau mengobrol dengan teman.

3. Ganjaran (Reward) Jika rutinitas baru ini berhasil diterapkan, ganjaran berupa kepuasan diri akan muncul sebagai bentuk apresiasi atas kemampuan kita dalam mengendalikan diri. Kepuasan batin, keuangan yang lebih stabil, dan kesehatan mental yang lebih baik menjadi ganjaran utama dari keberhasilan menerapkan filosofi eling lan waspodo dalam menghadapi doom spending.

Dengan memahami dan menerapkan filosofi eling lan waspodo melalui skema habit loop, kita bisa lebih bijak dalam mengelola dorongan berbelanja, sehingga dapat terbebas dari dampak negatif doom spending.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun