Oleh : Marzuki Umar
Seperti biasanya, pagi itu ku bangkit menuju sawah ladang yang berjauhan satu kilo meter dari rumahku. Ku menelusuri jalan setapak di sela hutan yang ditumbuhi rumput ilalang kiri kanannya. Dari kejauhan tampak rumpun bambu di ujung jalan itu yang tak bisa dilalui oleh kendaraan besar, kecuali sepeda motor saja. Suara jangkrik menggelegar bersahutan. Ditambah dengan kicauan cucak rowo yang membuat diriku begitu berani menantang jalan sesepi itu.Â
Matahari terus saja mengukir sinarnya lewat celah dedaunan yang rimbun. Sesaat, mulutku bergumam..., "Hmmm...bila cepat tuntas aku harus cepat pulang ni, mau pigi ke rumah Om Jol. Bisa nggak ya...? " Begitulah niatku terlintas sesaat.Â
Aku terus saja berjalan sembari melihat kiri-kanan dan sesekali juga aku menatap ukiran daun yang indah di balik suara kresek-kreseknya karena hembusan angin. Kiranya tak terasa waktunya telah membidik pada angka 07.00 WIB. Hal ini mengisyaratkan bahwa perjalanan dengan jarak tempuh cuma sekilo meter bisa memakan waktu 30 menit. Padahal, saat itu aku belum sampai pada tujuan.Â
Separuh perjalanan, rupanya di belakangku mengekor seorang ibu paruh baya, Mbak Mely. Dia juga ingin ke ladangnya yang berseberangan dengan tempat cocok tanamanku. "Buk... Buuk... Ibuuuuk!" Dia memanggilku dengan suara lantang. Saat itu, aku kurang fokus karena lagi mikir gemana agar nanti di sawah tidak berlama-lama.Â
Setibanya dekatku, sosok yang sering dipanggil Teteh oleh banyak sahabat itu, kembali ngomong. "Napa tadi pagi ibuk nggak manggil Mely, padahal dari semalem udah inget besok pigi sekalian ma ibuk aja ke ladang? ungkapnya lirih.Â
" Iya ya... Sebenarnya Ibuk juga kepengen begitu, eee...tiba-tibak kok bisa lupa ya...! sahutku. Terus...secara perlahan keduanya melanjutkan perjalanan sambil ngobrol-ngobrol masalah bibit padi yang bakal ditanam.Â
Yeaaah..., perjalanan masih tinggal 200 meter lagi. Hasrat menyelesaikan kerjaan sawah kian bangkit. Tancap gas adalah satu-satunya solusi. Kalau tidak, niat untuk nuntaskan segala urusan yang bertaut tataran sawah tak kan berhasil. Lalu..., seketika itu juga langkah ku percepat dari sebelumnya.Â
Teeet...teeeet...teeloleet...! Raungan motor dan mobil di seberang jalan utama lewat sawahku kian menggema. Suara lalu lalang kendaraan semakin meyakinkan ku segera berada di sawah. Tiba-tiba...tangisan dan rintihan membuatku tersentak. Seketika, bola mataku membelalak ke semak belukar di sekelilingnya.Â
Sssttt..., "Suara apa itu? " Tanyaku padanya. "Kedengarannya suara orang, ya! " Tambah ku lagi. Tanpa kesan ketakutan, Mely sedikit bereaksi.., "Tu yang gitu-gitu udah biasa di sini, buk. Tu bukan hanya pagi ini, tapi dah hampir tiap hari, gak aneh lagi buk! "
Lalu..., kami segera meninggalkan tempat sepi dan kumuh itu dan menuju arena kerjaannya masing-masing. Teh Mely masuk ke ladangnya dan aku pun turun ke sawahku membereskan pematang sawah yang begitu semak dengan rumput-rumput liar. Cangkul dan parang kujadikan sarana setia tuk menghalau rumput-rumput itu.Â
Rumput demi rumput terus terbabat secara perlahan tapi pasti. Keyakinanku kian tergapai hasilnya, sehingga niatku berbalik tuk mencari Om Jol segera berhasil. Namun..., lagi meniti dan menata pematang sawah, lagi-lagi jeritan tangis menggelegar mengudara ke telingaku. Tak terasa, peralatan kerjaku terhempas ke tanah lumpur seketika. Aku segera meninggalkan tugas suciku itu dan bergegas memberitahu suara yang menyedihkan itu ke Teh Mely yang berjarak 100 meter dariku.Â
Dalam kondisi terengah-engah dan dalam terbata-bata, aku bertanya padanya, "Teh..., de...de...denger nggak suara barusan? " Dia terperanjat..., kemudian dia balek bertanya, "Kapan tu, rasanya gak ada kok! " Sekalipun begitu, aku tetap meyakinkannya bahwa suara aneh itu begitu membahana beberapa saat yang lalu di arah pohon bambu yang telah tumbuh dan berkembang puluhan tahun di situ.Â
Tanpa mikir panjang, aku dan dia kembali menuju ruas rumpun bambu itu. Baru dua kalimat seorang sempat muncrat, aku sudah berada di situ. Perasaan ngeri bercampur sedih kian nenyelimuti diriku. Bulu kudukku terus merinding. Tapi... Aku dan Teh Mely terus dan terus saja mencari tau akan petaka rumpun bambu itu. Sekalipun sebelumnya tetanggaku itu telah memberi sinyal suara aneh sudah biasa di situ tapi hatiku seketika terngiang akan kondisi selama ini. Bisa saja malapetaka begitu akan terjadi.Â
Kala itu alam pun sunyi senyap kecuali angin sepoi-sepoi yang mengusik dedaunan serta gesekan batang bambu. Tanganku terus merogoh onggok kayu dan ranting-ranting bambu yang berantakan. Juga aku mencoba mengungkit onggok kayu serta membolak-balik tumpukan daun kering. Perasaan kecewa hampir saja menggores hatiku. Betapa tidak, 10 menit berlalu dengan tangan dan ujung jari terasa sakit terpelintir duri jeritan tak terungkap.Â
Teh Mely yang begitu setia menemaniku kembali berseru. "Buk...kan udah ku bilang, di sini gak da apa biasanya. Paling-paling yaaa...suara setan kali tu tadi". Namun.., jiwaku semakin tak tentram dan terus berharap agar suara tadi bisa kudapatkan dengan nyata. Tiba-tiba tanpa setahu tetanggaku itu, sejenak ku menghadap kiblat dan menatap ke atas dengan tangan menadah pada Yang Kuasa agar segala usahaku bisa terwujud.Â
Usaha...doa...dan tawakkal terus saja kupahat dalam jiwaku dalam kondisi tubuhku terbalut tanah liat. "Ya Rab..., jika memang jeritan tadi keluar dari mulut yang tersakiti, nampakanlah jiwa raganya, agar hamba bisa menolongnya. Tapi bila suara itu dari setan, jauhkan dan hentikanlah agar kami tidak betpraduga yang salah. Kabulkanlah doa hamba yang lemah ini, ya Rahman..! "
Memang bak kata pepatah "Ketulusan akan berbuah kemengan!". Itulah yang aku alami. Saat itu, abdroidku memberi isyarat jam telah menakar angka 13.00 WIB. Dalam keadaan letih dan rasanya segera ingin pulang, apalagi waktu shalat dhuhur telah berlalu 20 menit, sementara tubuhku masih kotor dan belum tunaikan kewajibanku.Â
"Toloooong...!" Suara mengguntur sesaat dan cuma sekali, yang menjadikanku kembali menyisir semak belukar di sisi perdu bambu itu. Ternyata benar adanya. Di sela-sela akar bambu yang kian membusuk, terdapat sebuah lubang sebesar tubuh manusia. Betapa sedih dan miris hatiku kala melihat tubuh seorang jejaka paruh baya tertimbun di lubang yang sempit dengan kedua lengannya menjulur ke atas.Â
Linangan air mata terus membasahi kedua pipiku yang redup seraya ku memanggil tetanggaku itu untuk mencoba mengangkat tubuh korban yang terus meronta-ronta. Dengan berbagai dalih, akhirnya sang korban dapat terangkat dan terasingkan dari himpitan lubang dalam keadaan terkulai. Setelah itu, aku dan Teteh itu berusaha membersihkan kotoran debu di badannya yang diwarnai bintik-bintik merah hasil gigitan semut.Â
Dalam kapasitas tubuhnya lembam di beberapa sisi serta sedikit darah dalam hidungnya yang membengkak, dengan hanya bercelana jeans, aku mencoba mencari data pribadinya. Sayangnya, apa pun tidak aku dapatkan di kantongnya yang dapat menunjukkan cirinya. Cuman yang ada hanya secarik kertas sebesar 2 x 10 cm di sela-sela kantongnya yang lusuh. Di situ tertancap sedikit tulisan yang berbau ancaman: "Sudah ku bilang, jangan macam-macam kau di sini, buat susah orang aja. Kalau dapat lagi, awas kau ya...!"
Lapar dan dahaga kian tak terasa. Â Pikiranku hanya tertata pada sosok yang napasnya putus-putus dan tak bersuara itu. Dengan prihatin, ku coba minta tolong Teh Mely yang masih tetap bersamaku. "Teteh..., boleh nggak kasih tau ke orang-orang lorong kita, kasih tau ini sekaligus minta tolong panggil ambulans guna membawa korban ini ke rumah sakit! "
Dengan rasa lara, dia merelakan dirinya untuk memanggil para tetangganya. Insya Allah..., tak lama kemudian mereka pada datang dan ambulans pun tiba walau saat itu tidak bisa masuk tembus ke tempat duka. Detik itu juga korban diangkat dan dibawa ke ambulans yang sudah menunggu dalam jarak 500 meter.Â
Sungguh pun saat itu aku dalam keadaan tak karuan, aromaku sedikit menyengat dan berkeringat, aku dan Teh Mely tetap mengiringi korban bersama ambulans ke rumah sakit terdekat. Sayangnya...baru beberapa saat dalam ambulans, korban dimaksud menghembuskan napas yang penghabisan. Raungan ambulans serta lampunya yang berkedip-kedip, membuat para warga bertanya-tanya, siapa dan kenapa. Nah..., dalam tempo yang tidak begitu lama, kami semua sudah berada di sana.Â
Korban segera dibawa ke ruang UGD dan kemudian diatopsi di ruang khusus dengan sungguh teliti. Sementara aku dan Teteh tetap menunggu hasil visum dari sang dokter yang menanganinya saat itu. Nyatanya, memang korban telah meninggal dunia.Â
Tak kusangka, tiba-tiba aku dipanggil ke dalam suatu ruangan khusus untuk diminta keterangan oleh pihak kepolisian. Tanpa merasa ragu dan dengan suka duka memberi keterangan aktual sebagaimana yang aku rasakan. Di sela-sela penyidikan aku menyodorkan kertas lusuh bertajuk maklumat kepada pak polisi dan menyatakan yang sebenarnya. Tak lama setelah itu, aku bersama petugas meninggalkan rumah sakit dan segera ke TKP.Â
Teh Mely juga ikut bersamaku guna mendampingi dan mengulas sedikit keterangan akan kejadian itu. Setelah semua keterangan disampaikan, kami berdua diizinkan pulang, sementara jenazah korban terpana di ruang jenazah untuk penyidikan selanjutnya.Â
Tenaga medis dan pihak berwajib terus meneropong sebab musabbab serta tokoh pelaku dan korbannya. Tiba-tiba peristiwa tersebut tetcium oleh pihak wartawan, baik dari media cetak maupun elektronik. Sedangkan pihak rumah sakit dan kepolisian terus saja mengontak ke sana ke mari untuk mencari tau identitas korban. Tak lupa pula mendeteksi ciri-ciri korban tersebut. Tanpa diduga, oleh salah seorang jurnalis mengungkap bahwa anak kabupaten seberang sudah tiga hari menghilang dan sudah tayang dalam beberapa situs.Â
Seketika itu jua, pihak kepolisian mengontek rekannya seprofesinya di kabupaten dimaksud. Mereka menyampaikan kronologis temuan sosok korban siang itu dalam keadaan mengenaskan. Ciri-ciri korban juga dipaparkan dengan baik beserta gambar dan video ditayangkan dengan konkret.Â
Usai mahrib menjelang isya, jawaban via android menggema. Berkat kepiawaian dan kesigapan semua pihak, identitas korban terus mengemuka. Memang korban itu anak kabupaten seberang yang selama ini memiliki karakter yang mengenaskan. Kerjaannya selalu negatif, yang membuat warga semakin benci melihatnya. Asal saja tampangnya melintas di jalan, para warga selalu waspada bahkan berharap tampang tersebut segera menghilang.Â
Lantas..., pihak kepolisian dan keluarga segera mendatangi rumah sakit tempat korban diatopsi dan kemudian jenazahnya terus dibawa ke rumah duka. Masalah sang pelaku, ini semuanya diserahkan pihak keluarganya untuk menjadi tanggung jawab pihak kepolisian sepenuhnya.Â
Penulis adalah : Dosen STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H