Sehabis salat Isya’, Kang Hasyim sengaja tak segera pulang. Seperti biasa, setiap isyak mereka berjamaah hanya bertiga dengan Mbah Karto dan anaknya, Lek Darmi. Mereka bertiga masih duduk-duduk di serambi langgar, menyaksikan suasana gayeng dan suara riuh rendah warga desa malam itu. Maklum, sebagian besar warga desa malam ini hendak menghadiri Haul pertama meninggalnya kyai kharismatik, Mbah Kyai Zaed. Kegaduhan suara orang berebut naik truk membuat salat isyak mereka bertiga tidak sekhusuk biasanya.
Suara riuh rendah itu sudah mulai terdengar sejak lepas maghrib. Kang mail, koordinator rombongan, melalui speaker di tangannya mengabsen satu persatu dengan seksama. Yu Karti, si janda kembang, tak mau ketinggalan. Ia bawa serta ketiga anaknya yang masih balita. Juga mbok Sugi, nggak mau kalah. Cucunya yang selusin jumlahnya ikut berdesakan antri agar bisa terangkut rombongan. Pendek kata, tak seorangpun warga desa itu yang ketinggalan. Semua ikut. Termasuk Yu Shalihah, istri Kang Hasyim. Hanya mereka bertiga yang tak tertarik terbawa arus hiruk pikuk massa yang tak dipahami oleh orang seperti Mbah Karto. Kang Hasyim dan Lek Darmi juga lebih memilih menunggu rumah.
Setelah dipastikan tak ada yang ketinggalan, truk yang membawa rombongan pengajian itu perlahan meninggalkan halaman langgar, diiringi deru motor anak-anak muda yang mengawal dari belakang. Sesaat kemudian suasana berubah lengang, hanya debu pekat dari knalpot truk dan motor yang mereka tinggalkan . Sementara mereka bertiga kembali masuk langgar setelah melepas rombongan pengajian itu.
Sebenarnya malam jumat ini tak ada kegiatan ngaji di langgar, kecuali yasinan ba’da maghrib. Tapi Kang Hasyim sengaja mengajak Mbah Karto dan Lek Darmi ngaji pasolatan dan turutan, mengisi waktu luang sambil menunggu mereka yang pergi haul pulang. Dua orang itu memang paling rajin mengikuti kegiatan ngaji kasepuhan di desa itu. Yang lain kumat-kumatan. Ada saja alasannya. Sibuk inilah, sibuk itulah. Pendek kata, mereka sudah tidak tertarik dengan model pengajiannya Kang Hasyim yang nggak pernah ada kemajuan. Mereka juga jarang datang ke langgar untuk salat jamaah. Katanya, salat di rumah lebih khusuk. Mereka khawatir, kalau-kalau saat salat di langgar yang sudah reot itu, tiba-tiba ambruk. Kang Hasyim hanya bisa ngelus dada kalau mendengar kicauan mereka mengkritik dirinya, termasuk istrinya sendiri.
“ Mbok ya niru Mbah Zaed, biar terkenal dan dihormati banyak orang.” Demikian istri Kang Hasyim mengkritik dirinya. Kang Hasyim Cuma diam. Ia merasa tak perlu menanggapi omongan itu.
***
Mbah Kyai Zaed memang fenomenal. Kekyaiannya tak diragukan lagi. Ngalim kitab,dongane mandi, waskita. Pokoknya komplit. Dan satu lagi, kharismanya yang luar biasa menambah kesempurnaan sang kyai. Kelebihan-kelebihan itulah yang kemudian masyarakat menyebutnya sebagai Wali, Kekasih Allah.
Sebenarnya masyarakat tak tahu persis, dari mana asal muasal sang kyai. Dua tahun yang lalu, ia singgah di Desa Mulyorejo dalam perjalanan spiritualnya, dan kemudian menetap di desa itu. Setelah sebulan riyadhah, ia membangun pondok yang terbuat dari alang-alang di atas petak tanah pemberian pak kadus. Sejak itu pula, tepatnya tiap minggu legi ia mengadakan pengajian selapanan buat masyarakat sekitar. Pengajian yang pada mulanya hanya diikuti oleh warga desa Mulyorejo, lambat laun berkembang dengan pesat hingga ke desa-desa tetangga.
Bahkan banyak dari luar kabupaten yang berdatangan mengikuti pengajian tiap minggu legi itu. Di luar kegiatan selapanan, kesibukan Mbah kyai ternyata luar biasa padat. Hampir tiap seminggu sekali ia juga ngaji di luar daerah yang juga banyak dihadiri umat. Anehnya, ia tidak mau ngaji dengan pengeras suara. Kata para jamaah, mereka tetap bisa mendengar dengan jelas wejangan sang kyai asal benar-benar niat ngaji. Sementara dalam kesehariannya, ia sibuk melayani tamu dari berbagai daerah, bergantian sowan, seakan tanpa putus dari pagi hingga larut malam. Macam-macam tujuan mereka. Ada yang sekedar silaturrahim atau konsultasi agama. Banyak juga yang minta didoakan, agar panen melimpah, rezeki lancar, enteng jodoh, atau minta air doa buat obat dan lain sebagainya. Mereka yang tak jelas tujuannya, bila ditanya, jawabannya seragam : Ngalap berkah.
Malam itu tak seperti biasa , suasana teramat sepi. Kyai Zaed memang tidak menerima tamu setiap malam jumat kliwon. Walau tidak pernah dipublikasikan, orang-orang maklum. Itu malamnya orang-orang khos, termasuk Mbah kyai Zaed, demikian kata mereka.
Tapi malam jumat kliwon kala itu dirasa lain oleh Kang Salim, abdi dalem Mbah Kyai Zaed. Tidak seperti biasanya, ada seseorang masuk, sowan kepadanya. Mbah Kyai sendiri yang mempersilahkan tamu asing itu masuk. Lelaki dengan perawakan tegap, santun dan berwibawa. Pakaiannya serba putih, seakan menggambarkan kebersihan hati sang tamu. Sampai larut malam tamu itu belum juga pulang. Kang Salim, yang biasanya sudah lelap setelah pukul sepuluh malam, terpaksa harus meronda, menunggu tamu itu pulang. Walau berada di balik jendela, ia tak berani menguping, apa yang sedang dibicarakan tamu itu dengan Mbah Kyai Zaed. Dengan terkantuk kantuk, ia setia menunggu. Secangkir kopi yang menemaninya tinggal sak sruput, hingga ia biarkan dingin membeku.
Tak terasa kantuk membawanya pergi ke alam mimpi. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah padang sahara nan tandus, nyaris tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Terik udara membuatnya haus. Dilihatnya di kejauhan segerombol orang sedang berkerumun. Ia pun berjalan ke arah itu dan berharap menemukan air agar dapat bertahan hidup di padang nan ganas itu. Setelah sampai di tempat yang dituju, ia tak menemukan apa yang dicarinya. Ia hanya menjumpai kerumunan orang yang sedang khusuk mendengarkan tausyiah seorang kyai yang duduk di antara mereka.
Di sampingnya berdiri seseorang, mengawal sang kyai. Setelah memerhatikan dengan seksama, Kang Salim terperanjat. Karena sang kyai itu tak lain adalah Mbah Kyai Zaed. Dan pengawal itu adalah tamu yang sedang sowan menghadap beliau. Ia kemudian bergabung dengan orang-orang yang sedang takdzim mendengar wejangan sang kyai. Aneh. Rasa haus yang ia rasakan mendadak hilang. Saat Kang Salim menanyakan soal kehidupan sehari-hari orang-orang di tengah gurun itu, mereka menjawab, bahwa sehari-hari mereka hanya membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sujud sebagai wujud penghambaan mereka pada Allah.
” Itulah makanan sehari-hari kami. Kehidupan kami”, demikian salah satu di antara mereka menjelaskan pada Kang Salim.
Dihinggapi rasa penasaran, Kang Salim lalu menanyakan siapa orang yang sedang memberi wejangan dan pengawal yang berdiri di sampingnya.
“ Itu adalah guru dan imam kami. Beliau yang menjadi imam setiap kami salat. Juga yang selalu memberi petuah dan tausyiah kepada kami tentang makna dan hakekat hidup serta bagaimana kita menjalankannya. Sedang orang yang berada di sampingnya, itu adalah malaikat Izrail, yang sebentar lagi akan menjemputnya, membawa sang Imam menghadap Kekasih abadinya.”
Penjelasan itu membuat suasana hati Kang Salim berubah tiba-tiba. Seketika kesedihan menyelimuti hatinya. Sementara raut kesedihan tak nampak pada mereka. Ia mencoba menutupi rasa dukanya dengan menahan airmata agar tak tumpah.
Saat itu juga sekonyong-konyong kilatan cahaya menyambar dan membawa mereka naik. Dalam sekejap semua orang di hadapan Kang Salim lenyap. Termasuk Mbah Kyai Zaed! Kang Salim pun menjerit histeris dan terjaga dari tidurnya. Ternyata hanya mimpi. Tapi? Ia segera bangun dan masuk ke pondok mencari sang guru. Rupanya tak ada seorangpun, termasuk tamu tadi. Ia kemudian memberanikan diri memasuki kamar Mbah Kyai. Ternyata benar. Mbah kyai Zaed telah meninggal!
Pagi harinya, kabar wafatnya sang kyai tersebar di seluruh tlatah magelang. Mendung mendadak pekat menggumpal menaungi desa Mulyorejo, pertanda kesedihan yang tiada terperi. Masyarakat seakan tak percaya, kekasih Allah itu pergi begitu cepat.
Dan malam ini, satu tahun setelah wafatnya, kesedihan masih menghiasi wajah mereka, yang haus akan wejangan dan tausyiah sang kyai, yang menyejukkan dan menentramkan hati umat.
***
Pukul sebelas malam rombongan pengajian haul belum juga pulang. Kang Hasyim dan dua sohibnya, Mbah Karto dan Lek Darmi, sehabis ngaji masih setia menunggu sambil bercengkrama membunuh waktu. Tiba-tiba Mbah Karto nyeletuk, bertanya sesuatu pada Kang Hasyim, soal sosok Mbah Zaed yang selama ini begitu dikagumi banyak orang. Selama ini ia hanya dengar dari Lek Darmi, anaknya, tentang Mbah Kyai yang linuwih itu.
“ Mbah Kyai Zaed memang sosok pribadi yang patut dijadikan teladan. Beliau alim dan zuhud. Kesalehan dan kearifan beliau harusnya menjadi panutan bagi pribadi-pribadi yang selama ini mengaguminya. Tapi sayang, sebagian dari mereka salah dalam meneladani sang kyai. Mereka terjebak pada hingar bingar ritus yang bisa menyesatkan bila salah dalam memaknainya. Dan kenyataannya, kemeriahan acara haul lebih mirip pasar malam atau festival daripada sebuah majlis tadzkirah , yang seharusnya memberi kesadaran baru bagi mereka dalam memaknai hakekat hidup menuju mardhatillah, sebagaimana yang diajarkan sang kyai.”
Penjelasan Kang Hasyim hanya dibalas dengan manggut-manggut. Mereka rupanya sudah ngantuk berat. Keduanya pun berpamitan pulang pada Kang Hasyim.
Dalam diam, Kang Hasyim menyimpan kekaguman kepada dua orang yang baru saja meninggalkannya. Dua pribadi yang keseharian hidupnya amat bersahaja, mirip dengan potret kehidupan Mbah Kyai Zaed. Sementara dalam perjalanan pulang, Mbah Karto berbisik lirih pada anaknya, Lek Darmi,
“ Barusan aku seperti sedang mendengarkan wejangan dari Mbah Kyai Zaed. Jangan-jangan itu tadi benar-benar Mbah Kyai Zaed, bukan Nak Hasyim.”
Lek Darmi nggak menjawab. Rupanya ia lebih memilih bergegas agar cepat sampai rumah dan tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H