Mohon tunggu...
Masad Masrur
Masad Masrur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Pasca Sarjana USAHID JAKARTA

Pernah kuliah di Fakultas Teknik, tetapi beraktifitas di Organisasi Ekstrakampus dan Wartawan Kampus. Kini barusaja menyelesaikan S-2 Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia. Kini belajar lagi Ilmu Komunikasi di USAHID JAkarta. Kompasiana diperlukan untuk melepaskan beban pikiran, karena hanya dengan menulis beban itu akan berkurang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perspektif Habermas dalam Konflik Cipta Kerja

7 Juli 2021   19:16 Diperbarui: 7 Juli 2021   19:25 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Masad Masrur

Menengok kasus kekerasan yang terjadi pada berbagai unjukrasa menolak RUU Cipta Kerja, perlu dilihat pandangan beberapa ilmuwan yang telah mengemukakan beberapa teori. 

Jurgen Habermas khususnya, mengakui bahwa konflik adalah sesuatu yang inheren dalam sistem masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari hubungan kekuasaan dalam sistem sosial dan sifat kekuasaan yang mendominasi. 

Habermas adalah sosiolog bermadzab kritis, (Zuldin, 2019) yang berpandangan bahwa sosiolog berkewajiban moral melakukan kritik atas dominasi penguasa terhadap masyarakat dalam struktur sosial. Teori kritis merupakan emansipasi yang berusaha membebaskan masyarakat struktur sosial yang menindas.

Habermas menganalisis kondisi dari dominasi struktural. Kelompok penguasa mengarahkan berbagai bentuk kebijakan pada orang lain di luar wewenang dan kekuasaannya. Kondisi ini merupakan bentuk dominasi. 

Habermas melihat komunikasi yang dihasilkan dari kondisi ini selalu memuat kepentingan penguasa untuk menundukkan yang disebut Habermas dengan komunikasi instrumental. Komunikasi instrumental hanya memberi peluang pada pemilik kekuasaan, dan tidak akan menciptakan kesepahaman (mutual understanding), (Habermas, 1998).

Habermas memperlihatkan bagaimana kesadaran instrumental menciptakan model komunikasi yang sifatnya mengusai. Birokrasi modern adalah struktur negara yang menggunakan kesadaran dan komunikasi instrumental. 

Kondisi inilah yang menyebabkan ketertindasan masyarakat dalam bentuk ketidakmampuan mengeluarkan pendapat mengenai keinginan dan harapan mereka. Negara dan birokrasinya menutup ruang pendapat masyarakat (public sphere) melalui kontrol keamanan dan kebijakan-kebijakan lain. 

Ketertutupan ruang publik bisa mengakibatkan frustasi, dan bentuk kekerasan dalam perlawanan politik. Untuk itu Habermas mengajukan kondisi ini atau komunikasi instrumental diubah menjadi komunikasi intersubjektif. Komunikasi intersubjektif ini membuka ruang-ruang dialog yang bebas dari dominasi penguasa. 

Para penguasa yang melegitimasi wewenang dan kebijakan harus bersedia menggunakan komunikasi yang setara dan terbuka sehingga dapat menghindari konflik antara pengambil keputusan dan masyarakat biasa, (Zuldin, 2019).

Ketertutupan ruang publik dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, sejak awal memang menjadi keluhan utama. Masyarakat menganggap ada kesusahan dalam mendapatkan informasi perkembangan serta isi dari RUU Cipta Kerja. Pelaksanaan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin hak memperoleh informasi, tidak dilaksanakan secara maksimal, sehingga mengakibatkan frustasi, dan bentuk kekerasan dalam perlawanan. 

Komunikasi formal yang dilakukan di dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, sesuai pendapat Habermas, berada pada wilayah komunikasi instrumental yaitu model komunikasi yang bersifat birokrasitis dalam kerangka struktur negara. Kondisi inilah yang menyebabkan ketertindasan masyarakat, dalam bentuk ketidakmampuan mengeluarkan pendapat, mengenai keinginan dan harapan mereka secara luas. Oleh karena itu, komunikasi intersubjektif yang membuka ruang dialog yang bebas dari dominasi penguasa, sangat diperlukan.

Variasi isu yang disampaikan, baik oleh kelompok yang pro maupun yang kontra terhadap RUU Cipta Kerja, seperti proses penyusunan yang dinilai cacat prosedur, elitis dan tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat, dan lain-lain, termasuk beberapa pasal krusial yang menimbulkan perdebatan, menurut Razy dan Fedryansyah (2020), dianalisis sebagai berikut:

Pertama, minim komunikasi politik. Pilar pertama yang menjadi penyangga dalam konflik tersebut adalah komunikasi politik yang dibangun oleh pemerintah dan kelompok pengusaha (Satgas yang terdiri dari KADIN, dll) kepada masyarakat sipil, dianggap minim. Masyarakat menganggap ada kesusahan dalam mendapatkan informasi perkembangan serta isi dari RUU Cipta Kerja. 

Padahal jika merujuk pada UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.

Kedua, relasi politik (politic relation). Penyusunan RUU Cipta Kerja yang dianggap hanya melibatkan pihak-pihak pengusaha yang memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintahan, dikonfirmasi melalui adanya Satuan Tugas. 

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis hal ini menjadi salah satu bentuk kekerasan struktural terhadap masyarakat. Kekerasan struktural ini dikonfirmasi melalui konsep kekerasan struktural Galtung (dalam Susan, 2009), tentang kekuasan struktural yang menjelasakan tentang salah satu bentuk penggunaan kekuasan struktural yang dimiliki pemilik wewenang untuk menciptakan kebijakan publik. 

Konsep kekerasan struktural ini, oleh Claus Offe dan Hilferding (dalam Angger, 2003) tentang krisis hubungan negara dan masyarakat dalam istilah kapitalisme terorganisir. Dalam diskusinya mereka menjelaskan bahwa kapitalisme memerlukan intervensi negara untuk membentengi dan mencegah kecenderungan krisis struktral. Satuan Tugas yang didominasi oleh pihak pengusaha adalah salah satu bentuk politic relation atau hubungan politik dari kedua lembaga tersebut melalui kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah

Ketiga, minim partisipasi politik. Pasal 96 ayat (1) UU No 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.  Kebijakan publik yang matang serta diterima oleh masyarakat adalah kebijakan publik yang partisipatif melibatkan masyarakat secara langsung didalamnya. Partisipasi masyarakat sebagaimana UU tersebut, oleh Hikmawati (2013) dibagi dua, yaitu partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung. Merujuk pada pelaku yang terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja yang didominasi oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka partisipasi politik yang berlangsung adalah minimal, padahal RUU Cipta Kerja mengatur banyak hal yang meringkas puluhan UU ke dalam satu UU.

Ruang pembahasan RUU Cipta Kerja secara resmi berada di Gedung DPR RI. Pembahasan yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan tersebut dinilai tidak cukup menampung aspirasi “menolak” yang disampaikan oleh berbagai kelompok masyarakat. Gerakan masyarakat sipil yang terbentuk, melakukan unjukrasa di luar ruang pembahasan, yang di beberapa daerah telah menimbulkan kerusakan fasilitas umum. 

Menurut Habermas, kondisi ini akibat dari dominasi struktural dimana kelompok penguasa mengarahkan berbagai bentuk kebijakan dengan komunikasi instrumental yang tidak akan menciptakan kesepahaman. 

Habermas menganalisis kondisi dari dominasi struktural. Kelompok penguasa mengarahkan berbagai bentuk kebijakan pada orang lain di luar wewenang dan kekuasaannya. Kondisi ini merupakan bentuk dominasi. 

Habermas melihat komunikasi yang dihasilkan dari kondisi ini selalu memuat kepentingan penguasa untuk menundukkan dengan komunikasi instrumental. Komunikasi instrumental hanya memberi peluang pada pemilik kekuasaan, dan tidak akan menciptakan kesepahaman (mutual understanding).

Setidaknya, ada tiga hal yang menjadikan kemacetan komunikasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, pertama, minim komunikasi politik. Kedua, relasi politik (politic relation), dan ketiga, minim partisipasi politik. Intinya, jika dilihat dari seperti proses penyusunan yang dinilai cacat prosedur, elitis dan tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat, dan lain-lain, termasuk beberapa pasal krusial yang menimbulkan perdebatan, maka RUU Cipta Kerja layak untuk dilakukan uji materi ke MK, meskipun dalam hal ini peran Pemerintah sebagai komunikator dianggap belum menunjukkan keberhasilannya.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun