Mohon tunggu...
Mas Top
Mas Top Mohon Tunggu... Petani - Mari mendongeng

Hidup berasama alam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita dari Desa

11 Desember 2019   22:02 Diperbarui: 13 Desember 2019   13:26 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ketika masih berumur belasan tahun, saya cukup benci dengan tempat tinggal saya di desa. Olok-olokan dari teman sebaya menjadi penyebab utama munculnya kebencian itu. 

Anak pelosok dan terpencil merupakan kata-kata yang begitu menyakitkan waktu itu. Walau yang dikatakan mereka itu memang kenyataan. Tempat tinggal saya memang begitu jauh dengan keramaian. Jauh dari gemerlapnya gaya hidup di kota. Dan mungkin jauh juga dari peradaban dunia modern.

Desa saya memang terpencil, berada di lereng perbukitan menoreh. Sebelah barat dari salah satu bangunan paling bersejarah di negeri ini, Candi Borobudur. Kurang lebih delapan kilo meter dari Candi Borobudur atau sekitar 30 menit dengan sepeda motor dan sekitar 45 menit dengan mobil. 

Desa Giripurno begitulah desa ini dinamakan. Giripurno berarti "gunung paling akhir", dan memang seperti itu kenyataanya. Desa ini merupakan desa paling ujung di Kecamatan Borobudur. Sebelah barat merupakan Kecamatan Salaman, dan sebelah Selatan merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Seperti desa-desa di lereng menoreh lainya, kehidupan di desa Giripurno memang begitu berat. Sebagian besar lokasi desa ini merupakan lereng-lereng dengan ketebalan tanah yang tak seberapa. Tanah hanya menempel pada batuan gunung yang tak terkira besarnya. 

Para penduduk biasanya hanya menanami jagung pada musim penghujan, selebihnya hanya tertinggal tanaman singkong yang umbinya tak seberapa. Pada lahan dengan tanah yang lebih tebal, penduduk menanaminya dengan pohon cengkeh dan tanaman tahunan lainnya. Dan hingga saat ini, tanaman cengkeh merupakan tanaman yang paling digemari dan menjadi sumber ekonomi utama penduduk.

Jalur menuju ke kota baru dibangun pada tahun 1995, begitu pula dengan aliran listrik. Sebelum waktu itu, penduduk harus berjalan kaki menuju ke pasar Borobudur untuk menjual hasil panen pertaniannya. 

Waktu itu, dari jam 2 pagi sudah mulai beraktifitas pergi ke pasar. Mereka menggunakan oncor (obor dari bambu), atau obor blarak (pelepah daun kelapa yang sudah kering). 

Para perempuan akan menggendong barang dagangan dan para lelaki akan nyunggi (membawa barang diatas kepala). Barang dagangnya tentu bervariasi, bahkan hingga 80 kg. Baru setelah jalan di bangun kemudian mulai ada mobil yang menjadi angkutan umum.

Di desa ini hanya ada sekolah dasar, dan sekarang bertambah taman kanak-kanak. Untuk Sekolah Lanjutan Pertama dan Atas harus ke desa atau kecamatan lain. 

Untuk pendidikan agama memang lebih lengkap, setiap mushola dan masjid ada pelajaran mengaji sehabis maghrib. Sebuah pondok pesantren pun menerima puluhan santri dari desa ini dan desa-desa tetangga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun