Mohon tunggu...
Mohammad Masad Masrur
Mohammad Masad Masrur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana USAHID

Pernah kuliah di Fakultas Teknik, tetapi beraktifitas di Organisasi Ekstrakampus dan Wartawan Kampus. Setelah menyelesaikan S-2 Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia, kini belajar lagi Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta. Kompasiana diperlukan untuk melepaskan beban pikiran, karena hanya dengan menulis beban itu akan berkurang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balaikota (Hindia) Belanda

9 Januari 2016   12:07 Diperbarui: 9 Januari 2016   12:07 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Koninklijk Paleis Amsterdam adalah bangunan yang menjadi inspirasi pembangunan Gedung balaikota Batavia yang sudah menjadi Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta Barat."][/caption]

Ketika Nusantara dikuasai Kerajaan Belanda dan dikenal dengan sebutan Dutch East Indie (Hindia Belanda), Ibukota negara ini adalah Batavia. Gedung Balaikota-nya kini menjadi Museum Fatahillah. Namun kita semua tahu, Hindia Belanda hanyalah negara jajahan, dan merupakan bagian dari kerajaan Belanda (Koninkrijk der Nederlanden) yang adanya jauh berada di Eropa Barat sana. Penduduk Hindia Belanda tidak pernah tahu kerajaan ini. Mereka hanya sedikit tahu bahwa Gedung Balaikota Batavia itu, adalah miniatur dari Istana Belanda, yaitu Koninklijk Paleis di Kota Amsterdam.

Ketika rombongan Jakarta Islamic Centre (JIC) datang ke Istana ini pada Hari Senin, 28 September 2015 pukul 12 siang, Istana Royal Palace sedang tutup, sehingga Tim hanya dapat menikmati istana ini dari luar. Ketika saya menginjakkan kaki di halaman Koninklijk Paleis Amsterdam, saya langsung teringat Museum Fatahillah yang berada kompleks Kota Tua di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat. Karena bangunan ini memang mirip. Tapi tentu ukuran Koninklijk Paleis jauh lebih besar dan lebih luas dari Fatahillah yang hanya seluas lebih dari 1.300 meter persegi. Arsitektur bangunannya pun juga lebih sederhana, tidak semegah Koninklijk Paleis. Tentu saja, Koninklijk Paleis adalah istana raja Belanda tempat tinggal para raja dan keturunannya, yang memerintah Hindia Belanda dari jauh. Nusantara diperintah dari sini selama ratusan tahun oleh para bangsawan yang tinggal bangunan ini. Seluruh bangunan ini dibangun dari batu putih, meskipun telah berusia 350 tahun lebih, tidak terlihat adanya pelapukan. Pada 20 Juli 1655, yang burgomasters dan hakim Amsterdam membuka bagian pertama bangunan ini. Istana ini amat kaya dalam dekorasi interior maupun eksterior. Pematung terkenal dan pelukis terkenal yang saat itu mendandani bangunan ini bernama Rembrandt dan Ferdinand Bol.

Pada 29 Juli 1655, Walikota Amsterdam Cornelis de Graeff, meresmikan bangunan ini yang sejak 1648 dibangun dan dikonstruksikan oleh Jacob van Campen. Bangunan yang awalnya seluas 13.659 meter persegi ini berbiaya 8,5 juta gulden. Jacob van Campen terinspirasi oleh istana administrasi Romawi. Aula tengah berukuran panjang 120 feet, lebar 60 feet dan tinggi 90 feet. Di lantai marmer ada dua peta dunia dengan belahan langit. Belahan Barat dan Timur juga ditampilkan pada peta. Dan yang pasti, ada gambar belahan detail wilayah yang dikuasai kolonial Amsterdam, yaitu sebagian besar wilayah Nusantara. Belahan terestrial dibuat pada pertengahan abad ke-18 yang menggantikan bangunan sebelumnya yang dibuat pada akhir 1650an. Awalnya, desain ini menunjukkan daerah yang dieksplorasi oleh kapal-kapal Belanda East India Company (VOC) pada paruh pertama abad ke-17. Fitur ini mungkin telah terinspirasi oleh peta Kekaisaran Romawi yang terukir di marmer dan ditempatkan di Porticus Vipsania, bangunan umum di Roma kuno.

Sama seperti Museum Fatahillah yang berfungsi sebagai Balai Kota Batavia, di atas istana ada cungkup kubah besar, diatapi oleh baling-baling cuaca dalam bentuk sebuah kapal gigi. Kapal ini merupakan simbol Amsterdam. Dibawah kubah ada beberapa jendela. Dari sini orang bisa melihat kapal-kapal tiba dan meninggalkan pelabuhan. Dalam kubah adalah lonceng terkenal, yang oleh François dan Pieter Hemony dicor pada tahun 1664 dan direnovasi oleh Eijsbouts tahun 1965.

Namun, Koninklijk Paleis Amsterdam atau Paleis op de Dam (Istana Raja Amsterdam atau Royal Palace) hanyalah satu dari tiga istana di Belanda yang berada dalam kekuasaan monarki konstitusional. Sejarahnya, bangunan yang berhadapan dengan Monumen Nasional Amsterdam, di sebelah Nieuwe Kerk ini, berfungsi sebagai Balai Kota (City Hall) Amsterdam.

Pada tahun 1806, ketika Napoleon menguasai Belanda, sebagai Raja Belanda, Louis Napoleon awalnya memilih untuk tinggal di Den Haag, tapi pada tahun 1807 ia memutuskan untuk pindah ke tempat ini. Pada tahun 1808, ia mengambil alih bangunan yang semula Balai Kota (City Hall) ini dengan merubah menjadi Istana dan mendekorasinya dalam gaya Empire. Pengunjung Royal Palace masih dapat mengunjungi koleksi terkenal furniture empire yang dibeli oleh Louis Napoleon hingga saat ini. Pada musim gugur tahun 1813, setelah Napoleon kalah, Pangeran William kemudian sebagai Raja William I, kembali Istana ke kota Amsterdam. Namun setelah penobatannya, Raja Wiliam baru menyadari pentingnya memiliki sebuah rumah di ibukota, dan meminta pemerintah kota untuk membuat Istana ini sebagai Istana Raja hingga kini.

Tak jauh beda, Museum Fatahillah ini dulu adalah sebuah Balai Kota (Stadhuis) yang mulai pada tahun 1620 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen sebagai gedung balai kota kedua pada tahun 1626 (balai kota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Menurut catatan sejarah, gedung ini hanya bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dilakukan kemudian. Tahun 1648 kondisi gedung sangat buruk. Tanah Jakarta yang sangat labil dan beratnya gedung menyebabkan bangunan ini turun dari permukaan tanah. Solusi mudah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi menaikkan lantai sekitar 2 kaki (56 cm). Menurut suatu laporan 5 buah sel yang berada di bawah gedung dibangun pada tahun 1649. Tahun 1665 gedung utama diperlebar dengan menambah masing-masing satu ruangan di bagian Barat dan Timur. Setelah itu beberapa perbaikan dan perubahan di gedung stadhuis dan penjara-penjaranya terus dilakukan hingga menjadi bentuk yang kita lihat sekarang ini. Sama dengan Koninklijk Paleis Amsterdam, Bangunan itu terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.

Seperti umumnya di Eropa, gedung balaikota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan stadhuisplein. Menurut sebuah lukisan uang dibuat oleh pegawai VOC Johannes Rach yang berasal dari Denmark, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuiplein. Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengahnya. Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini juga digunakan sebagai Raad van Justitie (dewan pengadilan). Pada tahun 1925-1942, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I, lalu diubah kembali menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat. Tahun 1968, gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta, lalu diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.

Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Tiongkok, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin. Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis.

Berbeda dengan Royal Palace yang masih digunakan sebagai tempat untuk seremonial kerajaan Belanda, Museum Fatahillah memang sudah menjadi Museum. Tetapi, sebagaimana halaman Royal Palace, halaman gedung Fatahillah juga banyak turis dari berbagai tempat dan aktifitas para penghiburnya, seperti: patung manusia, pengamen, burbung-burung dara yang beterbangan, dn atraksi lainnya. Sebagai tempat wisata bersejarah, Royal Palace dibuka untuk umum tiap hari kecuali hari senin setiap pukul 10 pagi hingga pukul 5 sore. Harga tiket sebesar € 85 (atau € 115 pada akhir pekan), jumlah pengunjung yang bisa masuk dibatasi, kelompok dewasa 10-20 pengunjung dan anak-anak 5-15 pengunjung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun