Di beberapa malam sebelum ini, tak jarang kadang ia tersenyum bahagia. Sebab sang bulan begitu akrab menampakkan seri wajahnya di hadapan perempuan itu. Bahkan pada bulan yang sedang merekah, ia menemukan dirinya bagai seorang bidadari berlari-lari di taman sebuah istana yang megah dan dipenuhi aneka bunga harum mewangi. Jiwanya melayang bebas, melintasi semua ruang dan waktu. Bila hal itu terjadi, maka sekonyong-konyong segala kesulitan hidup lenyap dari dalam dirinya. Dadanya juga terasa lapang. Benar-benar lapang.
Tapi malam ini, serasa berbeda dari malam-malam yang telah ditinggalkannya. Terlebih lagi setelah kematian suami, juga puteri semata wayang yang memilih meninggalkan dia seorang diri di tanah kelahirannya. Alasan puterinya sangat sederhana, merantau ke kota adalah pilihan untuk mengadu nasib, mencari kehidupan yang lebih layak dan mapan.
Perempuan itu masih berdiri tegar menatap bulan. Ia menimang-nimang cahaya purnama yang sedang dicabik-cabik mendung. Tiada henti ia menengadahkan wajahnya ke langit, menyaksikan tanda-tanda akan turun hujan yang semakin jelas dan ketara di depan mata.
"Wahai bulan!. Tampakkanlah wajahmu."
"Andai bisa kau kujemput, pasti akan kuminta kau tinggal bersamaku. Temani aku barang sehari dua," pintanya.
"Oh Bulan!. Datanglah kepadaku!. Akan kuceritakan semua derita yang sedang berlabuh di pundak dan pikiranku."
Perempuan itu semakin lirih merintih. Suaranya parau. Nafasnya pun tersengal-sengal. Beberapa butir bening perlahan menggumpal, lalu jatuh dari sudut kelopak matanya yang memerah. Tapi jejemari kedua tangannya silang meremas. Barangkali ia mencoba untuk bertahan. Ya, bertahan sebisa mungkin atas situasi yang tengah dijalani.
Sejak kematian suaminya, perempuan yang kini sebatang kara mengurusi semua keperluannya, selalu saja mengalami kejadian dan peristiwa aneh. Bahkan pernah di suatu malam di saat dia tidur-tiduran di kursi rotan di beranda teras rumah, tiba-tiba didatangi sosok manusia menyerupai almarhum suaminya. Ia terkejut bukan main apabila mendapati diri suaminya muncul di hadapannya. Lelaki itu berpakaian serba putih. Bau wangi tercium semerbak dari tubuh lelaki yang tampak bersih dan rapi itu. Semula ia tak mengenali jika sosok itu adalah almarhum suaminya. Tapi setelah diteliti dengan seksama,ternyata ia meyakini bahwa pria yang menemuinya malam itu adalah mendiang suaminya.
Hatinya gembira antara percaya dan tidak. Mimpikah ini, atau sebuah kenyataan?, begitu pikirnya.
"Kenapa dengan kau, Limah? Adakah yang mengganggu pikiranmu?"
"Iya, Bang. Aku sangat merinduimu," jawab perempuan paruh baya itu setengah sadar.