Mohon tunggu...
Agung Santoso
Agung Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Tertarik dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals (TPB/SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Titik Nadir Kuasa Semu

17 Oktober 2024   20:02 Diperbarui: 17 Oktober 2024   20:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah manusia adalah rangkaian perebutan kendali antar satu dengan yang lain. Pemegang kendali memegang sebuah ilusi yang bernama "kuasa" terlihat cemerlang di muka, gemerlapan, namun menyimpan noda kegelapan yang tak bisa dihapus sepanjang hidup. Kekuasaan, yang di mata dunia seringkali tampak tak tergoyahkan, bisa runtuh dalam sekejap ketika fondasinya dibangun di atas ketakutan, penindasan, dan kebohongan.

Sejarah penuh dengan contoh tragis dari para pemimpin yang pada puncak kekuasaan mereka percaya bahwa mereka tidak terkalahkan. Namun, pada akhirnya, kekuasaan yang semula tampak kokoh itu justru runtuh akibat tindakan-tindakan mereka sendiri. Ini adalah kisah tentang bagaimana kekuasaan yang dibangun di atas fondasi otoritarianisme dan ilusi bisa hancur, meninggalkan jejak kehancuran dan penderitaan bagi mereka yang berkuasa maupun rakyat yang dipimpin.

Jebakan Otoritarianisme

Otoritarianisme, sebagaimana didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah tindakan berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Pemimpin otoriter cenderung merasa diri mereka paling benar dan menolak segala bentuk kritik atau masukan. Mereka mengendalikan kekuasaan melalui ketakutan, menghambat kebebasan berpikir, dan membungkam suara yang berbeda.

Dalam sejarah, banyak pemimpin otoriter yang terjebak dalam ilusi bahwa kekuasaan mereka abadi. Mereka menganggap diri mereka tak tergoyahkan karena berhasil menundukkan oposisi dan mengendalikan negara dengan tangan besi. Namun, di balik kontrol yang ketat, retakan-retakan mulai muncul, baik dalam bentuk ketidakpuasan rakyat, korupsi di dalam birokrasi, atau perpecahan internal di lingkaran kekuasaan. Lambat laun, kekuasaan mereka mencapai titik nadir ketika retakan-retakan kecil tersebut membesar dan menghancurkan fondasi yang tampak kokoh.

Titik Nadir Kuasa yang Rapuh

Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa pemimpin yang berusaha mempertahankan kekuasaan melalui penindasan, kebohongan, dan ketakutan pada akhirnya akan jatuh. 

Siapa tak kenal Adolf Hitler yang membantai ribuan manusia dibawah bendera NAZI Berakhir dengan bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri, tak kuat menanggung akibat manipulasi otoriternya.

Benito Mussolini dictator italia yang menerima ganjaran atas perilakunya dengan digantung secara terbalik di Milan tak lupa mendapatkan cemoohan dan sesi dipermalukan oleh rakyat. 

Jangan lupakan Shah Mohammad Reza Pahlavi, Iran yang menjadi buron sebagai konsekwensi kejatuhannya akibat terlampau sadis memerintah dengan tangan besinya.

Titik nadir kuasa semu adalah pengingat abadi bahwa kekuasaan yang tidak didasarkan pada keadilan, keterbukaan, dan rasa hormat terhadap hak-hak rakyat hanya akan membawa kehancuran. 

kekuasaan sejati lahir dari rasa kepercayaan, dialog, dan keterbukaan.

 

"Sejarah Holocaust belum berakhir. Presedennya abadi, dan pelajarannya belum dipelajari."

 Timothy Snyder

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun