Menurut beliau, "Menulis adalah seni yang membutuhkan sentuhan personal. AI sebagai teknologi pembelajaran mesin masih terbatas dalam mengekspresikan emosi dan intuisi, sehingga hasilnya kerap terasa kaku."
Sementara itu, Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR, menekankan bahwa AI tidak dimaksudkan untuk menggantikan manusia, melainkan untuk membantu meringankan tugas-tugas rutin.Â
"Ini adalah hal penting yang harus dipahami agar tidak terjadi salah persepsi. Dengan pemahaman yang tepat, AI bisa menjadi alat bantu yang mempercepat pekerjaan tanpa mengurangi peran manusia itu sendiri," ujarnya.
Berpegang pada Nilai
Kesiapan dalam menghadapi perubahan teknologi bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga kesiapan mental dan spiritual. AI menawarkan peluang besar bagi mahasantri untuk memperdalam ilmu dan memperluas cakrawala dakwah.Â
Namun, tanpa pemahaman yang benar, AI juga bisa menghadirkan tantangan. Maka, momen perayaan Hari Santri ini hendaknya menjadi refleksi bagi mahasantri untuk melihat AI sebagai peluang untuk memperkaya pengetahuan dan dakwah, sembari tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip keagamaan dan kearifan lokal.
Dengan memanfaatkan AI secara bijak, mahasantri diharapkan tidak hanya mampu bersaing dalam bidang akademis tetapi juga menjaga dan menguatkan nilai-nilai tradisi yang diwariskan. Inilah tantangan sekaligus peluang bagi mahasantri untuk menyongsong era baru, dengan tetap berakar pada prinsip yang kokoh dalam iman dan ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H