Mohon tunggu...
Ahmad Muhammad
Ahmad Muhammad Mohon Tunggu... -

Pengais sisa-sisa kearifan orang2 terdahulu yang hampir punah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Pembunuh

5 Maret 2017   14:57 Diperbarui: 6 Maret 2017   00:00 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Eross sengaja tak segera pulang walau jam di kantornya telah menunjukkan pukul 17.00.  Sore itu ia langsung menuju rumah Farid, teman lamanya. Ada yang ingin ia dengar dari sejawatnya itu, tentang WIL ayahnya yang sering dipergoki di kedai kopi kawasan Seturan, Jogja, tempat Farid bekerja. Kecurigaannya selama ini akhirnya terbukti. Ia juga menemukan alasan, mengapa ibunya selalu bertengkar hebat dengan ayahnya sebulan terakhir. Kali ini ia ingin membuktikan langsung, di mana ayahnya menghabiskan uang dan kehidupan malamnya selama ini.

“ Kau yakin, orang yang kau maksud itu ayahku?”, tanya Eross menahan geram setelah mendengar cerita Farid panjang lebar .

“ Kau buktikan saja sendiri. Kau bisa lihat sendiri nanti”, jawab Farid demi meyakinkan Eross yang nampak merah padam raut mukanya.

“ Ok kalau gitu”, jawab Eross antusias, seperti nggak sabar hendak melabrak ayahnya dan perempuan jalang yang telah meremukkan hati ibunya.

“ Tapi ingat! Jangan ada keributan. Kau cukup tau saja”. Demikian pesan Farid mengingatkan Eross.

Eross tak menjawab. Emosinya yang sudah sampai umbun-umbun luluh manakala mengingat ketegaran ibunya menghadapi persoalan ini dan harapannya bisa kembali akur dengan sang ayah.

Sampai di kafe, Eross mengambil tempat duduk paling pojok dan sedikit terlindungi oleh pengunjung yang lain. Dengan sedikit penyamaran dan sorot lampu temaram, ia yakin ayahnya nggak akan mengenalinya. Sementara itu, Farid di kejauhan dengan lantunan lagu-lagu koleksi Frans Sinatra, mampu membius pengunjung dan menyeret pengunjung kafe dalam romantisme lagu itu.

Malam sudah demikian larut, sementara penantian Eross tak kunjung tiba.  Ia pun beranjak menghampiri Farid yang sedang rehat.

“ Mungkin aku harus pulang dulu”, ujar Eross sedikit kesal.

“ Apa tidak kau tunggu satu dua jam lagi?”, cegah Farid meyakinkan Eross, bahwa lelaki yang ditunggu itu pasti akan muncul malam itu.

Benar kata Farid. Selang seperempat jam, seorang perempuan belia bergelayut manja mengandeng pria yang lebih pantas menjadi ayahnya. Eross segera sembunyi di balik tubuh Farid sembari mengendap endap mencari tempat duduk yang aman . Di tengah temaram lampu kafe, Eross bisa melihat dengan jelas sosok pria perlente setengah baya yang tak lain ayahnya sendiri. Sayang, ia tak bisa melihat raut wajah perempuan muda itu. Hanya punggungnya yang nampak menggoda dibiarkan menganga oleh balutan gaun malam yang wah. Eross terus saja menatap tak berkedip dan berharap perempuan muda itu menoleh barang sejenak.

Sampai kantuk berputar putar di lingkar kedua matanya , tak sedetikpun perempuan keparat itu menoleh.

“ aku kira ini sudah cukup walau aku belum sempat mengenali wajah perempuan itu. Setidaknya, laki-laki itu benar-benar ayahku”,. Demikian Eross berbisik geram pada Farid dan berpamitan pulang lewat pintu belakang, di mana mobil VWnya diparkir.

“ Bangsat! Dasar tua bangka nggak tau diri!”, umpat Eross sambil menuju mobil dan pergi meninggalkan kafe, menembus malam yang gelap ditinggal sang bulan yang murung.

Dalam perjalanan pulang, yang terbayang hanya wajah ibunya yang nampak tegar menghadapi tingkah polah laki-laki yang sudah bau tanah itu. Ia tak jadi pulang. Tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya berubah pikiran. Eross memang telah berubah pikiran. Kebenciannya kepada sang ayah sudah teramat memuncak hingga ia mengambil sebuah keputusan penting: Membunuh lelaki itu!                                                                                 

“ Laki-laki itu harus mati malam ini juga!”, pikir Eross sambil membelokkan mobilnya di sebuah gang sempit di bilangan Blok M. Rupanya ia sudah memesan sesuatu. Sebuah senjata laras panjang bikinan Pindad, demikian kata si penjual yang kebetulan seorang preman. Kata orang itu, senjata tersebutia dapatkan  dari seorang oknum tentara yang desersi.

Eross menelpon Farid dan mengabarkan tentang rencananya malam itu.

“ Halo, ayahku masih di situ?”, tanya Eross pada sejawatnya itu.

“ Sudah pulang. Ada apa?”, tanya Farid kemudian.

“ Malam ini juga aku harus membuat perhitungan terakhir dengan dia”, jelas Eross mengenai rencananya malam itu.

“ Maksud kamu?”, tanya Farid minta penjelasan lebih gamblang soal perhitungan terakhir yang dimaksud Eross.

“ Aku akan membunuhnya! Itu mungkin cara paling jitu menghapus kebencianku pada ayah. Aku Cuma minta kau rahasiakan rencana ini. Kau terlalu baik buatku. Aku tidak akan melibatkanmu walau kau tau banyak tentang masalah keluargaku. Aku minta maaf bila rencana ini kau anggap naif dan bodoh. Aku sudah tak tau lagi harus bagaimana. Barangkali cara ini bisa mengakhiri penderitaan ibu”.

Farid hanya bengong mendengar keputusan gila Eross. Ia ingin mencegahnya. Tapi ia tak tau bagaimana caranya. Handphonenya masih menempel di pipi, tapi suara Eross dari seberang sana tak didengarnya lagi. Rupanya telpon udah ditutup. Tiba-tiba dering telpon kembali berbunyi. Kali ini dari Tante Rosa, Ibu Eross.

“ Halo, benar ini dengan Farid?”

“ Benar. Eross sudah pulang dua jam lalu”, jawab Farid. Ia tak kuasa menjelaskan apa yang sebenarnya akan terjadi.

“ Kok belum sampai rumah?”, tanya Tante Rosa curiga.

Farid tak menjawab. Ia tak tau harus mengatakan apa pada Tante Rosa. Ia matikan handphone dan melebur di antara teman-teman kerjanya.

Sementara itu, Eross telah mempersiapkan senjata laras panjangnya plus beberapa peluru dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Pelan-pelan ia mulai meninggalkan kawasan itu menuju rumah.

Malam sepi tanpa bintang-bintang, seperti tau apa yang akan terjadi malam itu. Bulanpun tak mau menampakkan diri dan bersembunyi di balik awan yang murung, ikut bersedih. Dengan kecepatan 80 km/jam, Eross melaju dengan gesit di jalanan yang sudah nampak lengang menjelang fajar. Tiba-tiba Eross mendadak berhenti saat melihat seorang perempuan menyetop lajunya. Sepertinya taksi yang ditumpangi perempuan itu mogok. Tapi ia ragu hendak memberi tumpangan, sementara waktu berkejaran dengan degup jantungnya yang tak sabar lagi hendak menghabisi ayahnya.

“Mas, bisa minta tolong beri tumpangan?, pinta perempuan itu setelah mendekat sambil menundukkan kepalanya .

“ Mau kemana?”, tanya Eross sambil mengamati perempuan itu lewat sorot matanya yang genit menggoda. Ia terpana sesaat. Terlalu cantik perempuan itu untuk disia-siakan, pikir Eross sambil tak hentinya memandangi perempuan itu. Ia tak kuasa menolak ketika perempuan itu masuk ke mobilnya dan menyuruh sopir taksi memindahkan barangnya ke bagasi mobil VWnya. Celaka! Apa jadinya kalau sopir taksi itu tau ada senjata di dalam bagasi? Pikir Eross. Dari kaca spion, Eross mengamati sopir taksi itu mengangkat sebuah karung dan memasukkannya ke dalam bagasi. Apa yang dibawa perempuan ini? Ah, peduli amat. Kecantikan perempuan di dalam mobilnya telah membius dan membuat ia melupakan sejenak, apa yang sedang ia pikirkan malam itu.

“ Ke arah Senen”, pinta perempuan itu sambil rebahan di jok belakang. Nampaknya perempuan itu begitu lelah hingga dalam hitungan detik sudah pulas tertidur. Eross segera melaju dengan kecepatan sedang. Maklum, mobil tua. Walau cukup terawat baik, mobil itu tidak bisa sembarangan mengemudikannya. Sesekali Eross melirik perempuan itu dari kaca spion. Hemm, Eross hanya bergumam menyaksikan keelokan perempuan yang sedang tertidur pulas di dalam mobilnya.

Saat mendekati SPBU, Eross membelokkan mobilnya, mengisi BBM yang seharian terkuras tinggal beberapa tetes.

“ Full, mas!”, pinta Eross pada petugas SPBU. Ia keluar dari mobil dan pergi ke toilet sebentar. Selesai buang hajat, ia kembali balik menuju mobilnya. Setelah membayar ke kasir, ia segera menghidupkan mobil dan pelan-pelan meninggalkan SPBU. Tiba-tiba ia dikejutkan sesuatu. Perempuan di dalam mobilnya hilang!. Ia sempat terperanjat. Setelah keluar dari mobil,  Eross balik menghampiri petugas SPBU, hendak menanyakan soal raibnya perempuan itu.

“ Mas, anda tadi melihat perempuan yang ada dalam mobil ?”, tanya Eross.

“ Ooo, perempuan itu. Yang biasa bersama Pak Agus. Tadi saat ditinggal ke toilet, ia keluar dan berpindah ke dalam taksi yang berada di belakangnya”, tukas petugas SPBU itu menjawab pertanyaan Eross. Pak Agus? Bukankah itu ayahnya? Dan taksi itu? Eross benar-benar tampak bodoh. Ia tak menyadari taksi yang dikiranya mogok ternyata tidak dan membuntutinya dari belakang. Iapun dengan perasaan geram berjalan menuju mobilnya. Sebelum masuk mobil, ia mencoba memeriksa bagasi. Eross kaget bukan main. Barang itu masih ada dalam mobil dan tidak dibawa oleh perempuan itu. Perlahan Eross membuka bungkusan dalam karung. Dan, alangkah terkejutnya Eross setelah melihat isi karung itu. Sesosok mayat! Eross tak kuasa memandangnya. Mayat itu tak lain adalah ayahnya sendiri.

Perempuan itu telah membunuh ayahnya, teman selingkuhnya sendiri. Eross tak bisa lagi menggambarkan perasaannya yang tak karuan. Benci, lega, sedih, dendam campur jadi satu. Ia juga khawatir menjadi korban salah tangkap.

Eross hanya pasrah dengan nasib yang akan menimpa dirinya. Ia memang berniat hendak membunuh ayahnya. Dan lelaki itu kini terbujur kaku di depannya. Tewas terbunuh!.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun