Paradigma baru pendidikan Indonesia sejatinya telah lama digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, seorang filsuf, budayawan, seniman, sastrawan, pendidik sekaligus agamawan. Meski sekian banyak rentetan gelar yang sematkan kepada beliau, sampai hari ini tidak sedikit orang yang berprofesi sebagai guru skeptis terhadap paradigma baru pendidikan Indonesia yang saat ini sedang ingin bangkit sesuai filosofi Ki Hadjar Dewantara, adapun komentar yang sering dilontarkan adalah "ganti menteri ganti kurikulum atau kurikulum berbeda tapi ujung-ujungnya itu-itu saja".
Bertitik tolak dari hal di atas maka marilah kita tengok esensi apa sebenarnya yang ditawarkan oleh paradigma baru pendidikan Indonesia saat ini khususnya guru sebagai pemimpin pembelajaran. Mari kita mulai dengan pertanyaan ke dalam diri ketika seorang guru masuk kelas kemudian mengajarkan materi tertentu sudahkah bersikap adil terhadap murid-muridnya? Bagaimanakah merancang pembelajaran yang adil itu terhadap murid dengan karakteristik yang beragam?
Ki Hadjar Dewantara mewasiatkan kepada kita semua bahwa hakikat pendidikan adalah menuntun kekuatan kodrat iradat anak agar mereka menuju kepada keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Konsep pendidikan yang digagas sang maestro pendidikan Indonesia ini sangat mengutamakan cinta, kasih sayang dan keadilan.
Sekolah sebagai institusi moral diharapkan menjadi kebun-kebun yang subur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman. Guru diibaratkan seorang petani yang merawat tanamannya, petani tidak mungkin memaksakan tumbuhnya mangga  menjadi apel atau tumbunya semangka menjadi melon, petani hanya bisa merawat tanaman-tanaman tersebut sampai tumbuh secara optimal sehingga dapat berbuah dengan kualitas terbaik.
Sebagai pemimpin pembelajaran seorang guru diharapkan mampu menempati posisi kontrol sebagai seorang manajer yang dituntut mampu bersikap adil dalam memperlakukan semua muridnya dengan keunikannya masing-masing yakni murid dengan kesiapan belajar(readness), minat dan profil murid yang berbeda, disinilah letak tantangannya dalam memperlakukan semua murid secara adil.
Mari kita lihat apa yang pernah disampaikan  oleh sang Filsuf Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara "Serupa seperti para pengukir yang  memiliki pengetahuan mendalam  tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya,  keindahan ukiran, dan cara-cara  mengukirnya. Seperti itulah seorang  guru seharusnya memiliki  pengetahuan mendalam tentang seni  mendidik, Bedanya, Guru mengukir  manusia yang memiliki hidup lahir  dan batin."
Berdasarkan hal tersebut maka asesmen awal(asesmen diagnostik) baik kognitif maupun nonkognitif menjadi sangat penting dilakukan sebagai landasan bagi guru agar memahami keadaan(karakteristik) muridnya yang akan diajar(difasilitasi). Dengan memahami karakter para muridnya maka guru akan siap untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Misalnya seorang guru Pendidikan Jasmanani Olahraga dan Kesehatan(PJOK) Sekolah Dasar yang akan mengajarkan muridnya tentang kompetensi berenang, Dari hasil asesmen awal diketahui bahwa murid-muridnya terdiri dari tiga katagori berdasarkan kesiapan belajarnya yaitu kelompok (1) murid yang takut dengan air kolam,(2) murid yang berani dengan air kolam tapi belum bisa berenang dan kelompok (3) murid yang telah mahir berenang dengan gaya bebas.
Bagaimana guru PJOK SD tersebut dapat memperlakukan muridnya secara adil?Â
Maka yang dapat dilakukan adalah mengubah tujuan dan indikator belajar murid-muridnya sesuai dengan kesiapan belajar mereka, yaitu murid pada kelompok satu diberikan tujuan belajar berani bermain air di kolam, sedangkan kelompok dua murid bisa berenang dengan gaya bebas, dan untuk  kelompok tiga murid dapat berenang dengan tiga macam gaya, setelah pembelajaran guru dapat melakukan refleksi dan evaluasi untuk perbaikan pembelajaran berikutnya.
Mengapa guru perlu mengelompokkan murid berdasarkan perbedaan kesiapan belajarnya? Karena kita akan menjadi tidak adil ketika menuntut kompetensi yang sama sementara kita telah mengetahui fakta bahwa kesiapan belajar anak berbeda-beda, disinilah seni seorang guru dalam menuntun kodrat(potensi) para muridnya.