Banyak kawan-kawan saya yang menduga bahwa amburadulnya program migrasi TV digital disebabkan oleh para pengusaha TV berbayar yang ketakutan terhadap kehadiran TV digital karena merasa bisnisnya akan terganggu. Padahal yang menggugat aturan TV digital itu adalah ATVJI dan ATVLI (Asosiasi TV berjaringan dan Asosiasi TV lokal Indonesia). Berikut ini adalah penjelasan secara kronologis.
01 Jan 2009: Uji coba siaran TV digital dilakukan di Indonesia.
17 Jun 2009: ITU memutuskan bahwa siaran TV analog di seluruh dunia akan dimatikan pada tanggal 17 Juni 2015.
21 Des 2010: Presiden SBY meresmikan pemancar TV digital TVRI Jakarta, Surabaya dan Batam.
22 Nov 2011: Kominfo menetapkan Permen No.11 th 2011 tentang Penyelenggaraan Siaran TV digital.
31 Jul 2012: Sebanyak 23 stasiun TV swasta lolos seleksi dan mulai melakukan siaran TV digital.
03 Apr 2013: MA memerintahkan untuk mencabut Permen No.11 th 2011 atas permintaan uji materi dari ATVJI dan ATVLI.
05 Mar 2015: PTUN juga membatalkan Permen No.11 th 2011 atas gugatan dari ATVJI.
26 Sep 2015: Kominfo yg melakukan banding dinyatakan kalah oleh PTUN dan kemudian mengajukan kasasi.
Jadi yang membuat siaran TV digital ini batal adalah ATVJI dan ATVLI, bukan pengusaha TV berbayar. Sebab model bisnis siaran TV berbayar dan siaran TV free to air (gratis) itu sangat berbeda. TV berbayar mengandalkan iuran bulanan, sedangkan TV free to air mengandalkan iklan. Jadi terhambatnya program migrasi TV digital ini tidak ada hubungannya dengan bisnis pengusaha TV berbayar.
TV lokal maupun TV berjaringan sesunguhnya tidak keberatan atas penerapan teknologi TV digital. Tapi yang menjadi masalah adalah dasar hukum yang digunakan (yaitu Permen No.22 tahun 2011) yang sama sekali tidak mengadopsi kepentingan mereka. Akibatnya TV lokal merasa seperti anak tiri yang diusir dari rumahnya sendiri. Sebab mereka tidak bisa lagi melakukan siaran (analog maupun digital) di wilayahnya sendiri. Disamping itu, Permen Kominfo no.22 tahun 2011 itu juga bertentangan dengan UU no.32 tahun 22 tentang penyiaran.
Di dalam UU no.32 tahun 2002, tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan bahwa siaran TV analog akan dimatikan dan TV lokal wajib menyewa frekuensi dari operator TV dari Jakarta. Inilah yang membuat ATVJI dan ATVLI menggugat, sehingga kini status TV digital sudah berpindah ke wilayah hukum. Harap dimaklumi bahwa hukum sering kali kalah cepat dibanding perkembangan teknologi, sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
Sebelum masalah hukum ini diselesaikan, siaran TV digital tidak bisa diselenggarakan lantaran tidak memiliki payung hukum yang jelas. Hanya TVRI lah yang masih bisa bersiaran digital mengingat TVRI adalah TV publik yang dibeayai oleh APBN.
Maka satu-satunya harapan terselenggaranya TV digital adalah pada rencana untuk merevisi UU no.32 tahun 2002 yang kini sudah masuk prolegnas DPR dan menjadi prioritas utama untuk diselesaikan di tahun 2016 ini. Memang ada kekhawatiran bahwa pembahasan UU ini akan diintervensi oleh kepentingan bisnis. Namun mengingat kronologisnya yang sedemikian rupa maka seandinya hal itu terjadi, dan isi revisi UU itu masih merugikan beberapa pihak, tidak mustahil akan digugat lagi dan digugat lagi. Mari kita tunggu hasil revisinya. * * *
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H