"Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran,"Â - Goebbels.
Â
Era modern yang ditopang oleh ekosistem digital menjadi lahan subur bagi tumbuhnya post-truth, atau pasca-kebenaran, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia.Â
Menurut Kamus Oxford, "post-truth" berarti situasi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi.Â
Dalam dunia post-truth, fakta menjadi kurang penting dibandingkan dengan perasaan dan keyakinan pribadi, yang sering kali lebih memengaruhi pembentukan opini.
Bahaya Greenwashing
Istilah greenwashing sudah dikenal sejak tahun 1980-an, diperkenalkan oleh aktivis lingkungan Jay Westerveld.Â
Westerveld mengkritik kampanye "save the towel" yang dilakukan oleh banyak hotel, yang hanya mengajak tamu untuk menggunakan handuk lebih dari sekali dengan dalih menghemat air dan energi.Â
Ironisnya, meskipun hotel-hotel tersebut mengklaim peduli lingkungan, banyak limbah masih ditemukan di seluruh area hotel. Westerveld menegaskan bahwa kampanye ini sebenarnya hanya strategi untuk mengurangi biaya operasional dan mencoba memperoleh simpati publik dengan citra ramah lingkungan yang palsu (Lindungihutan.com, 2024).
Menurut Will Kenton (2020), greenwashing adalah proses penyampaian pesan palsu atau memberikan informasi yang menyesatkan tentang produk seolah-olah lebih ramah lingkungan.Â
Ini merupakan klaim yang tidak berdasar untuk menarik perhatian konsumen agar percaya bahwa produk mereka berkontribusi positif terhadap lingkungan.Â
Mongabay.co.id (2021) juga mencatat bahwa greenwashing merupakan strategi pemasaran yang digunakan perusahaan untuk menciptakan persepsi bahwa produk atau proses produksinya ramah lingkungan, padahal kenyataannya tidak.Â
Beberapa cara yang sering digunakan dalam greenwashing adalah dengan memberikan label pada produk yang menunjukkan bahwa produk tersebut ramah lingkungan, atau melalui iklan yang menekankan manfaat lingkungan dari produk tersebut.Â
Namun, dalam praktiknya, produk yang dipasarkan atau proses produksinya seringkali tidak memenuhi klaim tersebut dan bahkan dapat berdampak buruk bagi lingkungan.
Praktik-praktik Buruk Greenwashing
Dalam catatan Tempo.com (2023), ada lima jenis praktik greenwashing yang sering dilakukan oleh produsen:
- Citra Ramah Lingkungan: Produsen sering menggunakan gambar dedaunan hijau, hewan, atau kemasan yang terlihat ramah lingkungan untuk menciptakan kesan bahwa produk mereka peduli terhadap lingkungan, padahal kenyataannya tidak.
- Label yang Menyesatkan: Beberapa produk sering diberi label seperti "Sudah Disertifikasi" atau "100% Organik" tanpa ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
- Pertukaran yang Tak Terlihat: Produsen sering kali mempromosikan kebijakan yang terlihat ramah lingkungan, tetapi pada kenyataannya praktik mereka yang tidak ramah lingkungan disembunyikan dari publik, seperti masalah sampah plastik di tempat pembuangan akhir.
- Tidak Memberikan Informasi: Produk tertentu, seperti air minum dalam kemasan (AMDK), mungkin tidak memberikan informasi lengkap tentang kandungan kimia berbahaya yang terdapat di dalamnya.
- Berbuat Seolah Jujur, tapi Tetap Berbahaya: Ada juga produsen yang mengklaim transparan, namun produk mereka tetap memiliki dampak yang berbahaya bagi manusia atau lingkungan, seperti rokok organik.
Era post-truth mengingatkan kita untuk lebih selektif dalam memilih produk dan memeriksa informasi yang benar. Kesalahan dalam menilai informasi produk dapat berkontribusi pada kerusakan lingkungan yang kita coba lindungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H