Perayaan Hari Santri tahun ini menjadi momen yang berkesan bagi saya.Â
Saat mengikuti acara Kuliah Umum di Institut Agama Islam Daruttaqwa (INSIDA) yang bekerja sama dengan LAKPESDAM NU Gresik, diskusi tentang Artificial Intelligence (AI) mengundang perhatian dan melahirkan berbagai pertanyaan dari kalangan mahasantri.Â
Mereka menyampaikan kekhawatiran mengenai bagaimana teknologi ini dapat memengaruhi pendidikan agama, nilai-nilai yang dijunjung, serta relevansi ilmu agama di tengah perkembangan digital yang begitu pesat.
Santri dan Makna Tradisi dalam Teknologi
Mengacu pada pendapat C.C. Berg, istilah "santri" berasal dari bahasa India "shastri," yang berarti seseorang yang memahami kitab suci atau teks-teks agama Hindu.Â
Gus Mus juga menyampaikan bahwa santri adalah murid yang dididik oleh kiai dengan penuh kasih sayang agar menjadi mukmin yang kuat, yang tidak mudah goyah oleh pengaruh lingkungan atau perbedaan.Â
Kini, istilah baru "mahasantri" muncul sebagai sebutan bagi santri yang menempuh pendidikan akademik di perguruan tinggi, yang diharapkan dapat memadukan penguasaan ilmu agama dengan ilmu akademis (Alfinnas, 2018).
Namun, di era yang sarat dengan teknologi seperti AI, muncul pertanyaan penting, siapkah mahasantri menghadapi dan memanfaatkan AI, teknologi yang kian relevan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan dakwah?
Kacamata Ahli
Keresahan para mahasantri ini direspons oleh Prof. Dr. Hj. Evi Fatimatur Rusydiyah, M.Ag., dari UIN Sunan Ampel Surabaya, yang menganjurkan agar mahasantri memperkuat literasi digital, tetapi tetap tidak sepenuhnya bergantung pada AI dalam riset dan penulisan.Â