Mohon tunggu...
Iman Santoso
Iman Santoso Mohon Tunggu... -

mengalir mengikuti aliran sungai kehidupan..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Pasir

5 Oktober 2013   12:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:58 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dari mata airnya yang nun jauh di gunung sana, sebatang sungai mengalir melewati apapun di tebing

dan ngarai, akhirnya mencapai padang pasir. Selama ini ia telah berhasil mengatasi halangan apapun

dan sekarang berusaha menaklukkan halangan yang satu ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat

melintasinya, airnya segera lenyap di pasir.

Sungai itu sangat yakin, bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu, namun ia tidak bisa mengatasi

masalahnya Lalu, terdengar suara tersembunyi yang berasal dari padang pasir itu, bisiknya, "Angin

bisa menyeberangi pasir, Sungai pun bisa."

Sungai menolak pernyataan itu, ia sudah cepat-cepat menyeberangi padang pasir, tetapi airnya terserap:

angin bisa terbang, dan oleh karena itulah ia bisa menyeberangi padang pasir.

"Dengan menyeberang seperti yang kulakukan itu jelas, kau tak akan berhasil. Kau hanya akan lenyap

atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilahkan angin membawamu menyeberangi padang pasir,

ketempat tujuan."

Tetapi bagaimana caranya? "Dengan membiarkan dirimu terserap angin."

Gagasan itu tidak bisa diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah

terserap. Ia tidak mau kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah bisa dipastikan akan

didapatnya kembali?

"Angin," kata Si Pasir, "menjalankan tugas semacam itu. Ia membawa air, membawanya terbang

menyeberang padang pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma

sungai."

"Bagaimana aku bisa yakin bahwa itu benar?"

"Memang benar, dan kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi

paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun berpuluh tahun. Dan paya-paya itu jelas tak

sama dengan sungai, bukan?"

"Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama dengan keadaanku kini?"

"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan bisa tetap berupa dirimu kini," bisik suara itu. "Bagian

intimu terbawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab

kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."

Mendengar hal itu, dalam pikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan

ketika ia --atau bagian dirinya? --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat-- benar demikiankah?

bahwa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.

Dan sungai itu pun membubungkan uapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang

kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya merintik

lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak terkira jauhnya. Dan karena pernah

meragukan kebenarannya, sungai itu ini bisa mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas

pengalamannya secara terperinci. Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang

sebenarnya."

Sungai itu telah mendapat pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami

menyaksikannya hari demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir sampai ke

gunung."

Dan itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya

tertulis di atas Pasir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun