Sampai kantuk berputar putar di lingkar kedua matanya , tak sedetikpun perempuan keparat itu menoleh.
“ aku kira ini sudah cukup walau aku belum sempat mengenali wajah perempuan itu. Setidaknya, laki-laki itu benar-benar ayahku”,. Demikian Eross berbisik geram pada Farid dan berpamitan pulang lewat pintu belakang, di mana mobil VWnya diparkir.
“ Bangsat! Dasar tua bangka nggak tau diri!”, umpat Eross sambil menuju mobil dan pergi meninggalkan kafe, menembus malam yang gelap ditinggal sang bulan yang murung.
Dalam perjalanan pulang, yang terbayang hanya wajah ibunya yang nampak tegar menghadapi tingkah polah laki-laki yang sudah bau tanah itu. Ia tak jadi pulang. Tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya berubah pikiran. Eross memang telah berubah pikiran. Kebenciannya kepada sang ayah sudah teramat memuncak hingga ia mengambil sebuah keputusan penting: Membunuh lelaki itu!
“ Laki-laki itu harus mati malam ini juga!”, pikir Eross sambil membelokkan mobilnya di sebuah gang sempit di bilangan Blok M. Rupanya ia sudah memesan sesuatu. Sebuah senjata laras panjang bikinan Pindad, demikian kata si penjual yang kebetulan seorang preman. Kata orang itu, senjata tersebutia dapatkan dari seorang oknum tentara yang desersi.
Eross menelpon Farid dan mengabarkan tentang rencananya malam itu.
“ Halo, ayahku masih di situ?”, tanya Eross pada sejawatnya itu.
“ Sudah pulang. Ada apa?”, tanya Farid kemudian.
“ Malam ini juga aku harus membuat perhitungan terakhir dengan dia”, jelas Eross mengenai rencananya malam itu.
“ Maksud kamu?”, tanya Farid minta penjelasan lebih gamblang soal perhitungan terakhir yang dimaksud Eross.
“ Aku akan membunuhnya! Itu mungkin cara paling jitu menghapus kebencianku pada ayah. Aku Cuma minta kau rahasiakan rencana ini. Kau terlalu baik buatku. Aku tidak akan melibatkanmu walau kau tau banyak tentang masalah keluargaku. Aku minta maaf bila rencana ini kau anggap naif dan bodoh. Aku sudah tak tau lagi harus bagaimana. Barangkali cara ini bisa mengakhiri penderitaan ibu”.