Lalu..., kami segera meninggalkan tempat sepi dan kumuh itu dan menuju arena kerjaannya masing-masing. Teh Mely masuk ke ladangnya dan aku pun turun ke sawahku membereskan pematang sawah yang begitu semak dengan rumput-rumput liar. Cangkul dan parang kujadikan sarana setia tuk menghalau rumput-rumput itu.Â
Rumput demi rumput terus terbabat secara perlahan tapi pasti. Keyakinanku kian tergapai hasilnya, sehingga niatku berbalik tuk mencari Om Jol segera berhasil. Namun..., lagi meniti dan menata pematang sawah, lagi-lagi jeritan tangis menggelegar mengudara ke telingaku. Tak terasa, peralatan kerjaku terhempas ke tanah lumpur seketika. Aku segera meninggalkan tugas suciku itu dan bergegas memberitahu suara yang menyedihkan itu ke Teh Mely yang berjarak 100 meter dariku.Â
Dalam kondisi terengah-engah dan dalam terbata-bata, aku bertanya padanya, "Teh..., de...de...denger nggak suara barusan? " Dia terperanjat..., kemudian dia balek bertanya, "Kapan tu, rasanya gak ada kok! " Sekalipun begitu, aku tetap meyakinkannya bahwa suara aneh itu begitu membahana beberapa saat yang lalu di arah pohon bambu yang telah tumbuh dan berkembang puluhan tahun di situ.Â
Tanpa mikir panjang, aku dan dia kembali menuju ruas rumpun bambu itu. Baru dua kalimat seorang sempat muncrat, aku sudah berada di situ. Perasaan ngeri bercampur sedih kian nenyelimuti diriku. Bulu kudukku terus merinding. Tapi... Aku dan Teh Mely terus dan terus saja mencari tau akan petaka rumpun bambu itu. Sekalipun sebelumnya tetanggaku itu telah memberi sinyal suara aneh sudah biasa di situ tapi hatiku seketika terngiang akan kondisi selama ini. Bisa saja malapetaka begitu akan terjadi.Â
Kala itu alam pun sunyi senyap kecuali angin sepoi-sepoi yang mengusik dedaunan serta gesekan batang bambu. Tanganku terus merogoh onggok kayu dan ranting-ranting bambu yang berantakan. Juga aku mencoba mengungkit onggok kayu serta membolak-balik tumpukan daun kering. Perasaan kecewa hampir saja menggores hatiku. Betapa tidak, 10 menit berlalu dengan tangan dan ujung jari terasa sakit terpelintir duri jeritan tak terungkap.Â
Teh Mely yang begitu setia menemaniku kembali berseru. "Buk...kan udah ku bilang, di sini gak da apa biasanya. Paling-paling yaaa...suara setan kali tu tadi". Namun.., jiwaku semakin tak tentram dan terus berharap agar suara tadi bisa kudapatkan dengan nyata. Tiba-tiba tanpa setahu tetanggaku itu, sejenak ku menghadap kiblat dan menatap ke atas dengan tangan menadah pada Yang Kuasa agar segala usahaku bisa terwujud.Â
Usaha...doa...dan tawakkal terus saja kupahat dalam jiwaku dalam kondisi tubuhku terbalut tanah liat. "Ya Rab..., jika memang jeritan tadi keluar dari mulut yang tersakiti, nampakanlah jiwa raganya, agar hamba bisa menolongnya. Tapi bila suara itu dari setan, jauhkan dan hentikanlah agar kami tidak betpraduga yang salah. Kabulkanlah doa hamba yang lemah ini, ya Rahman..! "
Memang bak kata pepatah "Ketulusan akan berbuah kemengan!". Itulah yang aku alami. Saat itu, abdroidku memberi isyarat jam telah menakar angka 13.00 WIB. Dalam keadaan letih dan rasanya segera ingin pulang, apalagi waktu shalat dhuhur telah berlalu 20 menit, sementara tubuhku masih kotor dan belum tunaikan kewajibanku.Â
"Toloooong...!" Suara mengguntur sesaat dan cuma sekali, yang menjadikanku kembali menyisir semak belukar di sisi perdu bambu itu. Ternyata benar adanya. Di sela-sela akar bambu yang kian membusuk, terdapat sebuah lubang sebesar tubuh manusia. Betapa sedih dan miris hatiku kala melihat tubuh seorang jejaka paruh baya tertimbun di lubang yang sempit dengan kedua lengannya menjulur ke atas.Â
Linangan air mata terus membasahi kedua pipiku yang redup seraya ku memanggil tetanggaku itu untuk mencoba mengangkat tubuh korban yang terus meronta-ronta. Dengan berbagai dalih, akhirnya sang korban dapat terangkat dan terasingkan dari himpitan lubang dalam keadaan terkulai. Setelah itu, aku dan Teteh itu berusaha membersihkan kotoran debu di badannya yang diwarnai bintik-bintik merah hasil gigitan semut.Â
Dalam kapasitas tubuhnya lembam di beberapa sisi serta sedikit darah dalam hidungnya yang membengkak, dengan hanya bercelana jeans, aku mencoba mencari data pribadinya. Sayangnya, apa pun tidak aku dapatkan di kantongnya yang dapat menunjukkan cirinya. Cuman yang ada hanya secarik kertas sebesar 2 x 10 cm di sela-sela kantongnya yang lusuh. Di situ tertancap sedikit tulisan yang berbau ancaman: "Sudah ku bilang, jangan macam-macam kau di sini, buat susah orang aja. Kalau dapat lagi, awas kau ya...!"