Perjudian telah berusia sama tuanya dengan peradaban manusia.Â
Layaknya pelacuran, perjudian merupakan salah satu produk dari peradaban manusia yang tak akan pernah dapat dimusnahkan sepenuhnya dari muka bumi.Â
Namun, ini bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi dampaknya. Dalam konteks modern, judi online telah menjadi masalah yang semakin mendesak untuk ditangani.
Pembakaran seorang anggota polisi oleh istrinya yang diduga kesal akibat sang suami kecanduan judi online membelalakkan mata publik, seolah tak percaya dampak judi online sedemikian besarnya. Kasus ini hanya puncak dari gunung es.Â
Laporan-laporan perceraian keluarga dari berbagai wilayah di Indonesia yang menjadikan "judi online" sebagai dasar gugatan menjadikan semakin terang fakta bahwa judi online butuh ditangani secara serius.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, terjadi 408.347 kasus perceraian dengan berbagai alasan.Â
Mirisnya, kasus perceraian akibat judi online maupun offline mengalami kenaikan signifikan. Data berikut menunjukkan jumlah kasus perceraian akibat judi di berbagai provinsi:
Kasus perceraian tertinggi akibat judi berada pada provinsi Jawa Timur, kemudian disusul oleh Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Budaya Sebagai Benteng Pertahanan
Budaya, menurut E.B. Tylor, adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, adat istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.Â
Sementara dalam pandangan Koentjaraningrat, budaya adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.Â
Kedua definisi ini menegaskan bahwa budaya mencakup berbagai aspek kehidupan yang dapat memainkan peran penting dalam mengatasi masalah sosial seperti judi online.
Relevansi Pendekatan Budaya
Dalam konteks pengikisan judi online, budaya mampu memainkan peran penting.Â
Mengingat sejarah, seperti bagaimana Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi, mampu mempengaruhi publik melalui teknik "illusion of truth," kita bisa belajar bahwa pengulangan informasi secara berkala dan massif bisa mengubah persepsi publik.Â
Namun, kita perlu menggunakan teknik ini secara positif untuk menyampaikan pesan-pesan anti-judi online.
Era Digital dan Budaya
Mengatasi judi online melalui pendekatan budaya harus menyesuaikan dengan jiwa zaman.Â
Kegemilangan Sunan Kalijaga dalam menginfluence masyarakat Jawa untuk memeluk agama Islam melalui pagelaran wayang dan tradisi lainnya tidak relevan dengan era digital ini.Â
Demikian juga dengan metode patron-klien yang digunakan oleh Mr. Coolen, Kyai Sadrach, dan Ki Tunggul Wulung dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa.
Saat ini, ekosistem digital adalah penopang kebudayaan. Oleh karena itu, produk-produk budaya digital seperti gambar, foto, video, dan unggahan media sosial yang didesain khusus untuk menginformasikan tentang bahaya dan kerugian serius akibat judi online harus dialirkan secara deras pada kanal-kanal platform digital.Â
Inisiatif ini perlu dikolaborasikan dengan semua stakeholder, termasuk media, akademisi, pemerintah, industri, dan para influencer agar massif dan terdistribusi dengan baik.
Mengikis judi online melalui pendekatan budaya adalah strategi yang berpotensi besar namun sering kali diabaikan. Dengan memanfaatkan nilai-nilai budaya, tradisi, dan kekuatan komunitas, kita dapat menciptakan kesadaran yang lebih dalam dan dukungan yang lebih personal dalam memerangi judi online.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H