Mohon tunggu...
Marzuki Umar
Marzuki Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe

Penulis adalah Dosen STIKes Muhamadiyah Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Santri Pencari Derma, Positifkah?

7 Desember 2023   12:26 Diperbarui: 7 Desember 2023   12:37 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: Dokumen Pribadi

 

Oleh : Marzuki Umar, M.Pd. 

 

Istilah "Pesantren atau dayah" kiranya bukan hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Aceh khususnya. Istilah ini kian melekat dalam hati sanubarinya karena tempat tersebut identik dengan rumah ibadah. 

Mengapa demikian? Sebagaimana kita ketahui bahwa pesantren atau dayah merupakan tempat penampungan para muda belia atau para kaula muda untuk digembleng menjadi santri. 

Melalui sarana ibadah ini, mereka ditempa dengan berbagai pengalaman dan ilmu pengetahuan yang memadai serta bernuansa agama sesuai dengan jenjang masing-masing. Konon, saat ini lembaga kecintaan masyarakat ini pun sangat mudah didapatkannya di berbagai daerah.

Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan pertumbuhan pesantren atau dayah pun kian melejit. Kalaulah beberapa puluh tahun yang silam, di Aceh khususnya, hanya terdapat beberapa pesantren atau dayah ternama di daerah-daerah tertentu saja, kini lembaga pendidikan islami tersebut tumbuh "bak jamur di musim hujan" layaknya. Hampir rata daerah dan pelosok saat ini dimunculkannya. 

Kakanwil Kemenag Aceh mengungkapkan bahwa "Jumlah Dayah di Aceh sampai saat ini mencapai 1626 unit yang tersebar di berbagai daerah Kabupaten/Kota". https://aceh.tribunnews.com Diakses 4 Desember 2023, pukul 21 WIB.

Ungkapan tersebut membuktikan bahwa keberadaan lembaga pendidikan agama di Aceh ini kian mencuat di mana-mana. Hal itu tentu tidak terlepas dari cara pandang masyarakat terhadap dunia pendidikan dewasa ini. 

Terlebih peradaban yang kian kacau-balau, membuat kamera masyarakat membidik ke area-area tarbiah yang dianggap lebih menguntungkan, terutama bagi diri dan keluarga beserta agamanya. 

Kondisi ini terindikasi dalam lima tahun terakhir ini, dimana banyak orang tua yang mengarahkan anaknya untuk masuk ke pendidikan dayah. Dalam hal ini, jauh-jauh hari sang orang tua telah mencari informasi mengenai keberadaan dan kemajuan dayah yang akan dituju.

Tujuan utama masyarakat dan orang tua mengantarkan buah hatinya itu ke dayah atau pesantren adalah untuk menjadi manusia yang berguna. Bila pun setelah tamat nanti tidak menjadi "Ulama Besar" bagi yang laki-laki atau "Ustazah" bagi yang perempuan, pancaran ilmu yang mereka bawa dari dayah itu kian menjelma. 

Sekurangnya setiap santri itu akan menjadi imam shalat di kampung halamannya ketika mereka kembali. Bahkan, yang paling mendasar mereka akan dapat mengimami ketika orang tuanya atau saudara meninggal dunia sekaligus senantiasa memanjat doa kepada sosok yang dicintainya itu. Begitu juga bagi santriwati. 

Lalu..., apa yang terjadi seiring dengan jalannya waktu, khususnya bagi sebagian santri? Mungkinkah harapan tersebut akan dapat dirasakan oleh masyarakat atau orang tuanya nanti? Rasanya hal tersebut "jauh panggang dari api" apabila santri datang ke tempat itu bukan semata untuk menuntut ilmu. Apalagi sebagian mereka diperuntukkan sebagai penopang jalannya roda organisasi dayah secara silih berganti.

Waktu terus berlalu. Harapan dan doa orang tua atau masyarakat terus menggebu, sehingga kelak jiwa buah hatinya itu sarat dengan ilmu.  Namun, adakalanya tumpuan harapan itu menjadi sirna saat menemukan sebagian santri berkelana di jalanan. Mengapa demikian? Bukankah mereka memang sengaja digiring ke tempat ibadah itu untuk menjadi panutan masyarakat kelak? Apa yang mereka lakukan di lembaga dayah sehingga harapan orang tua dan masyarakat musnah di persimpangan jalan? 

Nah ..., Guna merespons berbagai isu melalui berbagai pertanyaan, kupasan berikut akan dapat memberi gambaran nyata terhadap fenomena yang terjadi di lapangan. Dengan begitu, masyarakat dan orang tua akan memahami yang sesungguhnya keberadaan sang buah hatinya itu.     

Kehadiran Calon Santri 

Nah ..., kehadiran para calon santri dari berbagai penjuru daerah merupakan harapan dan dambaan pendiri dan pemilik pesantren atau dayah dimaksud. Guna mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, tentu berbagai upaya dilakukan oleh pihak lembaga. 

Sarana-prasarana pondok ditingkatkan, pendekatan persuasif dioptimalkan, bahkan upaya menjemput bola pun tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan. Semua itu adalah bertujuan untuk meningkatkan kuantitas peserta santri yang meminati serta memondok di pesantren atau dayah yang dikelolanya.

Prinsip utama berkumpulnya para santri di suatu dayah sebagaimana upaya di atas adalah untuk menimba ilmu agama. Mereka dibekali dengan berbagai pengetahuan sesuai dengan kurikulum dayah masing-masing. 

Pengasuh atau pengampu bahan pembelajaran pun sesuai dengan latar belakang ilmu yang mereka miliki. Sehingga, pewarisan pengalaman, pengetahuan, serta wawasan bernuansa agama pun kian disulutkan kepada para santri yang menekuninya. Hal tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan masing-masing jenjang, mulai tingkat dasar ke tingkat yang paling tinggi sebagaimana yang diprogramkan.

Petualangan menyantri dan memondok pun terus berjalan seiring dengan perputaran waktu sekaligus menikmati berbagai panorama dayah yang mereka gandrungi. Pengalaman mengayuh bahtera dayah juga kian mewarnai terhadap eksistensi lembaga yang dikayuhnya. 

Performa lembaga kian sempit dan menua. Oprasional harian dan bulanan begitu membahana. Suka-duka pemilik lembaga tak terbendung melilit dirinya. Pemikiran "mencari derma" pun muncul seketika.

Ikhtiar mencari derma bagi dayah yang membutuhkan pun segera diwujudkan. Hal itu diawali dengan merekrut sebagian santri untuk berpetualang ke kota atau desa. Mereka dibagi atas beberapa kelompok dengan dibekali surat atau amplop dayah dimaksud. 

Perjalanan mereka adakalanya dengan sepeda motor atau jalan kaki, bahkan dengan mobil sekalipun sesuai dengan jarak tempuh yang bakal mereka lalui. Mereka mendekati pintu demi pintu toko atau mengetuk pintu demi pintu rumah untuk mengharapkan infak dari masyarakat. Hasilnya dibawa pulang ke pangkuan panitia atau pemilik lembaga dayah.

Efek Negatif Santri Pencari Derma

Terlepas dari bantuan pemerintah melalui badan dayah setiap tahunnya, para pemilih dayah-dayah tertentu juga melepaskan santri mencari derma. 

Hal ini dapat kita perhatikan dalam keseharian bahwa adanya para santri yang berjalan ke sana kemari untuk mencari sumbangan atau derma buat dayah dimaksud. Harapan besar dari panitia atau pemilik dayah adalah terkumpulnya sejumlah dana yang dapat digunakan untuk kepentingan dayah tanggung jawabnya itu. 

Dalam dirinya dan bahkan sebagian orang tua santri menganggap santri mencari derma adalah langkah "yang sangat positif". Mengapa tidak? Hal ini dikarenakan para santri telah setia membantu dayah, tempat mereka menimba ilmu. Apalagi jika perbuatan mereka itu dielu-elukan dengan segudang anugerah dan pahala dari Yang Maha Kuasa. Dengan begitu, mereka terpicu untuk merelakan diri mencari infak di mana-mana.

Rahmat Allah senantiasa mempengaruhi jiwanya untuk terus melanglangbuana ke arah tercapainya infak tersebut. Mereka tidak memikirkan sedikit pun dampak yang bakal timbul dan mencelakakan dirinya. Seolah-olah perbuatannya itu 100% positif. Padahal, di balik kerelaan dan kesetian para santri mencari derma terdapat sejumlah "Efek Negatif" yang bakal menimpa diri mereka. 

Malas Belajar dan Menghafal 

Belajar, sekaligus menghafal merupakan tugas rutinitas para santri. Pelajaran yang mereka geluti adalah lingkup agama (utama masalah 'aqidah), kajian Al-quran dan Hadist serta ilmu-ilmu agama lainnya. Semua itu disampaikan dan diterima di dalam pembelajaran atau penganjian yang diampu oleh setiap Teungku atau Ustaz. 

Para pecinta ilmu agama ini terus saja mengikuti langkah-langkah yang disampaikan oleh gurunya itu. Dirinya berharap akan terukir sejumlah ilmu pengetahuan agama dalam jiwanya kelak. Namun, harapan demi harapan kian pupus ditelan kegelapan masa. Ilmu tetap terukir dalam kitab, perubahan dirinya ke arah yang lebih baik tak tergapai.

Bagaimana hal tersebut dapat terungkap? Saat mereka diberikan dan ditugaskan untuk mencari derma, biasanya enggan untuk ditolak. Bahkan mereka merasa malu apabila ajakan dan seruan gurunya itu tidak mau melaksanakannya. Sejak itulah belajar dan menghafal mulai ditinggalkan. 

Sikap ini tentu tidak disengajakan tetapi sikonlah yang menentukan. Mereka turun pagi dan pulang sore atau boleh jadi sekali-sekali lepas magrib dalam upaya mengumpulkan dana untuk dayah/pesantren. 

Sesampai di pondok, dalam keadaan penat dan melemah, secara otomatis untuk belajar dan menghafal pun terpaksa dilupakan. Solusinya adalah istirahat atau tidur sepanjang malam.

Selain itu, bagi santri yang pada dasarnya memang malas belajar, kepercayaan mencari derma adalah suatu kesempatan besar. Dirinya berharap untuk diajak saban waktu mendapatkan uang infak itu. Belajar bebas uang pun ada di tangannya walaupun tak seberapa. Dengan begitu, lembaga dayah baginya hanya sebatas tempat singgah belaka.

Bayangkan, apa yang akan terjadi apabila sang santri ini terus saja diberi tugas dimaksud walau secara bergantian. Sehari berangkat, minimal dua atau tiga mata pelajaran yang mereka tinggalkan. 

Terlebih, arahan gurunya itu tak inklut ke jiwanya karena dia hanya terus memikirkan dan memikirkan bagaimana cara memperoleh uang sumbangan atau infak yang akan dibawa pulang. 

Ingatan dan bidikannya tidak lagi pada lingkup ilmu tetapi lebih kepada pintu-pintu gerbang bea yang bertajuk "infak". Ini suatu mala petaka bagi santri dan orang tuanya, terlebih bila perlakuaan seperti itu akan berlangsung berbulan-bulan.

Shalat Tak Menentu

Harapan orang tua/masyarakat yang utama dan pertama pada diri anaknya setelah diantar ke lembaga tarbiah tersebut agar mereka senantiasa melaksanakan shalat tepat waktu secara berjamaah di mushalla atau masjid lembaga itu. Ini kewajiban mutlak. 

Melalui tuntunan sang gurunya, mereka akan terus berjamaah dalam lima waktu shalat fardhu. Walaupun adakala sebagian sulit mengubah kebiasaan di kampungnya, shalat tepat waktu secara berjamaah harus tetap dijalankan bersama di area dayah/pesantren kebanggaannya. Ini tentu tidak terlepas dengan payung hukum yang disampaikan gurunya berdasarkan sunnah.

Lalu..., mungkinkah fenomena ini akan berlanjut sepanjang waktu? Jawabannya...tidak! Perjalanan mencari cuan yang berujung infak tentu membutuhkan waktu yang tepat. 

Bukankah "waktu itu laksana pedang?" Para santri pencari derma ini harus memiliki ketajaman mata serta jangkauan yang cepat sesuai dengan waktu dan keaadaan wilayah yang dimasukinya. Tidak tertutup kemungkinan rumah-rumah yang dilaluinya itu, tuannya baru berada di kediamannya itu menjelang dhuhur atau ashar. 

Otomatis mereka harus mengejar waktu untuk menjumpainya. Yang cukup memilukan lagi, waktu shalat telah tiba, mushalla atau masjid jauh dari jangkaunnya. 

Dalam dirinya terukir, shalat bisa sebentar lagi, yang penting adalah infak harus terwujud. Saat itu pula shalat mulai dinafikan termasuk berjamaah sekalipun. Sikap ini tidak tertutup kemungkinan akan terus berlanjut sepanjang perjalanannya. Uang memang selalu di dompet tapi shalat selalu kepepet. Akhirnya, petaka jiwa terus melengket.

Kejujuran Terpaksa Dikesampingkan 

Disiplin, tanggung jawab, dan amanah merupakan langkah konkret terhadap keberhasilan seseorang. Para santri pencari derma adalah sosok manusia, bukan para malaikat. Calon-calon ilmuan agama ini memiliki napsu sama dengan kita yang lainnya. Mereka butuh makan, minum, HP, dan hal-hal lainnya untuk kebutuhan dan kepentingan hidup, terutama di perjalanan saat upaya mengantongi derma. 

Sudah barang tentu hari demi hari jiwanya akan terpaksa mengesampingkan kejujuran demi kebutuhaan tersebut. Tak mungkin mereka akan membawa pulang hasil sebagaimana yang diperolehnya. 

Sekalipun persentase mungkin disepakati, tetapi kebutuhan lebih berarti, sehingga amanah adakalanya harus dikuburkan. Dengan demikian, secara tidak langsung anak tersebut akan terpupuk ketidakjujuran dalam jiwanya, yang berakibat fatal bagi dirinya, orang tua, dan masyarakat kelak.

Musibah, Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Musibah atau kecalakaan, besar atau kecil, itu  tidak ada seorang pun yang menginginkannya. Akan tetapi, kehendak Allah tiada seorang pun yang mengetahuinya. Nah..., hiruk-pikuk perjalanan sudah tidak asing lagi dalam kehidupan. Terlebih, area-area yang dilauinya itu semraut di waktu-waktu tertentu. 

Pengguna jasa jalan pun kadang kala ada yang angkuh atau kurang memahami terhadap kebersamaan di jalan, sehingga kendaraan yang dibawanya itu berlalu begitu cepat. Masalah keselamatan dirinya dan orang lain tak ada dalam pekirannya. Yang penting bagi dirinya itu bisa beraksi sampai di tempat tujuan dalam waktu yang singkat. Konon, jumlah kendaraan bermotor roda dua dan roda empat pun kian membludak.`

Situasi tersebut tidak bisa dipungkiri. Kecelakaan bahkan sering terjadi. Apabila musibah tersebut tertimpa kepada santri yang sedang mencari derma, siapa yang bertanggung jawab terhadapnya. Terlebih, para santri yang ditugaskan itu akan menjelajahi antar Kabupaten/Kota. Sementara sang orang tuanya itu mengukuhkannya di lembaga dayah harapannya. 

Cukupkah hal ini bertumpu hanya pada "Kehendak Allah?' Ingat, musibah itu ada penyebabnya...! Karenanya, perlu adanya kejernihan yang mumpuni di pihak dayah di dalam menyikapi keberadaan anak asuhnya itu ketika menunjuk mereka membantu kehidupan dayah tersebut dengan jalan mencari derma.   

Solusi Bijak

Untuk mengantisipasi ketidakterlibatan para santri dalam mencari derma atau infak untuk kepentingan dayah/pesantren, sebenarnya dapat disiasati dengan beberapa solusi. 

Pertama, tidak memaksakan diri untuk mendirikan dayah/pesantren apabila lahan dan dana tidak memungkinkan untuk itu. Biarkan para calon santri menuju dan memilih dayah/pesantren yang telah ada di berbagai tempat, yang kondisinya telah mapan. 

Kedua, para pendiri dayah/pesantren harus memperhatikan syarat-syarat tertentu yang diajukan pemerintah untuk diacu sebagaimana mestinya. 

Ketiga, para pendiri dayah dapat membuat program yang matang serta memikirkan berbagai kendala, sehingga dayah yang akan diusung tidak berhenti di tengah jalan. 

Keempat, pendiri dayah/pesantren dapat membentuk dan menunjuk khusus panitia badah dayah yang amanah untuk beroperasi mencari derma/infak untuk kepentingan lembaga tarbiah tersebut. 

Kelima, mengajukan proposal ke badan/lembaga-lembaga tertentu, yang kiranya dapat membantu biaya demi kelangsungan lembaga dimaksud. Bahkan, mungkin masih banyak cara-cara persuasif lainnya yang dapat digerakkan untuk memperoleh bantuan dayah. 

Dengan begitu, para santri tidak dilibatkan sama sekali untuk kebutuhan tersebut, sehingga mereka tetap kukuh yakin belajar dan berjuang demi keberhasilan diri dan orang tua beserta agamanya.

Penutup  

Mendirikan dan memajukan lembaga tarbiah (dayah) adalah suatu keniscayaan. Melibatkan para santri untuk mencari biaya operasionalnya dengan berbagai alasan merupakan suatu keburukan yang tidak boleh dilegalkan. Pendiri atau pemilik dayah harus tetap menjadi pejuang sementara para santri harus tetap menjadi teladan. Semoga ...!

Penulis adalah : Dosen STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun