Mohon tunggu...
Marzuki Wardi
Marzuki Wardi Mohon Tunggu... Guru - Santai

Lahir di Sintung, 15 Juni 1986. Disamping menjadi seorang guru SMP, juga menjadi penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan (Bahasa) dan Masa Depan Budaya Indonesia di Kancah Global

21 Maret 2019   15:46 Diperbarui: 21 Maret 2019   16:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bidang seni tari misalnya, Indonesia memiliki beragam jenis tari yang mewakili masing-masing daerah dari Sabang sampai Merauke. Warisan bahasa daerah, tidak kurang dari 700-an bahasa daerah yang terdapat di seluruh tanah air. 

Kemudian, kearifan lokal, tradisi dan adat istiadat memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dari daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di nusantara. Demikian juga dengan berbagai warisan budaya berupa benda, struktur dan nilai sosial, semuanya memiliki keunikan tersendiri.

Sayangnya, seiring perkembangan teknologi dan informasi saat ini, banyak pergeseran nilai dalam budaya kita. Tradisi ngayo[3] pada masyarakat Sasak, misalnya. Tradisi ini sebenarnya selain menunjukkan semangat kekeluargaan, juga mencerminkan perlunya menjalin silaturrahmi antar sesama anggota masyarakat. Dalam pertemuan ini biasanya tuan rumah akan menyuguhkan minuman berupa kopi untuk merekatkan rasa persaudaraan. Dan terkadang si tamu juga membawa sesuatu (makanan) dari rumahnya untuk sama-sama dinikmati.

Barangkali boleh dikatakan tradisi semacam ini bisa diganti dengan kehadiran media sosial. Tapi kita tentu sama-sama menyaksikan bagaimana komunikasi para pengguna media sosial sekarang. Bukankah nyaris setiap hari para warganet dengan begitu mudahnya saling hujat hanya karena berita yang belum jelas sumbernya (hoax)? Caci maki, demonisasi dan glorifikasi antar golongan, perundungan, ujaran kebencian (hate speech), saling mencebong-cebongkan dan mengkampret-kampretkan, dan berbagai perubahan perilaku sosial lainnya yang tercermin di media sosial, jelas merupakan pengaburan nilai-nilai luhur budaya kita.

Pengaburan nilai-nilai budi pekerti semacam ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius. Generasi penerus bisa jadi kehilangan identitas budayanya sendiri. Karena itu, perlu adanya upaya revitalisasi budaya yang dapat dilakukan dengan menghidupkan literasi budaya (lokal dan nasional) di sekolah. Revitalisasi budaya dalam hal ini dimaksudkan untuk menyegarkan, memberdayakan dan membekali anak bangsa dengan kekayaan budayanya sendiri, dan kesadaran yang kritis untuk mengenali, mencintai dan membangun budaya sendiri sejak dini.

Kedua, tugas lembaga pendidikan adalah merancang pendidikan bahasa yang lebih visioner. Orientasi pendidikan bahasa sudah sepatutnya tak sekedar membentuk keterampilan dan kecakapan berbahasa asing semata, tapi juga lebih kepada membangun kesadaran generasi bangsa akan perlunya mengomunikasikan budayanya sendiri melalui karya ke khalayak dunia.

Untuk mengejawantahkan tawar menawar budaya, mau tidak mau dalam hal ini, bahasa asing (Bahasa Inggris) memang harus dipelajari. Tidaklah mungkin interakasi kultural akan berlansung tanpa perantara media komunikasi. Namun, selama ini bahasa Inggris cenderung dipelajari hanya karena adanya tuntutan dari isntitusi pendidikan (sekolah), dunia kerja, atau sebatas keperluan untuk memenuhi syarat melamar pekerjaan saja. Sangat jarang kemudian kita temukan seseorang belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dengan tujuan lebih dari sekedar memenuhi tuntutan tersebut. Misalnya, mengenalkan atau mengajari bahasa Indonesia kepada para wisman.

Selain karena sudah diserahkan ke lembaga penyelenggara kursus Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA),  kondisi ini menunjukkan kesadaran komparatif masyarakat kita masih sangat rendah. Karenanya, meminjam istilah Profesor Alwasilah, pendidikan bahasa dewasa ini harus mengusung visi "Keunggulan Komparatif".

Saya memiliki mimpi besar ke depan, dari visi ini terlahirlah kemudian kurikulum, khususnya dalam hal ini bahasa Indonesia, yang mengakomodir pelajaran muatan (budaya) lokal bagi penutur asing. Ini cukup prospektif mengingat semakin terbuka lebarnya interaksi sosial antar bangsa sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya. Peningkatan jumlah wisatawan asing dari tahun ke tahun setidaknya jadi satu contoh.

Apa yang saya kemukakan di atas adalah mempromosikan budaya Indonesia ke khalayak internasional haruslah dibarengi dengan sebuah strategi kebudayan dari dalam (negeri). Sehingga sektor pariwisata yang merupakan pintu masuknya para wisman, tidak hanya mampu mendongkrak omzet Negara, tapi juga mampu memberikan nilai tambah terhadap khazanah kebudayaan kita. Pariwisata merupakan gerbang yang cukup potensial menuju panggung rivalitas global. Bahasa Indonesia sebagai jembatan penghubung yang mengomunikasikan (budaya) lokal dan nasional dengan budaya asing. Dengan begitu, di mata internasional, patutlah kemudian Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dan kekayaan budaya. 

Lombok Tengah, 20 Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun