Sampai di Semarang, Hamid langsung mencari angkutan menuju Kudus. Ia sengaja tidak mampir rumah dan langsung menuju pondok. Begitu memasuki kawasan pesantren, suasana haflah telah tercium olehnya. Tapi ia merasakan sesuatu yang lain. Ia seperti kehilangan sesuatu yang selama ini melekat di ingatannya. Pesantren ini telah berubah sedemikian rupa. Tak ada lagi bangunan klasik nan eksotik. Semua telah bergantu bangunan modern nan angkuh dan mengubur semua kenangan yang pernah lahir di tempat itu. Hanya bangunan masjid yang rupanya belum banyak berubah. Perbaikan pada serambi tak memengaruhi bentuk fisik rumah Allah itu. Hamid jadi canggung untuk memasuki almamaternya itu. Tak ada keramahan dari santri-santri yang ia temui.
“ Mas Hamid, ya?”, tanya seorang lelaki seusia dirinya.
Hamid mengernyitkan dahi, sambil mengingat-ingat lelaki yang menyapanya.
“ Ya. Kamu Sholeh?”.
Lelaki itu mengangguk dan langsung menubruk dan menciuminya. Melepas rindu pada teman karibnya. Tak terasa airmata haru menetes. Ia seperti temukan oase di tengah padang. Kehangatan orang-orang di pondok ini ternyata masih tersisa, walau pesantren telah berubah.
Sholeh kemudian mengajak Hamid singah di rumahnya yang berada di belakang pondok. Di rumah itu, semua kerinduan dan rasa kangen mereka tumpahkan. Sholeh juga mengenalkan istri dan dua anaknya. Istri Sholeh adalah Maemunah, yang sempat hendak dijodohkan dengan dirinya oleh Kyai Ahmad.
Tak terasa, mereka telah tiga jam lebih ngobrol ngalor ngidul, diselingi gelak tawa, menceritakan kekonyolan masing-masing waktu masih mondok. Sholeh akhirnya mempersilahkan Hamid untuk beristirahat di kamar yang telah dipersiapkan oleh maemunah, istrinya, sebelum sowan Kyai Ahmad.
Di kamar, setelah mandi dan shalat, Hamid berdiri di depan jendela, memandangi suasana pesantren yang nampak tambah besar, walau sedikit angkuh. Tiba-tiba ia mencium bau bunga melati. Bau itu tak pelak mengingatkannya pada Ning Sarah. Bunga yang selalu diselipkan di kerudung putihnya. Aneh, mengapa tadi saat bersama Kang Sholeh, tak sedikitpun menyinggung soal Ning Sarah? Lupakah mereka? Atau karena Ning Sarah sudah tidak di sini dan dibawa suaminya, hingga mereka berdua lupa tak menceritakan soal Ning Sarah? Hatinya mendadak berdegup tak karuan. Rasa ingin taunya membuat Hamid tak sabar ingin segera sowan Kyai Ahmad. Ia tak peduli bila harus ketemu Gus Faqih, suami Ning Sarah. Ia sudah siap mental bila harus melihat Ning sarah menggendong bayi buah cintanya dengan Gus Faqih. Hamid tetap ingin melabuhkan rindunya, walau tak mungkin memilikinya.
Saat maghrib tiba, Hamid berangkat ke masjid bersama Kang Sholeh dan istrinya. Ia berbaur dengan para santri. Kenangan indah hidup di pesantren selalu membuatnya hanyut. Ia sengaja mengambil shaf paling depan, agar Kyai Ahmad tau, dirinya telah datang. Benar juga. Sehabis Shalat sunah Ba’diyah, beliau langsung meminta Hamid menunggunya di serambi Ndalem.
Sesampai di serambi, Hamid mengambil tempat duduk yang menghadap ke arah ruangan tengah rumah joglo itu. Di ruang itu, dulu ia sering melihat Ning sarah melintas, mencuri perhatiannya. Ia merasakan suasana yang sama dengan suasana lima belas tahun lalu. Rumah yang sederhana namun menawarkan kesejukan hatinya, seperti juga pesona Kyai Ahmad, yang pancaran raut wajahnya begitu teduh berwibawa.
Beberapa saat kemudian Kyai Ahmad tiba dan langsung mengambil posisi duduk tepat di hadapannya.