Mohon tunggu...
marzani anwar
marzani anwar Mohon Tunggu... -

Peneliti Utama at Balai Litbang Agama Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesantren Pelestari Paham Ahlusunnah Waljamaah

30 Agustus 2016   17:26 Diperbarui: 30 Agustus 2016   17:44 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam masalah paham keagamaan,mereka adalah pengikut al Asy’ari ( W. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H). Dua Imam besar dalam ilmu Fiqh ini mengikuti Sunnah Nabi dan sunnah para Sahabat Nabi SAW. Dalam pokok-pokok aqidah, jalan pikiran kedua imam tersebut relatif sama, yakni mengikuti sunnah Nabi, dan sunnah para shahabat Nabi, Tabi’in dan Tabiiti thab’in.  Paham yang dikembangkan oleh kedua Imam tersebut adalah yang terbesar pada zamannya, bahkan sampai sekarang. Para Imam dari empat madzab, Imam Syafi’i, Imam Hambai, Imam Hanafi dan Imam Maliki, yang berkembang hingga kini[2].

Sedangkan  kitab-kitab sebagaimana tersebut di atas merupakan jembatan unuk menangkap ilmu dari Rasulullah, setelah melewati generasi khulafaurrasyidin dan tabiin serta tabi’it tabi’in. Sementara Aswaja adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. Penamaan golongan  Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli.
 Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan, bahwa pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Elemen Ahlussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh para ahli aqidah dan ahli sunnah. Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf. Para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Shalihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi َلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrasyidin setelah wafatku[3].

Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Furu’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal  jamaah. Mentradisikan shalat tarawih 20 rakaat plus witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati, pewarisan yang pernah dijalankan oleh para wali. Mereka menjalani amalan-malan yang telah ditunjukkan para Imam besar, dan paham itu pun yang didakwahkan oleh para ulama terdahulu di negeri ini.

Pesantren adalah pewaris utama karakter para wali. Seperti diketahui, bahwa dalam penyebaran Islam di Jawa, para wali dihadapkan oleh belantara sistem kepercayaan yang masih mistisisme dan kejawen. Mereka berhadapan dengan kekuatan besar kerajaan Majapahit yang  beragama Hindu Buddha. Sunan Gresik (wafat 1419 M), yang dikenal sebagai penyebar Islam pertama, dikenal sangat akrab dengan para petani dan masyarakat bawah lainnya. Ia membangun sebuah pondokan yang dikhususkan unuk belajar agama. Dilanjutkan dengan Sunan Ampel, ia yang semasa kecilnya dikenal sebagai Raden Rahmad adalah salah seorang putera Sunan Gresik. Dalam catatan sejarah Sunan Ampel (lahir 1401 M) merupakan pendulum peletak dasar pendidikan agama model pesantren, sekaligus pelanjut ajaran ahlus sunnah waljamaah[4]. Salah satu murid Sunan Ampel adalah Raden  Patah, yang waktu mudanya bernam. Ia adalah pendiri pesantren di Demak, yang dengan pesantren itu menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Demak Bintara.

Tradisi pesantren yang terus dilestarikan melalui sistem kependidikaan pesantren adalah penghargaan pada para leluhur yang telah tak kenal lelah dalam menyebarkan agama Islam, dan terus menyatukan bangsa ini dari berbagai perbedaan kepentingan. Sehingga kultur Aswaja telah menjadi pemersatu dalam kehidupan berbangsa. Mereka yang berbeda-beda dalam kepentingan dan mengarah kepada konflik antarkelompok, telah berhasil menyatupadukan diri di bawah payung pesantren.

Sesuai dengan norma Aswaja yang memposisikan sebagai penengah (moderating force). Dalam sejarahnya, sebagai dikemukakan Ibn Rusyd. metodologi Asy’ari merupakan kebutuhan umat abad keempat hijriah yang membutuhkan jalan tengah dari berbagai seginya. Umat kala itu memerlukan jalan tengah antara ahlul hadits dam ahlurra’yi  dalam fiqih, antara ahli fiqih dan para ahli sufi dalam bidang syariah secara umum”[5].   

Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara –upacara dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian dan berkebudaayaan. Seperi tradisi ziarah makam, penghormatan terhadap petilasan tokoh-tokoh pertama penebar Islam nusantara atau nenek moyang pembuka desa pertama. Praktek-praktek ini, menghubungkan generasi ke genarasi berikutnya dari satu komunitas ke komunitas lainnya.[6] 

Kepemimpinan pesatren

Seorang Kyai di pesantren, sebagai salah satu pilar pesantren, memiliki peran yang sangat menentukan berkembang atau tidaknya sebuah pesantren. Ia yang sejak awal telah berkhidmat untuk menjadi pendidik, telah mengorbankan banyak tenaga, pikiran dan hartanya. Ia disebut “kyai” terutama adalah karena penguasaannya dalam pengetahuan agama. Menguasa ilmu alat, menguasai kitab-kitab baku, dari ilmu balaghah, fiqih, tasawuf, sampai ke cabang-cabang ilmu tersebut. Menjadilah ia seorang yang dipercaya oleh masyarakat dalam kepemimpinan ibadah dan upacara keagamaan. Mendidik santri sekaligus mengawasi santri selam 24 jam adalah tugas-tugasya.

Kini kepemimpinan pesantren ada yang sudah berkembang menjadi sistem kolegial, yakni tidak mengandalkan kharisma seorang Kyai, tapi menampilkan kepemimpinan bersama, para pemegang kendali. Namun nama Kyai pendiri pesantren tersebut, tetap melekat di dalamnya, sekalipun pesantren yang selama itu dikenal “salafi” telah berubah menjadi “pesantren modern”.

Dalam hal seperti itu, peran  kyai penting, karena collegialitas itu sengaja diciptakan, dengan maksud membagi tugas, karena wilayah kerja yang semakin banyak, dan membutuhkan keahlian tertentu. Teruama karena perkembangan zaman itu sendiri, yang kompleks, menuntut di kelolanya pesantren secara lebih profesional. Itulah yang kini terjadi, sehingga kepemimpinan pesantren ada yang secara khusus membidangi masalah pengembangan ketrampilan santri, misalnya.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun