Mohon tunggu...
Marzuki Umar
Marzuki Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe

Penulis adalah Dosen STIKes Muhamadiyah Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mencontohkan Bahasa yang Benar bagi Anak Kecil, Apa Dampak Positifnya?

11 Februari 2024   22:37 Diperbarui: 11 Februari 2024   23:04 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Dokumen Pixaby

Oleh : Marzuki Umar, M.Pd.

Mencontohkan sesuatu yang benar kepada anak kecil atau orang lain merupakan suatu keharusan di dalam kehidupan dan penghidupan. Dengan adanya contoh yang diperlihatkan atau diperdengarkan secara benar, maka sang buah hati atau orang lain akan mengikuti sekaligus mencoba merealisasikan sebagaimana yang ia dapatkannya. 

Demikian juga dengan bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi yang tangguh bagi semua kalangan, termasuk anak-anak yang masih kecil. Tanpa adanya bahasa, rasanya akan sangat sulit untuk melakukan berbagai aktivitas walau sekecil atau seringan apa pun. Sebaliknya, bagaimanapun beratnya suatu permasalahan akan dapat diselesaikan dengan baik dengan mengunakan bahasa sebagai sarana komunikasinya. 

Oleh karena bahasa adalah satu-satunya alat yang dapat membuat seseorang bisa menyampaikan sesuatu sesuai dengan keinginannya, maka tindak berbahasa itu perlu dilakukan dengan benar dan dicontohkan kepada setiap anak sejak usia dini. Bahasa yang perlu dicontohkan adalah bahasa yang baik dan benar. Contoh berbahasa tersebut akan dilakukan pertama dan utama sekali oleh orang tua atau keluarganya di lingkungan rumah tangga. 

Mengapa masalah berbahasa ini perlu ditunjukkan secara benar kepada si kecil? Bukankah anak-anak belum memahami tentang bahasa itu? Ya..., sebagaimana kita ketahui bahwa anak kecil atau anak usia dini masih sangat peka dan rentan di dalam menghadapi sesuatu, termasuk dalam berbahasa. Memang sang buah hati ini belum mengerti bahasa, tetapi mereka lagi belajar dan meniru bahasa. Tentu saja, penerapan bahasa baginya sesuai dengan yang didapatkannya. 

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Catatan Tanpa Kertas, bahwa "Meski anak-anak bisa belajar bahasa dari lingkungan sekitarnya, tapi mengajari anak untuk mengembangkan aspek bahasa terasa lebih baik. Anak-anak menjadi lebih bisa dalam mengolah kata dan memahami perkataan dengan baik." http://yd.blog.um.ac.id. Diakses 11 Februari 2024, pukul 05.00 WIB. 

Catatan tesebut mengisyaratkan masalah belajar bahasa. Apabila yang diajarkan atau dicontohkan itu benar, maka praktik berbahasa si kecil pun akan benar. Namun, apabila sebaliknya, bahasa yang diperdengarkan salah atau tidak baik, maka perilaku mereka dalam berbahasa pun akan ikut salah atau tidak baik. Jadi, perlu adanya pembelajaran bahasa yang baik dan benar kepada si buah hati sejak kecil. 

Dalam perjalanan hidup rasanya percontohan alat komunikasi ini terjadi ketimpangan- ketimpangan, sehingga sarana dimaksud disampaikan secara mana suka kepada mereka. Misalnya dalam menyatakan "permen karet". Di sini ada yang menyebutkan bombon atau es. Yang menjadi masalah adalah saat kata-kata tersebut diungkapkan kepada si kecil, konsonan /k/ dan /r/ tidak diucapkan dengan semestinya tapi ditukar dengan konsonan /t/ dan /y/, sehingga ucapannya menjadi " bombon tayet".

Contoh lain yang lazim terjadi di dalam peradaban berbahasa saat menawarkan sesuatu benda kepada sang anak kecil adalah masalah makan dan minum. Manakala dia menangis atau merengek-rengek, sang ibunya atau salah seorang keluarga dekatnya menyatakan, "Napa..., mau mam asyik?" Atau "Mau mam weh? " 

Begitu juga ketika anak itu haus, dengan pola yang sama. Sang ibunya atau pengasuhnya itu segera menyatakan, "Sayaaang...., num yok!" Kata makan dilambangkan dengan mam, kata kue diistilahkan dengan weh, dan kata minum dijuluki dengan num saja. Bahkan, masih begitu banyak ungkapan-ungkapan lainnya yang berwujud kesalahan di dalam mencontohkan bahasa kepada sang regenerasi agama dan bangsa tersebut. 

Baca juga: Jalan Pulang

Anehnya..., paradigma berbahasa yang ditransfer kepada anak usia dini adalah penggalan bahasa-bahasa yang salah dan tidak lengkap strukturnya. Kedengarannya lucu, susunan huruf tidak lengkap, namun penyampaiannya cukup gampang, seolah-olah tanpa cela. Padahal, itu termasuk fundamen dasar berbahasa anak yang mesti diperhatikan. Apalagi saat itu sang anak kecil ini belum tau bahasa tapi masih belajar berbahasa dengan pola meniru. Namun, kesalahan fonologi dalam wujud kesalahan ucapan terus saja mengelabui sang anak sepanjang zaman. 

Mencontohkan Bahasa yang Benar

Di satu sisi anak yang masih kecil perlu dibekali logistik yang banyak dan berguna bagi kehidupannya, yaitu bahasa. Di sisi yang lain, begitu banyak pula suka cita di dalam dunia berbahasa, terutama yang dicontohkan kepada mereka. Kesalahan demi kesalahan terus saja bergulir seiring perjalanan waktu. Guna menetralisir keduanya, meneladani bahasa yang benar adalah suatu keniscayaan yang patut diperhitungkan. 

Nababan dalam bukunya Sosiolinguistik Suatu Pengantar (1994:13) menyatakan bahwa "Bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yaitu bentuk, baik bunyi maupun tulisan maupun strukturnya, dan makna, baik leksikal maupun fungsional dan struktural." Berarti, apapun yang kita ungkapkan berwujud bahasa maka itu akan memilki bentuk dan maknanya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ingin dibahasakan dan dicontohkan kepada si kecil yang masih usia dini haruslah dengan bahasa yang baik dan benar. 

Beberapa contoh yang senantiasa terjadi dalam hubungan kekeluargaan antara anak dengan ibunya atau orang-orang terdekat dengannya di dalam tindak komunikasi. Istilah tersebut antara lain: - syu, - oti, - yong, atuh, tuyon. Hal ini sepatutnya tidak boleh terjadi karena semuanya itu dapat diungkapkan dengan utuh dan benar, sehingga si anak pun akan mengucapkan secara benar pula. Kata susu jangan diperdengarkan dengan syu, kata roti jangan diukirkan dengan oti belaka. Begitu juga dengan burung tidak dibiasakan dengan yong, kata jatuh jangan diucapkan tiga huruf saja, dan kata turun tidak diucapkan dengan tuyon. 

Selain hal di atas, setiap orang tua hendaknya tidak menyebutkan samaran yang kurang baik kepada siapa pun kepada anak yang lagi belajar bahasa. Mereka belum memahami maksud dan tujuan yang kita juluki itu. Baginya seakan-akan akan yang kita juluki tersebut sudah sangat baik. Dengan begitu, si anak ini pun nantinya akan memanggil sosok-sosok terdekatnya dengan sebutan yang memilukan. Misalnya; si boneng, si badut, si begok atau julukan-julukan lain semacamnya. Ini benar-benar harus menjadi pantangan bagi kita. 

Begitupun saat mengucapkan suatu kata dengan kurang tepat dengan istilah cadel. Ini rasanya tidak boleh kita contohkan karena dapat berakibat fatal bagi si anak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah situs bahwa "Cadel adalah sebuah gangguan ketika seseorang mengalami kesulitan melafalkan huruf-huruf atau kata tertentu dengan baik. Huruf tersebut antara lain R, D, L, N, S, T, atau Z. Cadel seringkali dialami oleh balita. Gangguan ini dapat membuat anak kesulitan berkomunikasi dengan jelas hingga kehilangan rasa percaya diri." https://Morinaga id. Diakses 11 Februari 2024, pukul 21.30 WIB. 

Jelasnya, kata-kata apa pun yang ingin disampaikan bagi anak kecil haruslah lengkap dan benar sesuai struktur dan maknanya. Lantas..., dampak positif apa saja yang bakal dimunculkan dengan mencontohkan bahasa yang benar kepada anak sejak usia dini? Guna dapat memberi jawaban konkret terhadap pertanyaan tersebut, deskripsi berikut akan memberi gambaran terhadap hal tersebut. 

Mewariskan Bahasa yang Betul

Seperti telah dijelaskan bahwa bahasa adalah sarana transformasi dari yang tidak tau menjadi tau. Dengan memperhatikan strategi penyampaian bahasa yang akurat maka otomatis kita telah mencoba mewariskan bahasa yang betul sejak usia dini. Hal ini tentu akan menjadi harta warisan yang cukup berharga bagi kehidupan dan penghidupannya kelak. Pepatah jadul menandaskan dengan tegas bahwa "bahasa menunjukkan bangsa".

Dengan adanya warisan bahasa yang betul, mereka akan dapat membawa diri ke arah yang lebih bersahabat, kapan dan di mana saja anak itu berada nantinya. Secara psikologis, hubungan sosial pun akan mudah dilaksanakan dikarenakan faktor bahasa tersebut. Bahkan, bila anak tersebut tergolong kritis, saat telah memahami bahasa yang diutarakan orang lain, dia pasti dimengerti dan sekaligus akan dikritisi serta diperbaikinya saat komunikasi berlangsung. 

Demikian juga dengan julukan yang akan diberikan hendaknya julukan yang baik kepada mereka. Ungkapkanlah sang hebat, sang pemberani, sang pahlawan, dan sebagainya, yang bernuansa etika dalam berbahasa. 

Upaya Melestarikan Bahasa

Sekilas, kiranya mencontohkan bahasa yang benar kepada sang anak usia dini adalah perbuatan spele dan kurang bermakna adanya. Padahal, tanpa kita sadari perilaku tetsebut merupakan salah satu upaya dalam kerangka melestarikan bahasa. Mengapa? Hal itu jelas disebabkan kita tidak semena-mena memperkenalkan bahasa yang kurang baik atau tidak benar kepada mereka. 

Sungguhpun bahasa memiliki sifat dinamis bukan statis, tetapi yang kita contohkan tetap yang baik dan benar. Rasanya sangat sedikit orang yang tetap menyimpan dan menjaga bahasa-bahasa yang kurang atau tidak bermanfaat dalam memorinya. Kalaupun ada istilah atau kata yang tidak baik dari segi etika, ini tidak perlu dilestarikan melalui tindak berbahasa dengan anak-anak. Dengan demikian, upaya pelestarian bahasa yang baik dan benar akan terwujud sebagaimana yang diinginkan. 

Meminimalisir Penggunaan Bahasa yang Tidak Benar

Rasanya tidak dapat diragukan lagi mengenai penggunaan bahasa yang akan dilakukan oleh sang anak-anak manakala yang dicontohkan dan diwariskan itu adalah bahasa atau kata-kata yang benar. Dengan sendirinya mereka akan tetap menjaga dan meminimalisir penggunaan bahasa yang tidak benar. 

Sungguhpun nantinya akan diperoleh bahasa yang tidak baik dan tidak benar melalui pergaulannya, namun tentu hal itu pasti akan mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi, bila sejak dini sudah kita pasok dengan kata-kata atau bahasa yang salah, baik dari segi struktur maupun etika berbahasa, jangan kita salahkan merekat apabila suatu saat patron itu akan dijadikan pedoman dalam bertindak. 

Berikut, istilah atau ucapan yang mesti dijauhi saat membekali segudang kata-kata kepada anak-anak. Kata kambing jangan diperdengarkan mbeng saja. Kata motor jangan sering diistilahkan dengan tor melulu. Kata mobil jangan juga disebut bin. Kata tolong jangan dilafalkan toyong. Begitu juga kata sakit tidak diperdengarkan akit saja. 

Bentuk-bentuk ungkapan seperti itu tidaklah dimanfaatkan oleh orang tua untuk menjaga keutuhan bahasa yang akan digunakan oleh si anak. Gunakanlah kata-kata tersebut secara lengkap secara fonologis dan morfologis yang tepat. 

Kesimpulan

Bahasa adalah sarana komunikasi utama yang sangat berharga dalam kehidupan. Menjaga bahasa sama dengan menjaga jiwa dan raga kita sendiri. Melestarikan bahasa sama dengan menjaga gezah atau marwah kita sendiri. Sebelum sang generasi merusak bahasa dari segi fonologi atau bunyi, morfologi atau struktur, sintaksis atau tata kalimat, serta semantik atau makna, mewariskan bahasa yang baik dan benar adalah suatu kewajiban. Hal tersebut tidak hanya bagi bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua bagi sebagian besar bangsa ini, tapi juga hendaknya kita lestarikan bahasa ibu sebagai bahasa utama dan pertama bagi kehidupan. 

Kiranya, tak ada gading yang tak retak, semoga...! 

Penulis adalah : Dosen STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun