Mohon tunggu...
marzani anwar
marzani anwar Mohon Tunggu... -

Peneliti Utama at Balai Litbang Agama Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesantren Pelestari Paham Ahlusunnah Waljamaah

30 Agustus 2016   17:26 Diperbarui: 30 Agustus 2016   17:44 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Atas peran kepemimpinan, baik yang masih bersifat perorangan dan yang collegial dalam pesantren, bagaimanapun merupakan sistem pengendalian, yang sangat ugen untuk penguatan pengamalan Aswaja. Menjadilah para alumni pesantren, sebagai orang yang tetap setia menjalani pesan kependidikannya selama di pesantren. Mereka hidup bermasyarakat, biasanya merasa diri berkewajiban untuk berdakwah. Dan dalam menjalankan fungsinya itu mereka terbawa oleh kebiasaan di pesantren dan ilmu yang diperoleh di dalamnya. Alumni pesantren yang membaur dalam kehidupan bermasyarakat, biasa menjadi guru ngaji, dan sering ditunjuk oleh warganya memimpin upacara keagamaan. Dengan kata lain, ia menjadi pemimpin non formal, yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena keikhlasannya, kepenguasaan ilmu agamanya, dan ketrampilannya dalam berdakwah menyebarkan agama. Yang terahir ini, misalnya keahlian berpidato, membina kelompok pengajian, mendirikan kusus tilawatil Qur’an, membina kelompok Seni Barzanji, dzzibaan, sampai ke ketrampilan perbengkelan. Sepertinya hanya masalah sederhana, tatapi membawa berkah tersendiri dalam membimbing masyarakat.  

Keterikatan masyarakat pada sosok alumni pesantren menjadi jaminan keterpeliharaan paham Aswaja, dari masa ke masa. Selama pesantren masih ada maka selama itu pula, Aswaja terpelihara.

Para kyai alumni pesantren adalah pendekar Aswaja yang kni tersebar di masyarakat. Maka ketika kini gencar adanya diskursus Islam Nusantara, jawabannya ada pada mereka. Sistem pesantren adalah yang sejak awal masukknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang menjadi sumber penyebaran Islam di Jawa dan merambah ke selutuh nusantara. Sejak pesantren yang diasuh oleh Sunan Ampel di Surabaya, abad 1448, terus berkembang. Telah meneguhkan sebuah pola dakwah yang adaptif dengan budaya setempat, dan dengan cara yang ditempuh para wali, dan diteruskan oleh para kyai, para da’i, sehingga tergelarlah wajah Islam nusantara seperti sekarang ini.          

Sebagai sebuah prosesi, tampaknya term Islam nusantara tidak jauh beda dengan apa yang dimaksud oleh Gus Dur dengan ‘pribumisasi Islam’. Di dalamnya mengacu kepada berbagai upaya yang dianggap telah dilakukan oleh Wali Songo di Jawa dalam upaya penebaran Islam di masyarakat Jawa, dan proses pembatinan (internalisasi) nilai, kaidah, dan ajaran Islam menjadi milik setiap individu orang Jawa, bukan dengan cara kekerasan dan paksaan melainkan dengan cara hikmah dan ihsan dengan memprakarsai dan melakukan inovasi metode yang cocok bagi masyarakat Jawa pada saat itu. Misalnya menggunakan media gamelan dan wayang[7]dalam penyebaran agama Islam.

Inovasi Pesantren  

Telah terjadi perkembangan dalam dunia pesantren itu sendiri. Sebagian muncul dalam bentuk pesantren modern, di samping pesantren salafi, yang tetap bertahan. Masing-masing memiliki ciri atau karakteristik. Kemodernan ditandai dengan sistem pendidikannya, yang serba formal. Dari metode pengajaran sorogan atau bandongan, ke metode klasikal. Tak sedikit pesantren yang memadukan sistem non formal ke formal, baik sebagianya atau seluruhnya. Penyelenggaraan pendidikan dengan Kurikulum baru, dengan mengadopsi sistem pendidikan modern, pengelolaan perpustakaan, sampai sistem informasi dengan menggunakan media sosial (internet).   

Tidak berlebihan dengan munculnya fenomena tumbuhnya bibit-bibit gelombang baru embrio saintis yang keluar dari rahim pesantren. Terurai dalam sebuah buku Etos Kerja Kaum Santri, di mana sang penulis menggelar beragam indikasi potensi pesantren dalam mengawal kemajuan bangsa ke depan. Menurutnya, tak terhitung jumlah santri unggulan, lulusan pesantren memberi sumbangan signifikan sepanjang perjalanan sejarah negeri ini. Sejak konfrontasi anti kolonial, tahap penyusunan draft kemerdekaan, masa genting menjelang kemerdekaan, masa konsolidasi kesatuan negara baru merdeka, di tengah ancaman separatisme, periode pambangunan hingga memertahankan kemerdekan[8].  

Kini “ribuan pesantren di nusantara telah berjasa membuka akses jutaan anak bangsa dari yang paling marjinal, baik secara ekonomi maupun intelektual, untuk menjalani proses pembelajaran. Pesantren telah mengalami inovasi, dengan segala corak ragamnya. Sebagian yang tetap bertahan dengan sistem salafinya, sebagian lagi dengan mengadopsi atau mencampurkan antara  trdaisi dan kemodernan, dan sebagaian lagi, yang hanya pinjam nama “pesantren” untuk menunjukkan sebagai sekolah Islam dan santri yang berasrama.

Namun bagaimanapun, dengan menggunakan lebel pesantren, dijadikan sebagai ciri pendidikan keagamaan Islam, dan dengan sistem asrama tersebut dimaksudkan untuk mengintensifkan dalam belajar agama dan mentradisikan penerapan nilai-nilai Aswaja.  

Daftar Pustaka

MM Billah, “Gus Dur dan Pribumisasi Islam”,  Kompasiana.kom. Diakses, 18 Oktober 2015.

  • Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri, PT Mizan Pustaka, 2009.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun