Mohon tunggu...
Muh Alvan Saefulloh
Muh Alvan Saefulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - ꜱᴛᴜᴅᴇɴᴛ ᴀᴛ ᴅᴇᴘᴀʀᴛᴍᴇɴᴛ ᴏꜰ ᴘᴜʙʟɪᴄ ʀᴇʟᴀᴛɪᴏɴꜱ

ᴀᴋᴛɪᴠɪꜱ|ᴘᴜʙʟɪᴄ ꜱᴘᴇᴀᴋᴇʀ|ᴇᴅᴜᴄᴀᴛᴏʀ|

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agama dan Filsafat | Menelusuri Esensi Kemanusiaan

4 Juli 2024   23:45 Diperbarui: 4 Juli 2024   23:54 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia, apakah kita sudah sebetulnya menjadi manusia? Apakah kita hanya tahu saja bahwa manusia itu hanya sebatas nomenklatur saja? Atau bahkan kita juga tidak tahu apa itu nomenklatur? Sebuah pepatah pernah mengatakan, “benar dan salah-nya perjalanan hidup-mu itu tergantung seberapa jauh kamu mengenali dirimu.”

Manusia merupakan sebuah karya tuhan yang maha esa. Karya ini lalu disebut dengan makhluk. Kemudian sebutan makhluk ini dinisbatkan kepada sebutan khalik, artinya ciptaan dari sang pencipta. Bermula dari sang khalik menciptakan Nabi Adam a.s, lalu dilanjut dengan menciptakan Siti Hawa a.s. Keduanya merupakan bentuk simbolis dari sang khalik untuk kemudian dijadikan sebagai kholifah atau pemimpin di bumi.

Dari sanalah bermula adanya manusia pertama sekaligus pendampingnya, yaitu Nabi Adam a.s dan Siti Hawa a.s. Sebetulnya, penulis sendiri tidak bermaksud untuk menjelaskan secara detail terkait historis dari Nabi Adam a.s dan juga Siti Hawa a.s, karena pasti kita semua sudah pasti tahu akan historis-nya. Baik melalui Al-Quran, Al-Hadist, ataupun cerita cerita yang terdapat pada buku cerita para nabi. Akan tetapi, penulis sendiri bermaksud untuk menuliskan secara definisial serta referensial adanya sebutan manusia.

Manusia merupakan bahasa adopsi dari bahasa Al-Quran, yaitu dari lapadz “Naasa”. Lapadz “Naasa” ini sebetulnya juga dari lafadz “Nawaasa”, yang kemudian di dalam ilmu nahwu ini diganti haraf “wau” nya dengan alif. Karena berdasarkan kaidah “al-alifu uhtun fatah”, artinya alif itu merupakan saudara fatah. Oleh karena dalam lafadz “Nawaasa” itu terdapat baris fatah diatas haraf “wau”, maka haraf “wau” itu diganti dengan haraf “alif” sukun, maka menjadi “Naasa”. 

“Naasa” ini kemudian memiliki makna dalam penafsiran secara tekstual Al-Quran yaitu, manusia. Tapi, sebetulnya lafadz “Naasa” ini secara harfiah mengandung makna yang berbeda, yaitu lupa atau pelupa. Mengapa pula berbeda? Sebetulnya ini selaras dengan penyebab Nabi Adam a.s dan Siti Hawa a.s dikeluarkan dari surga oleh Alloh SWT. Penyebab-nya yaitu dari kedua-nya melanggar aturan dari Alloh SWT untuk tidak mendekati bahkan memakan buah khuldi. Padahal sebelumnya Alloh SWT sudah mengingatkan dan memperingatkan terhadap kedua-nya untuk tidak mendekati dan memakan buah itu. Tapi barangkali karena kedua-nya lupa di sisi lain juga di hasut oleh syitan akan peringatan tersebut, maka kedua-nya pun melanggarnya dan pada akhirnya mendapatkan teguran dari Alloh SWT sehingga kedua-nya di turunkan ke bumi. 

Dari historis tersebutlah lafadz “Naasa” ini kemudian mempunyai kandungan makna sebagai pelupa. Bahkan tidak hanya di maknai sebagai pelupa saja,  ”Naasa” ini juga berdasarkan historis di atas dimaknai sebagai “khoto”, yaitu pelaku kesalahan. Definisal ini-pun diperkuat dengan argumentasi dari salah satu seorang ulama fiqh, yaitu Sayyid Abdulloh bin Husain bin Thahir Ba’alawi al-Hadhrami melalui karangan salah satu kitab-nya yaitu kitab Sullamut Taufiq ila Mahabbati-Lah ‘alat-Tahqiq. Dalam kitab ini termaktub definisi tentang “Naasa” ataupun manusia, yaitu Al-insanu Mahalul Khoto’ wal Nisyan, artinya “manusia adalah tempat (pelaku) salah dan lupa. Jadi, jangan heran ketika ada manusia yang berbuat kesalahan dan lupa akan segala kewajiban dan tanggung jawab diri-nya, karena pada dasarnya secara definisi di atas seperti itulah manusia. Definisi ini pun menjadi suatu pemahaman bagi manusia itu sendiri terkait kemanusiaan-nya. Definisi ini juga sekaligus diperkuat dengan adanya historis dan sebuah argumentasi di atas.

Kemudian, kenapa pula ada sebutan manusia? Sebetulnya sebutan manusia itu hanya sebatas sebutan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat indonesia. Hal ini pun disebut sebagai “nomenklatur”, yaitu sebutan untuk satu predikat tertentu. Artinya sebutan manusia ini hanya sebatas predikat saja terhadap kita sebagai salah satu makhluk Alloh SWT.

Kendati demikian, definisi tentang manusia bukan hanya sebagai nomenklatur dan sebagai pelaku kesalahan serta pelupa saja. Melihat daripada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), manusia adalah makhluk yang berakal budi. Dalam definisi ini terdapat dua point, yaitu akal dan budi. Pertama, akal adalah kemampuan manusia untuk berpikir, memahami, dan memecahkan masalah. Kedua, budi adalah kemampuan manusia untuk merasakan, memahami, dan mengambil tindakan yang baik. Kedua hal ini juga diterangkan oleh seorang filsup kontemporer, yaitu Muhammad Mufid melalui sebuah karya bukunya yang berjudul “Etika dan Filsafat Komunikasi.”

Dalam buku tersebut Mufid menuliskan bahwa sudah menjadi kodrat manusia menjadi seorang makhluk yang berakal budi (homo rationale). Kendati demikian, definisi manusia tidak sesederhana itu, bahkan bisa di katakan cukup kompleks juga. Banyak sekali definisi-definisi dan pemahaman-pemahaman tentang manusia itu sendiri. Seperti yang pernah di katakan oleh Aristoteles, bahwa manusia merupakan gabungan dari beberapa jiwa. Sebagaimana dijelaskan Prof. Onong, manusia mempunyai tiga anima (jiwa), yakni:

Anima avegatativa/jiwa vegetatif “tumbuh-tumbuhan”

Manusia sebagai makhluk Alloh SWT mempunyai kesamaan dengan tumbuhan. Sehingga jiwa bahkan karakter yang di miliki oleh tumbuhan manusia juga memilikinya. Fungsi daripada jiwa tumbuhan ini adalah membutuhkan makan, tumbuh dan berkembang biak. Begitupun kita sebagai manusia, kita butuh untuk makan sebagai upaya pemenuhan nutrisi di dalam tubuh kita, sehingga manfaat-nya kita akan memiliki tenaga untuk bekerja. Pertumbuhan serta perkembang biakan juga perlu kita lakukan. Karena sebagai bentuk usaha kita menjaga dan melahirkan spesies atau turunan kita kedepan-nya.

Anima sensitiva/jiwa perasa

Jiwa perasa ini di miliki oleh binatang. Fungsi dari jiwa perasa ini diantaranya, mampu mengamati, bergerak, dan bertindak. Jiwa ini mencakup perasaan, naluri dan nafsu. Sebagaimana para binatang ketika di suguhkan dengan mangsa-nya, maka binatang tersebut akan mengamati-nya sampai mangsa-nya itu diam. Setelah itu baru binatang tersebut akan bergerak dan bertindak untuk memangsa-nya. Kita juga sebagai manusia-pun sama, artinya kita sebagai manusia perlu memiliki karakter-karakter tersebut. Dari awal mengamati lingkungan sekitar, apakah cocok dengan kita atau tidak. Kemudian bergerak serta bertindak ketika kita merasa ada hal yang buruk. Di sisi lain juga, kita perlu menggunakan perasaan, naluri dan nafsu kita di saat kita ingin betindak. Misalnya, ketika kita melihat seseorang yang sedang kesusahan, maka dengan perasaan itu kita akan spontan membantunya. Ketika kita merasa ada seseorang yang ingin menghampiri kita, dan ternyata naluri kita berbicara orang tersebut akan melukai kita, maka kita secepatnya harus pergi dan menjauh. Kemudian ketika kita mendapatkan posisi yang kurang baik, seperti di suguhkan dengan orang yang telah menyakiti kita bahkan keluarga kita, maka dengan adanya nafsu kita akan tau sebaiknya kita harus berbuat apa.

Anima Intelektiva/Jiwa berpikir

Jiwa berpikir ini merupakan jiwa yang terakhir yang di miliki oleh manusia. Bahkan jiwa ini tidak di miliki oleh tumbuhan dan binatang melainkan hanya di miliki oleh manusia saja. Jiwa ini mempunyai fungsi sebagai upaya dalam berpikir dan berkehendak dengan penuh kesadaran. Artinya kita sebagai manusia sangat perlu untuk menjadi manusia yang berpikir. Berpikir bagaimana supaya kita menjadi manusia yang sejati, manusia yang baik, manusia yang punya keinginan, manusia yang punya cita-cita, dan manusia yang punya tujuan. Sehingga ketika kita sudah mempunyai pikiran tersebut, kita akan tahu betul perilaku dan kehendak apa yang ingin kita ambil. Misalnya, ketika kita ingin menjadi seseorang yang sukses, maka langkah pertama yang kita ambil adalah kita harus mau untuk berproses. Segala rintangan, tantangan, bahkan gangguan dari orang sekitar, kita harus berani untuk menangani-nya bahkan sampai menyelesaikan-nya. Selain itu, kita juga perlu mempunyai kesadaran yang penuh akan setiap apa yang kita perbuat, apakah itu baik ataupun buruk, benar ataupun salah, suka ataupun tidak. Semua hal itu akan kita ketahaui dengan kesadaran kita sendiri.

Jiwa ini juga setidaknya mencakup 3 aspek, yaitu pertama kecerdasan intelektual, tentang bagaimana kita mempunyai kecerdasan dalam berpikir, seperti sebuah gagasan, ide, dan argumentasi yang berdasarkan sumber yang valid. Kedua kecerdasan emosional, tentang bagaimana kemampuan kita untuk memahami, mengelola dan mengekspresikan emosi dengan sehat dan efektif. Ketiga kecerdasan spritual, tentang bagaimana kemampuan kita untuk memahami makna dan tujuan hidup, serta etika, norma, moral dan nilai-nilai keagamaan dan lingkungan sosial. Tiga hal ini menjadi pondasi yang penting bagi kita sebagai manusia yang mempunyai jiwa intelektiva. Pada akhirnya jiwa ini menjadi pembeda yang signifikan antara manusia dengan tumbuhan dan binatang.

Akan tetapi, dua jiwa sebelumnya jangan pula dilupakan. Karena kita sebagai manusia pun harus memiliki jiwa-jiwa tumbuhan dan binatang, seperti kita perlu makan, bertumbuh, berkembang biak, menjaga diri, menjaga popularitas, serta mempunyai insting, perasaan, dan mempunyai kelompok (pertemanan).

Dengan demikian, sebetulnya manusia adalah kita mengimplementasikan ketiga jiwa di atas. Sehingga kita akan paham terhadap diri kita sendiri sebagai manusia. Sehingga kita juga tidak akan kebingungan akan proses perjalanan kita yang mempunyai kualitas sebagai manusia. Manusia yang memiliki jiwa avegatativa, sensitiva dan intelektiva. Justru ketika kita berhadapan dengan seseorang yang tidak memiliki ketiga kompenen di atas, maka perlu kita pertanyakan akan kualitas kemanusiaan-nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun