Oleh Masad Masrur
Berkunjung ke Amsterdam, Den Haag dan Leiden memiliki kesan tersendiri. Dari Kota-kota inilah dahulu Nusantara dijajah dan dikendalikan. Sebetulnya apa istimewanya kota-kota ini. Bagaimana kota dibangun, kebiasaan penduduknya, tempat-tempat eksotisnya, kulinernya, dan para pendatangnya. Menurut kami, ini perlu diceritakan.
Ketika kami menginjakkan kaki pertama kali di Bandara Internasional Schiphol, yang terbanyang di benak kami adalah kebesaran bandara ini.Â
Bandara ini besar, termasuk yang tervbesar di dunia. Konon, Berbeda dengan bandara utama di negara lainnya, bandara internasional ini ternyata dibangun pada 6.5 meter di bawah permukaan laut.Â
Begitu keluar bandara, rombongan kami dijemput oleh sopir dan menuju Kota Amsterdam. Sepanjang jalan menuju Amsterdam, di kanan-kiri kami, terlihat banyak keunikan yang tentu saja tidak didapat di negeri sendiri.
Belanda memiliki lahan yang tidak terlalu luas. Untuk itu, lahan-lahan pemakaman yang ada di Belanda hanya dapat disewa dalam waktu yang terbatas. Penyewaan lahan pemakaman tersebut berkisar selama 10, 15 dan 20 tahun. Tanah di Belanda memiliki struktur yang datar, jadi orang-orang Belanda sangat gemar bersepeda saat menjalankan aktivitasnya di negara ini.Â
Total sepeda yang ada di negara ini lebih dari 18 juta, membuat jumlah sepeda yang ada melampaui jumlah populasi manusia yang ada. Warga Belanda juga terkenal karena kegemarannya minum kopi, menjadi yang teraktif di dunia, setelah warga Skandinavia.Â
Umumnya, orang Belanda minum 140 liter kopi, diikuti 74 liter bir. Saat pertama kali datang ke negara ini, hati-hati dengan penyebutan istilah coffee shop, karena coffee shop di Belanda adalah kafe yang dilegalkan untuk menjual mariyuana, berbeda dengan coffee shop yang ada di negara lainnya.
Amsterdam
Amsterdam adalah kota terbesar sekaligus ibu kota Belanda. Amsterdam memiliki jumlah penduduk sebanyak 783.364 jiwa di dalam batas kota, populasi perkotaan 1.209.419 jiwa dan populasi metropolitan 2.158.592 jiwa.Â
Jangan dibayangkan dengan Jakarta yang penuh sesak, Kota Amsterdam, menurut kami nyaman untuk ditinggali dengan jumlah penduduk yang sedikit. Tetapi, meski penduduknya sedikit, mereka berasal dari berbagai daerah di dunia, terutama dari negara bekas jajahan Belanda seperti Suriname atau Indonesia.
Belanda memiliki sejarah panjang dengan negara Indonesia. Dengan demikian, banyak sekali bahasa Indonesia yang memiliki persamaan arti dengan bahasa Belanda. Kata-kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti sama dengan bahasa Belanda contohnya adalah tas, gratis, docent untuk dosen, kantoor yang artinya kantor, dan banyak lagi.Â
Disamping itu, 95% warga Belanda pun fasih menggunakan bahasa Inggris dan menjadi bahasa kedua mereka, sehingga tidak perlu bingung menjalin komunikasi dengan orang lokal.Â
Warung makan Indonesia pun pun juga banyak ditemui di kota ini, tentu saja dengan penjual dari Indonesia dan mempekerjakan pendatang dari negara lain seperti orang Afrika. Makan siang kami waktu di Amsterdam adalah di RM.Â
Boenda bersama Bu Yayah yang asli Betawi melayani kami dengan menu-menu khas Indonesia seperti rendang, tempe, pecel, dan lain-lainnya.
Prostitusi dan perkawinan sesame jenis dilegalkan di Belanda. Tak aneh, ketika kami berkeliling di kota ini, kami ditunjukkan daerah "remang-remang" yang menjadi tempat portitusi legal di Amsterdam: red light district. Red light district adalah daerah tempat prostitusi di Belanda, yang sudah terkenal di dunia sejak abad ke-14.Â
Entah bagaimana sejarah dinamakannya kawasan ini sebagai red light district, bisa jadi dikarenakan sinar lampu berwarna merah semarak yang dominan terlihat di malam hari di sepanjang kawasan ini. Lokasi red light district terletak tidak jauh dari pusat keramaian Dam Square.Â
Di area yang terletak di bagian selatan kota Amsterdam ini terdapat banyak  toko/sex museum, coffee shop, restaurant, bar dan juga lebih dari 250 jendela-jendela yang mempertunjukan gadis-gadis sexy dengan lingerie (pakaian dalam). Gadis-gadis ini dipamerkan dibalik pintu kaca yang disinari lampu merah.
Kota Amsterdam yang terbelah menjadi dua oleh kanal (Sungai Amstel) ini memang rupanya sangat terkenal dengan kawasan red light district-nya.Â
JIka kita menggunakan kapal boat mengarungi kanal ini, kita akan melihat dua jalur red light district di sepanjang jalur tersebut yang dipenuhi oleh para pengunjung-pengunjung penasaran.Â
Di kawasan yang disebut Rossebuurt (red light district) inilah kita bisa menemukan seluruh euforia kebebasan negeri Belanda. Cukup untuk berjalan kaki di sepanjang jalan Oudezijds Achterburgwal, maka akan ada banyak sekali bisnis "haram" yang bisa kita lihat. Mulai dari bar untuk para gay, bisnis prostitusi, dan legalitas untuk mempergunakan cannabis/marijuana (ganja/cimeng).
Den Haag
Seusai di Amsterdam, perjalanan menuju Den Haag melewati beberapa lahan yang luas dengan rumah dan kincir angin, tentu mengasyikan. Lahan milik penduduk desa, biasanya memiliki sapi yang dilepasliarkan. Cuaca siang itu hanya berkisar 8oC ketika minibus yang membawa kami melewati beberapa rumah dengan kincir anginnya.Â
Suhu yang sudah sangat dingin untuk kita yang terbiasa di alam tropis menjadi bertambah menggigit karena angin yang berhembus kencang. Â Jangan terkecoh dengan terik matahari karena walaupun sinar matahari terang menyinari, hawa yang berhembus tetap saja terasa sangat dingin. Maklum, waktu kunjungan kita waktu itu adalah di akhir September, sebulan menjelang peralihan musim gugur ke musim dingin.
Den Haag resminya 's-Gravenhage adalah sebuah gemeente, kota pemerintahan Belanda dan tempat parlemen, serta ibu kota provinsi Zuid-Holland (Holland Selatan). Kata Den Haag artinya secara harafiah adalah "pagar". Sejak tahun 1602/1603 pimpinan kota mulai menggunakan nama des Gravenhage secara resmi, yang dianggap lebih indah dan artinya kurang lebih adalah "pagar milik para bangsawan". Memang kota Den Haag bermula dari sebuah wilayah kecil yang dipagari.
Di Kota Den Haag inilah kami serombongan menginap di Hotel Easy dan sarapan pagi di Restaurant Parks. Jalan-jalan di kota ini tidak terlalu ramai. Kami sempat berkeliling kota dengan jalan kaki sambil mencari restoran Indonesia.Â
Namun, malam itu, kami menemukan retoran Suriname yang menyediakan nasi pada pelanggannya. Suhu yang dingin, sekitar 17o-11o Celcius tidak terlalu kami hiraukan, kami tetap menikmati malam hingga larut, tak terasa sampai di hotel sudah pukul 11 malam.
Di Kota ini, selain di Gedung Binnenhof, kami juga mampir ke KBRI Den Haag. The Binnenhof adalah kompleks bangunan di pusat kota Den Haag, di samping danau Hofvijver, yang dibangun pada abad ke-13. Sedikit yang diketahui tentang asal-usul Binnenhof, namun sejarah menyebutkan pada 1584, tempat ini menjadi tempat pertemuan yang dibentuk Serikat Jenderal Republik Belanda. Antara 1806 dan 1810, ketika Belanda di bawah pemerintahan Perancis, pusat administrasi Belanda dipindahkan ke Amsterdam, Binnenhof tidak digunakan.Â
Ketika Belanda merdeka dari Perancis, kegiatan pemerintahan kembali pindah ke Binnenhof. Sampai tahun 1992, bangunan ini digunakan oleh Parlemen Belanda. Namun ketika bangunan dirasakan terlalu kecil untuk memfasilitasi 150 anggota, dibangun bangunan diselatannya.Â
Senat duduk dalam ruang di sudut barat Binnenhof, sedangkan parlemen duduk di sudut selatan di sisi lain dari Gerbang Stadtholder. Saat ini, majelis rendah bertemu dalam ruang di bagian timur besar modern yang kompleks. Kantor Perdana Menteri sejak tahun 1982 berada di menara kecil di sudut utara yang disebut Torentje Little Tower. Trveszaal adalah ruang ruang pertemuan kabinet.
Leiden
Leiden adalah salah satu kota terpenting di provinsi Zuid Holland maupun di Belanda secara umum, meski kota ini tidak terlalu besar. Di kota ini ada Universitas Leiden (Universiteit Leiden) yang ternama. Universitas Leiden adalah universitas tertua di negeri Belanda dan sudah didirikan pada tahun 1575.
Aktifitas kami di Belanda sesungguhnya banyak berlangsung di Kota Leiden meskipun Hotel kami di Den Haag. Dari Den Haag ke Leiden hanya berlangsung selama 15 menit, jadi tidak terlalu jauh. Beberapa tempat yang kami datangi di Kota ini adalah Kantor KITLV, Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Volkenkunde.Â
Kami juga sempat menikmati kereta api dari Leiden ke Den Haag melalui stasiun Central. Dengan harta tiket hanya 3,4 dengan toeslaq 1,0, kami menikmati perjalanan tanpa rintangan dengan kereta api itu dan kembali berjumpa dengan teman-teman lainnya di Groote Mart. Teman-teman juga sempat menikmati trem di Den Haag meskipun tersesat jalan.
Sesampai di Den Haag, kami serombongan kembali menemukan Restauran Indonesia bernama Si Des. Penjualnya dari Sukamiskin yang ramah dan menyediakan makanan-makanan khas Indonesia yang kami minta. Kami sungguh menikmatinya, sebab, seusai dari Belanda kami akan kesulitan mendapatkan makanan-makanan khas seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H