Pekan yang lalu, Surat Kabar Harian (SKH) Kompas menyajikan sebuah berita yang menurut saya sangat menarik untuk dibahas, yakni perhelatan Internationale Tourismus-Borse Berlin 2019 di Jerman. Pada acara promosi wisata kelas dunia itu, puluhan bus umum bertulis Wonderful Indonesia disertai berbagai destinasi wisata dan seni Indonesia, berlalu-lalang memenuhi jalan di kota Berlin. Menurut Menteri Pariwisata, Andie Arief, para pelaku industri dari 180 negara di 5 benua, dengan 1.000 top buyers berkualitas, 10.000 peserta, dan 160.000 pengunjung hadir pada acara bergengsi tersebut. Ia menargetkan cara yang ditempuhnya itu akan dapat mencapai transaksi 7 miliar euro tahun ini. Sehingga proyeksi income negara akan naik menjadi 10 triliun dari tahun sebelumnya.[1]
 Setidaknya, ada dua poin penting yang dapat kita ketengahkan dari kabar manis di atas. Pertama, masa depan industri parwisata Indonesia akan semakin berkembang (maju). Sehingga dapat mendongkrak pendapatan masyarakat, daerah, dan termasuk Negara. Kedua, eksistensi budaya nusantara semakin mendapat tempat di kancah gobal.Â
Dua hal ini tentu dapat mengangkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Sehingga patutlah kita sambut dengan antusias. Namun, untuk mencapai poin kedua ini, saya kira tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan promosi wisata ke luar negeri. Artinya, semangat menduniakan budaya Indonesia ini harus pula dibarengi dengan sebuah strategi kebudayaan dari dalam (negeri). Dan ini mutlak memerlukan campur tangan sektor (pemerintahan), terutama sinergi sektor pariwisata dan pendidikan.
Â
Bahasa sebagai Strategi
 Menurut data Kementerian Pariwisata, angka kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) terus menerus mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2016 misalnya, jumlah pengunjung yang masuk ke Negara kita mencapai 12.023.971. Angka ini naik pada tahun 2017 menjadi 14.039.799. Laporan terakhir, pada tahun 2018 mencapai 15.806.191 pengunjung.[2]
 Apa arti semua ini bagi kita? Sektor pariwisata, sebagai pintu masuknya para wisman, sebenarnya cukup potensial untuk mengantarai terjadinya transaksi budaya (lokal/nasional-internasional). Saya tidak ingin menyatakan selama ini tidak ada upaya yang mengarah ke sana. Tapi, upaya itu perlu dioptimalisasi. Sebagai contoh, sebagian besar objek-objek wisata di tanah air saat ini masih didominasi dengan (istilah) bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris; mulai dari papan nama lokasi wisata, nama rumah makan, menu masakan, petunjuk arah, hingga buku panduan wisata.
Sebut saja misalnya kata-kata "welcome to...", "...inn", "art shop", "messages and beauty", "...waterfall", dan berberapa kosakata lainnya, bukankah sudah lazim kita temukan di seputar lokasi wisata? Saya bukan berarti anti terhadap bahasa Inggris. Karena memang kita tidak bisa pungkiri peranannya sebagai bahasa internasional saat ini. Lagi pula, jika penggunaan istilah-istilah tersebut ditujukan agar memudahkan para wisman, lalu untuk apa mereka berkunjung jauh-jauh bila suasana yang mereka temukan justru persis seperti di kampung halaman mereka?Â
Maka, upaya pengenalan budaya bisa dimulai dari langkah-langkah sederhana, seperti mereduksi porsi penggunaan Bahasa Inggris di areal destinasi wisata. Bahasa dalam hal ini difungsikan sebagai sebuah strategi kebudayaan. Bukankah bahasa bagian daripada budaya?Â
Peran Pendidikan
Ada dua peran sentral pendidikan dalam konteks ini. Pertama, merevitalisai budaya (lokal-nasional). Kita tentu sama-sama mengetahui, bahwa sejak dulu negara kita tidak hanya terkenal akan kekayaan dan keindahan alamnya, tapi ia juga dikenal dengan keragaman dan keunikan budayanya. Sehingga inilah yang menjadi daya tarik para wisman.
Dalam bidang seni tari misalnya, Indonesia memiliki beragam jenis tari yang mewakili masing-masing daerah dari Sabang sampai Merauke. Warisan bahasa daerah, tidak kurang dari 700-an bahasa daerah yang terdapat di seluruh tanah air.Â
Kemudian, kearifan lokal, tradisi dan adat istiadat memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dari daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di nusantara. Demikian juga dengan berbagai warisan budaya berupa benda, struktur dan nilai sosial, semuanya memiliki keunikan tersendiri.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini, banyak pergeseran nilai dalam budaya kita. Tradisi ngayo[3] pada masyarakat Sasak, misalnya. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat kekeluargaan, juga mencerminkan perlunya menjalin silaturrahmi antar sesama anggota masyarakat. Dalam pertemuan ini biasanya tuan rumah akan menyuguhkan minuman berupa kopi untuk merekatkan rasa persaudaraan. Dan terkadang si tamu juga membawa sesuatu (makanan) dari rumahnya untuk sama-sama dinikmati.
Barangkali boleh dikatakan tradisi semacam ini bisa diganti dengan kehadiran media sosial. Tapi kita tentu sama-sama menyaksikan bagaimana komunikasi para pengguna media sosial sekarang. Bukankah nyaris setiap hari para warganet dengan begitu mudahnya saling hujat hanya karena berita yang belum jelas sumbernya (hoax)? Caci maki, demonisasi dan glorifikasi antar golongan, perundungan, ujaran kebencian (hate speech), saling mencebong-cebongkan dan mengkampret-kampretkan, dan berbagai perubahan perilaku sosial lainnya yang tercermin di media sosial, jelas merupakan pengaburan nilai-nilai luhur budaya kita.
Pengaburan nilai-nilai budi pekerti semacam ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang dapat dilakukan dengan menghidupkan literasi budaya (lokal dan nasional) di sekolah. Revitalisasi budaya dalam hal ini dimaksudkan untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan kekayaan budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali, mencintai dan membangun budaya sendiri sejak dini.
Kedua, tugas lembaga pendidikan adalah merancang pendidikan bahasa yang lebih visioner. Orientasi pendidikan bahasa sudah sepatutnya tak sekedar membentuk keterampilan dan kecakapan berbahasa asing semata, tapi juga lebih kepada membangun kesadaran generasi bangsa akan perlunya mengomunikasikan budayanya sendiri melalui karya ke khalayak dunia.
Untuk mengejawantahkan tawar menawar budaya, mau tidak mau dalam hal ini, bahasa asing (Bahasa Inggris) memang harus dipelajari. Tidaklah mungkin interakasi kultural akan berlansung tanpa perantara media komunikasi. Namun, selama ini bahasa Inggris cenderung dipelajari hanya karena adanya tuntutan dari isntitusi pendidikan (sekolah), dunia kerja, atau sebatas keperluan untuk memenuhi syarat melamar pekerjaan saja. Sangat jarang kemudian kita temukan seseorang belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dengan tujuan lebih dari sekedar memenuhi tuntutan tersebut. Misalnya, mengenalkan atau mengajari bahasa Indonesia kepada para wisman.
Selain karena sudah diserahkan ke lembaga penyelenggara kursus Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA), Â kondisi ini menunjukkan kesadaran komparatif masyarakat kita masih sangat rendah. Karenanya, meminjam istilah Profesor Alwasilah, pendidikan bahasa dewasa ini harus mengusung visi "Keunggulan Komparatif".
Saya memiliki mimpi besar ke depan, dari visi ini terlahirlah kemudian kurikulum, khususnya dalam hal ini bahasa Indonesia, yang mengakomodir pelajaran muatan (budaya) lokal bagi penutur asing. Ini cukup prospektif mengingat semakin terbuka lebarnya interaksi sosial antar bangsa sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya. Peningkatan jumlah wisatawan asing dari tahun ke tahun setidaknya jadi satu contoh.
Apa yang saya kemukakan di atas adalah mempromosikan budaya Indonesia ke khalayak internasional haruslah dibarengi dengan sebuah strategi kebudayan dari dalam (negeri). Sehingga sektor pariwisata yang merupakan pintu masuknya para wisman, tidak hanya mampu mendongkrak omzet Negara, tapi juga mampu memberikan nilai tambah terhadap khazanah kebudayaan kita. Pariwisata merupakan gerbang yang cukup potensial menuju panggung rivalitas global. Bahasa Indonesia sebagai jembatan penghubung yang mengomunikasikan (budaya) lokal dan nasional dengan budaya asing. Dengan begitu, di mata internasional, patutlah kemudian Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dan kekayaan budaya.Â
Lombok Tengah, 20 Maret 2019
Â
Marzuki Wardi, Ketua Bidang Literasi Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Hingga saat ini ia aktif menulis Cerpen, Cernak, Esai, dan Resensi buku di berbagai Surat Kabar. Â Â
[1] Surat Kabar Harian Kompas edisi Senin, 11 Maret 2019.  Â
[2]Â http://www.kemenpar.go.id/asp/ringkasan.asp?c=110. Diunduh pada 16 Maret 2019. Pukul 19:34.
[3] Mengunjungi rumah seseorang (biasanya tetangga) dengan tujuan silaturrahmi.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H