Mohon tunggu...
marzani anwar
marzani anwar Mohon Tunggu... -

Peneliti Utama at Balai Litbang Agama Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesantren Pelestari Paham Ahlusunnah Waljamaah

30 Agustus 2016   17:26 Diperbarui: 30 Agustus 2016   17:44 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Marzani Anwar.

Adakah mata pelajaran Ahlus Sunah wal Jamaah (Aswaja) di pesantren?. Jawabnya “tidak ada”. Di Pesantren Salafi maupun pesanten modern, tidak ditemui mata pelajaran itu. Kenapa ?. Karena jawabannya ada di profilnya sendiri. Pesantren sejak awal, adalah pelaku utama dalam menjalankan ajaran Aswaja. Darah kepesaantrenan dari generasi ke generasi  adalah paham ahlussunah wal jamaah. Pesantren membangun tradisi, melalui pendidikan, dan pembudayaan, bergerak bersama paham tersebut, yang terus bertahan dari tahun ke tahun.

Keberadaan pesantren disangga oleh empat pilar: Pertama, keberadaan Santri. Mereka adalah subyek pengkderan amalan Aswaja, sekaligus bibit penggerak amalan ahlussunah wal jamaah. Kedua, adalah keberadaan Kyai. Ia adalah pemimpin komunitas sekaligus pengendali seluruh aktivitas kepesantrenan. Ia juga merupakan guru utama bagi semua santrinya. Ketiga, adalah materi pelajaran, yaitu kurikulum yang dipegangi dari masa ke masa. Keempat, adalah keberadaan Masjid. Fungsi masjid di samping sebagai rumah ibadah, adalah untuk praktek pengamalan keagamaan mereka, dan tidak jarang digunakan untuk belajar dan latihan ketampilan.    

Empat pilar pesantren itu, menurut teori struktrural, merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan.  Masing –masing memiliki fungsi, dan fungsi-fngsi itu saling terkait, saling menunjang serta saling mendukung.  

Kitab-kitab Sandaran

Kitab Kuning sangat lekat dengan tradisi pesantren. Seakan tak pernah lapuk ditelan zaman, kitab-kitab dasar tertentu dijadikan rujukan paling mendasar penyelenggaraan pendidikannya. Menjadi kewajiban bagi santri setelah seorang santri khatam membaca Al Qur’an, mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Alat, dan Akhlaq seeta Aqidah, yang dikenal dengan kitab kuning. Disebut “kitab kuning”, secara fisik karena warnanya kuning, dan secara kultur karena ketahanannya dari abad ke abad tahun ke tahun,

Di antaranya adalahkitabTa’lim Muta’alim.Kitab ini menjadi dasar yang menerangkan mengenai akhlaq di dunia pesantren adalah kitab Ta’limul-Muta’alim karangan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji. Setiap awal proses belajar di pesantren sesuai adatnya pasti mempelajari kitab ini ataupun kitab lain yang seakar dengannya seperti kitab Adabul ‘alim wal Muta’alim karangan ulama’ besar Indonesia, Pahlawan Nasional sekaligus pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kedua kitab ini menjadi kurikulum wajib bagi pesantren yang ada di Indonesia.

Kitab Al-Ajurumiyah, yaitu kitab yang merupakan pedoman dasar dalam ilmu nahwu. Adapun tingkatan selanjutnya setelah Jurumiyah adalah Imrithi,Mutamimah, dan yang paling tinggi adalah Alfiyah. Al-Jurumiyah dikarang oleh Syekh Sonhaji dengan memaparkan berbagai bagian di dalamnya yang sistematis dan mudah dipahami. Kitab Amtsilah At-Tashrifiyah.Jika nahwu adalah bapaknya, maka shorof ibunya. Begitulah hubungan kesinambungan antara dua jenis ilmu itu. Keduanya tak bisa dipisahkan satu sama lain dalam mempelajari kitab kuning. Salah satu kitab yang paling dasar dalam mempelajari ilmu shorof adalah Kitab Amtsilah Tashrifiyah yang dikarang salah satu ulama Indonesia, beliau KH. Ma’shum ‘Aly dari Jombang. Kitab tersebut sangat mudah dihafalkan karena disusun secara rapi dan bisa dilagukan dengan indah. KitabAt-Taqrib,yaitukitab fiqh yang merupakan hasil turunan dari Al-Quran dan Al-Hadist setelah melalui berbagai paduan dalam ushul fiqh. Kitab Taqrib yang dikarang oleh Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy adalah kitab fiqh yang menjadi rujukan dasar dalam mempelajari ilmu fiqh. Di atas Kitab Taqrib ada Kitab Fathul Qorib,Tausyaikh,Fathul Mu’in, dan semuanya itu syarah atau penjelasan dari At-Taqrib[1].

Isi kitab-kitab adalah saling mengisi dan sekaligus membentuk kepribadian anak, yakni penanaman tauhid yang benar, ilmu alat agar bisa memahami kitab-kitab itu sendiri dan kitab rujukan lainnya yang ada di pesantren, dan sekaligus penanaman akhlaqul karimah yang khas pesantren.

Ilmu yang diperoleh dari membaca kitab-kitab tersebut, langsung diamalkan dalam lingkungan pesantren.  Interaksi santri-kyai dan hubungan antarteman, bisa terjadi setiap saat. Menjadi ajang penempaan kepribadian para santri. Di sanalah terjadi penanaman nilai, penanaman ilmu  alat, ilmu fiqih tersebut dalam “sekali waktu”.  

Dengan mempelajari kitab-kitab tersebut, otomatis ajaran Aswaja sudah tertanam. Sebagaimana diketahui, Aswaja Secara umum diartikan sebagai suatu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thariqah para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan Akhlaq).

Dalam masalah paham keagamaan,mereka adalah pengikut al Asy’ari ( W. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H). Dua Imam besar dalam ilmu Fiqh ini mengikuti Sunnah Nabi dan sunnah para Sahabat Nabi SAW. Dalam pokok-pokok aqidah, jalan pikiran kedua imam tersebut relatif sama, yakni mengikuti sunnah Nabi, dan sunnah para shahabat Nabi, Tabi’in dan Tabiiti thab’in.  Paham yang dikembangkan oleh kedua Imam tersebut adalah yang terbesar pada zamannya, bahkan sampai sekarang. Para Imam dari empat madzab, Imam Syafi’i, Imam Hambai, Imam Hanafi dan Imam Maliki, yang berkembang hingga kini[2].

Sedangkan  kitab-kitab sebagaimana tersebut di atas merupakan jembatan unuk menangkap ilmu dari Rasulullah, setelah melewati generasi khulafaurrasyidin dan tabiin serta tabi’it tabi’in. Sementara Aswaja adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. Penamaan golongan  Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli.
 Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan, bahwa pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Elemen Ahlussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh para ahli aqidah dan ahli sunnah. Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf. Para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Shalihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi َلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrasyidin setelah wafatku[3].

Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Furu’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal  jamaah. Mentradisikan shalat tarawih 20 rakaat plus witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati, pewarisan yang pernah dijalankan oleh para wali. Mereka menjalani amalan-malan yang telah ditunjukkan para Imam besar, dan paham itu pun yang didakwahkan oleh para ulama terdahulu di negeri ini.

Pesantren adalah pewaris utama karakter para wali. Seperti diketahui, bahwa dalam penyebaran Islam di Jawa, para wali dihadapkan oleh belantara sistem kepercayaan yang masih mistisisme dan kejawen. Mereka berhadapan dengan kekuatan besar kerajaan Majapahit yang  beragama Hindu Buddha. Sunan Gresik (wafat 1419 M), yang dikenal sebagai penyebar Islam pertama, dikenal sangat akrab dengan para petani dan masyarakat bawah lainnya. Ia membangun sebuah pondokan yang dikhususkan unuk belajar agama. Dilanjutkan dengan Sunan Ampel, ia yang semasa kecilnya dikenal sebagai Raden Rahmad adalah salah seorang putera Sunan Gresik. Dalam catatan sejarah Sunan Ampel (lahir 1401 M) merupakan pendulum peletak dasar pendidikan agama model pesantren, sekaligus pelanjut ajaran ahlus sunnah waljamaah[4]. Salah satu murid Sunan Ampel adalah Raden  Patah, yang waktu mudanya bernam. Ia adalah pendiri pesantren di Demak, yang dengan pesantren itu menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Demak Bintara.

Tradisi pesantren yang terus dilestarikan melalui sistem kependidikaan pesantren adalah penghargaan pada para leluhur yang telah tak kenal lelah dalam menyebarkan agama Islam, dan terus menyatukan bangsa ini dari berbagai perbedaan kepentingan. Sehingga kultur Aswaja telah menjadi pemersatu dalam kehidupan berbangsa. Mereka yang berbeda-beda dalam kepentingan dan mengarah kepada konflik antarkelompok, telah berhasil menyatupadukan diri di bawah payung pesantren.

Sesuai dengan norma Aswaja yang memposisikan sebagai penengah (moderating force). Dalam sejarahnya, sebagai dikemukakan Ibn Rusyd. metodologi Asy’ari merupakan kebutuhan umat abad keempat hijriah yang membutuhkan jalan tengah dari berbagai seginya. Umat kala itu memerlukan jalan tengah antara ahlul hadits dam ahlurra’yi  dalam fiqih, antara ahli fiqih dan para ahli sufi dalam bidang syariah secara umum”[5].   

Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara –upacara dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan berkebudaayaan. Seperi tradisi ziarah makam, penghormatan terhadap petilasan tokoh-tokoh pertama penebar Islam nusantara atau nenek moyang pembuka desa pertama. Praktek-praktek ini, menghubungkan generasi ke genarasi berikutnya dari satu komunitas ke komunitas lainnya.[6] 

Kepemimpinan pesatren

Seorang Kyai di pesantren, sebagai salah satu pilar pesantren, memiliki peran yang sangat menentukan berkembang atau tidaknya sebuah pesantren. Ia yang sejak awal telah berkhidmat untuk menjadi pendidik, telah mengorbankan banyak tenaga, pikiran dan hartanya. Ia disebut “kyai” terutama adalah karena penguasaannya dalam pengetahuan agama. Menguasa ilmu alat, menguasai kitab-kitab baku, dari ilmu balaghah, fiqih, tasawuf, sampai ke cabang-cabang ilmu tersebut. Menjadilah ia seorang yang dipercaya oleh masyarakat dalam kepemimpinan ibadah dan upacara keagamaan. Mendidik santri sekaligus mengawasi santri selam 24 jam adalah tugas-tugasya.

Kini kepemimpinan pesantren ada yang sudah berkembang menjadi sistem kolegial, yakni tidak mengandalkan kharisma seorang Kyai, tapi menampilkan kepemimpinan bersama, para pemegang kendali. Namun nama Kyai pendiri pesantren tersebut, tetap melekat di dalamnya, sekalipun pesantren yang selama itu dikenal “salafi” telah berubah menjadi “pesantren modern”.

Dalam hal seperti itu, peran  kyai penting, karena collegialitas itu sengaja diciptakan, dengan maksud membagi tugas, karena wilayah kerja yang semakin banyak, dan membutuhkan keahlian tertentu. Teruama karena perkembangan zaman itu sendiri, yang kompleks, menuntut di kelolanya pesantren secara lebih profesional. Itulah yang kini terjadi, sehingga kepemimpinan pesantren ada yang secara khusus membidangi masalah pengembangan ketrampilan santri, misalnya.   

Atas peran kepemimpinan, baik yang masih bersifat perorangan dan yang collegial dalam pesantren, bagaimanapun merupakan sistem pengendalian, yang sangat ugen untuk penguatan pengamalan Aswaja. Menjadilah para alumni pesantren, sebagai orang yang tetap setia menjalani pesan kependidikannya selama di pesantren. Mereka hidup bermasyarakat, biasanya merasa diri berkewajiban untuk berdakwah. Dan dalam menjalankan fungsinya itu mereka terbawa oleh kebiasaan di pesantren dan ilmu yang diperoleh di dalamnya. Alumni pesantren yang membaur dalam kehidupan bermasyarakat, biasa menjadi guru ngaji, dan sering ditunjuk oleh warganya memimpin upacara keagamaan. Dengan kata lain, ia menjadi pemimpin non formal, yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena keikhlasannya, kepenguasaan ilmu agamanya, dan ketrampilannya dalam berdakwah menyebarkan agama. Yang terahir ini, misalnya keahlian berpidato, membina kelompok pengajian, mendirikan kusus tilawatil Qur’an, membina kelompok Seni Barzanji, dzzibaan, sampai ke ketrampilan perbengkelan. Sepertinya hanya masalah sederhana, tatapi membawa berkah tersendiri dalam membimbing masyarakat.  

Keterikatan masyarakat pada sosok alumni pesantren menjadi jaminan keterpeliharaan paham Aswaja, dari masa ke masa. Selama pesantren masih ada maka selama itu pula, Aswaja terpelihara.

Para kyai alumni pesantren adalah pendekar Aswaja yang kni tersebar di masyarakat. Maka ketika kini gencar adanya diskursus Islam Nusantara, jawabannya ada pada mereka. Sistem pesantren adalah yang sejak awal masukknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang menjadi sumber penyebaran Islam di Jawa dan merambah ke selutuh nusantara. Sejak pesantren yang diasuh oleh Sunan Ampel di Surabaya, abad 1448, terus berkembang. Telah meneguhkan sebuah pola dakwah yang adaptif dengan budaya setempat, dan dengan cara yang ditempuh para wali, dan diteruskan oleh para kyai, para da’i, sehingga tergelarlah wajah Islam nusantara seperti sekarang ini.          

Sebagai sebuah prosesi, tampaknya term Islam nusantara tidak jauh beda dengan apa yang dimaksud oleh Gus Dur dengan ‘pribumisasi Islam’. Di dalamnya mengacu kepada berbagai upaya yang dianggap telah dilakukan oleh Wali Songo di Jawa dalam upaya penebaran Islam di masyarakat Jawa, dan proses pembatinan (internalisasi) nilai, kaidah, dan ajaran Islam menjadi milik setiap individu orang Jawa, bukan dengan cara kekerasan dan paksaan melainkan dengan cara hikmah dan ihsan dengan memprakarsai dan melakukan inovasi metode yang cocok bagi masyarakat Jawa pada saat itu. Misalnya menggunakan media gamelan dan wayang[7]dalam penyebaran agama Islam.

Inovasi Pesantren  

Telah terjadi perkembangan dalam dunia pesantren itu sendiri. Sebagian muncul dalam bentuk pesantren modern, di samping pesantren salafi, yang tetap bertahan. Masing-masing memiliki ciri atau karakteristik. Kemodernan ditandai dengan sistem pendidikannya, yang serba formal. Dari metode pengajaran sorogan atau bandongan, ke metode klasikal. Tak sedikit pesantren yang memadukan sistem non formal ke formal, baik sebagianya atau seluruhnya. Penyelenggaraan pendidikan dengan Kurikulum baru, dengan mengadopsi sistem pendidikan modern, pengelolaan perpustakaan, sampai sistem informasi dengan menggunakan media sosial (internet).   

Tidak berlebihan dengan munculnya fenomena tumbuhnya bibit-bibit gelombang baru embrio saintis yang keluar dari rahim pesantren. Terurai dalam sebuah buku Etos Kerja Kaum Santri, di mana sang penulis menggelar beragam indikasi potensi pesantren dalam mengawal kemajuan bangsa ke depan. Menurutnya, tak terhitung jumlah santri unggulan, lulusan pesantren memberi sumbangan signifikan sepanjang perjalanan sejarah negeri ini. Sejak konfrontasi anti kolonial, tahap penyusunan draft kemerdekaan, masa genting menjelang kemerdekaan, masa konsolidasi kesatuan negara baru merdeka, di tengah ancaman separatisme, periode pambangunan hingga memertahankan kemerdekan[8].  

Kini “ribuan pesantren di nusantara telah berjasa membuka akses jutaan anak bangsa dari yang paling marjinal, baik secara ekonomi maupun intelektual, untuk menjalani proses pembelajaran. Pesantren telah mengalami inovasi, dengan segala corak ragamnya. Sebagian yang tetap bertahan dengan sistem salafinya, sebagian lagi dengan mengadopsi atau mencampurkan antara  trdaisi dan kemodernan, dan sebagaian lagi, yang hanya pinjam nama “pesantren” untuk menunjukkan sebagai sekolah Islam dan santri yang berasrama.

Namun bagaimanapun, dengan menggunakan lebel pesantren, dijadikan sebagai ciri pendidikan keagamaan Islam, dan dengan sistem asrama tersebut dimaksudkan untuk mengintensifkan dalam belajar agama dan mentradisikan penerapan nilai-nilai Aswaja.  

Daftar Pustaka

MM Billah, “Gus Dur dan Pribumisasi Islam”,  Kompasiana.kom. Diakses, 18 Oktober 2015.

  • Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri, PT Mizan Pustaka, 2009.

Djenar Respati, Sejarah Agama agama di Indonesia, Araska, 2014.

Eka Putra Wirman, Kekuatan Ahlissunnah wal Jamaah, Badan Litbang Agama, 2010. 

  • Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, Pustaka Afid Jakarta, 2012.
  • Noer Iskandar Al Barsyani, Dr. KH., Aktualisasi Paham Ahlussunnah wal Jamaah, Srigunting, 2001, hlm. 2, Lihat pula:  Darul Fatwa, Aqidah Ahlus sunnah wal Jamaah,  2003
  • “7 Kitab Dasar yang Diajarkan di Pesantren”, dalam: http://www.nu.or.id/a,, diakses 17 Oktober 2015

[1] “7 Kitab Dasar yang Diajarkan di Pesantren”, dalam: http://www.nu.or.id/a,, diakses 17 Oktober 2015

[2] Lihat: Noer Iskandar Al Barsyani, Aktualisasi Paham Ahlussunnah wal Jamaah, Srigunting, 2001, hlm. 2, Lihat pula:  Darul Fatwa, Aqidah Ahlus sunnah wal Jamaah,  2003, hlm.  26-27

[3]  Ibid. Darul Fatwa.

[4] Lihat;  Djenar Respati, Sejarah Agama agama di Indonesia, Araska, 2014, hlm.120-121

[5]  Ibn Rusyd, Manhjj Al Adillah, dalam: Eka Putra Wirman, Kekuatan Ahlissunnah wal Jamaah, Badan Litbang Agama, 2010, hlm. 127.

[6]  Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, Pustaka Afid Jakarta,2012, hlm. 52.

[7] Lihat: MM Billah, “Gus Dur dan Pribumisasi Islam”,  Kompasiana.kom. Diakses, 18 Oktober 2015.

[8]   Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri, PT Mizan Pustaka, 2009, hlm. 151

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun