Mohon tunggu...
Marzuki Umar
Marzuki Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe

Penulis adalah Dosen STIKes Muhamadiyah Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendongkrak Jiwa Menulis, Kenapa Tidak?

27 Desember 2023   09:52 Diperbarui: 27 Desember 2023   10:01 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Oleh karenanya, berkolaborasi di bidang ilmu ini sangatlah penting. Ilmu kita dengan mudah diberikan bagi orang lain, ilmu orang kain juga akan begitu mudah disuguhkan kepada kita. Satu saja kita hadiahkan mungkin sepuluh datang yang lainnya. Agar hal yang ingin kita sampaikan lebih ajeg, itu dapat dinukilkan melalui tulisan.


 Bila hal ini disampaikan secara lisan memang tidak salah, tetapi ada kalanya retensi atau ingatan penerima obrolan itu tidak kuat, sehingga apa saja yang didengarnya tidak lama bersahabat dalam jiwanya. Namun, bila hal dimaksud diwujudkan dalam tulisan, kapan saja dibutuhkan akan bisa dibuka dan dibaca kembali secara lugas dan detail. Di samping itu, yang paling membahagiakan adalah karya atau ilmu yang kita salurkan dalam tulisan tidak hanya diperhatikan oleh satu atau sekelompok orang tetapi oleh banyak orang bahkan mendunia.


Iri dan Cemburu Menulis Itu Penting


Kelihatannya, kehadiran dua istilah ini dalam menulis rada-rada aneh. Akan tetapi bila kita resapi secara mendalam, keduanya patut diundang. Di satu pihak, Iri merupakan sifat yang dicela tetapi di pihak lain dibolehkan. Iri merupakan suatu sifat dimana seseorang merasa resah melihat keberadaan atau kemegahan orang lain. Hal seperti ini dibenci. Namun, iri dengan  cara berubah secara positif guna mendapatkan sesuatu seperti orang lain, ini dibolehkan. Sementara cemburu adalah adanya rasa was-was akan kehilangan sesuatu yang dimilikinya.


Jadi, iri agar dapat membentuk karya tulis sebagaimana orang-orang lain telah menulis adalah suatu yang tidak dilarang. Dengannya, dia akan mengarahkan diri untuk bergumul dengan tulisan seirama dengan pengetahuan dan pemahaman yang ada. Sedangkan iri untuk dapat menjadikan karya orang lain sebagai karya miliknya sangat dilarang karena itu adalah tindakan tercela yang dapat merugikan orang lain sebagai penulis asli.


Begitu juga dengan cemburu. Cemburu termasuk gejala jiwa, yang dengannya seseorang akan merasa gundah apabila segala hal yang ada pada diri  akan hilang dari genggamannya. Sudah barang pasti orang yang bersangkutan akan mencari jalan keluar agar benda miliknya itu tetap utuh di tangannya. Nah..., betapa banyak masalah yang dapat digarap sendiri menjadi karya tulis, tetapi hal itu selalu ditulis orang. Dia hanya sebatas sumber. Kiranya tidak selamanya seperti itu. Alangkah beruntungnya pemiliknya yang langsung berkontribusi secara produktif. Dalam perkara ini, cemburu perlu diutamakan.


Mengasah iri dan cemburu, suatu pengalaman unik dapat penulis gambarkan dalam rubrik ini. Bahwa sekitar akhir tahun 1980-an, penulis pernah mengirim permohonan kepada redaksi harian Waspada agar dapat diterima sebagai wartawan saat itu. Namun, permohonan itu ditolak dengan alasan yang logis. Sementara itu, tiap kali membaca koran Waspada, tiap saat pula penulis berkeinginan menjadi bagian dari tulisan itu, tetapi tidak terwujud. Perasaan untuk menulis akhirnya mematung dan sunyi dari berandai-andai.


Waktu terus berlalu dan setelah sekian lama niat untuk menulis bangkit kembali di tahun 2010 dan sekaligus sempat mengikuti pelatihan jurnalis selama seminggu di Bireuen. Sesudah itu, penulis mencoba mengeluarkan isi hati melalui tabloit "Narit" dalam sebuah artikel yang bertajuk "Performa Guru yang Diidamkan Siswa". Hati penulis merasa bahagia seketika itu juga karena karya perdana dapat nempel di media cetak yang dapat dinikmati oleh rekan guru dan dosen secara meluas. 


Justru demikian, gerakan menulis kembali mengerucut secara perlahan dan terus membisu. Tatkala melihat perkembangan tulisan yang demikian meroket, jiwa penulis bergumam. "Kenapa ya aku tidak bisa menulis seperti mereka? Kalau kita lihat yang ditulis itu masalah yang cukup ringan tapi kok bisa mendunia? Yang lebih terkesima lagi bagi diriku ketika menemukan karyanya itu nongol setiap hari di media...! " Hati penulis lirih. 

Meskipun begitu, di penghujung tahun 2021, tepatnya di bulan November, keinginan menulis nencuat lagi. Setelah mendampingi kegiatan menulis artikel ilmiah Guru SLB Lhokseumawe yang dipaparkan oleh Bapak Mukhlis Puna, iri dan cemburu penulis  kian menggebu untuk menggores artikel. Terlebih saat memperhatikan karya-karya tulis orang, yang ditampilkan hanya hal-hal biasa tetapi gezahnya luar biasa. Mulai saat itulah penulis memintal lagi kata demi kata yang berstatus artikel. Karya yang bernuansa artikel populer dan puisi saat itu dialirkan lewat link "Web Sastrapuna.com".


Berkat kepiawaian dan keikhlasan beliau, sampai saat ini kemauan untuk menulis kian melejit. Bahkan, saat ini penulis telah memiliki link tersendiri atas kepercayaan Kompasiana.com. Jika dalam satu atau dua hari tidak menghasilkan suatu karya, kiranya apa saja yang penulis rasakan tak bermanfaat sama sekali. Makan pun kadang-kadang kurang lahap. Konon, situs yang penulis kolaboratifkan saat ini (Kompasiana.com) amat profesional dan objektif di dalam menilai karya. Tentu, ini juga tidak terlepas dari rasa iri dan cemburu terhadap jutaan karya orang lain, termasuk karya-karya penulis kawakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun