Strategi yang ditempuh DSNI dengan menerjunkan para da’i untuk mendampingi mereka, adalah salah satu upaya “orang kota” untuk membantu pengembangan potensi mereka sendiri. Namun dalam kenyataannya tidak semudah yang diperkirakan. Orang-orang miskin memiliki pola kehidupan yang sudah mapan dari generasi ke generasi, yang belum tentu bisa diakomodasi oleh orang kota.
DSNI punya 30 da’i di pulau Galang dan sekitarnya. Awalnya penempatan da’i tersebut dikerjasamakan dengan Kemenag. Tapi hanya setahun karena Kemenag kesulitan biaya. Akhirnya yang melanjutkan DSNI sendirian. Dulu namanya program pendampingan Desa Nelayan. Pernah juga kerjasama dengan Persatuan Mubaligh Batam (PMB), kemudian DSNI yang ambil alih, tapi mandeg juga di tengah jalan. Sekarang sudah berjalan sampai 16 tahun, DSNI juga yang terus bergulir dengan program-program pembinaannya.
Dari sekian da’i yang di tempatkan beberapa tempat dalam wilayah pulau Galang tersebut, ada yang gagal dan ada yang berhasil. Yang berhasil sampai kini ada empat yang jadi pengusaha besar, untuk ukuran warga pulau Galang. Ia biasa mengapalkan ikan hasil tangkapan para nelayan, untuk dijual ke Singapura atau Malaysia. Orang ini juga biasa dijadikan sumber informasi, tentang keadaan warga di lingkungannya. Ada juga pengalaman seorang da’i di pulau Petong. Hampir setiap hari ia mampu menggerakkan warga binaannya. Sang da’i punya kapal, untuk bisa mengangkut hasil melautnya. Para nelayan mengumpulkan hasilnya, ditampung di kapal tersebut. Sekarang da’inya juga ceramah di Batam, sampai Singapore.
Dalam pengalaman pembinaan oleh DSNI, ketika da’inya menjadi pelaku usaha, masyarakat baru bisa digerakkan. Tidak bisa sang da’i hanya menyuruh nyuruh. Kalau hanya ceramah saja, mereka sulit di suruh-suruh. Masyarakat hinterland biasa berkutat di laut atau pantai. Di samping yang berkebun di darat. Mereka butuh motor karena akses antar desa tidak cukup tersedia kendaraan umum. Apalagi untuk mendukung usahanya.
Simpulan dan Rekomendasi
Dari apa yang teruai di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya: bahwa DSNI Amanah merupakan salah satu lembaga yang mengelola zakat secara profesinal. Lembaga ini lahir dari Remaja Masjid yang berpusat di masjid Nurul Islam Komplek Batamindo Muka Kuning. Lembaga ini telah beraktivitas sejak berdirinya, tahun 2007, hingga sekarang (th 2016) lembaga ini masih eksis, bahkan mengalami perkembangan yang dinamis.
Mustahik zakat, dalam pandangan DSNI, adalah bagian warga berkebutuhan yang identik dengan kaum dhuafa dan pra-sejahtera (dalam bahasa Pemerintah). Mereka adalah kalangan yang tidak memiliki penghasilan tetap, dan yang karenanya tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, termasuk di dalamnya adalah kebutuhan untuk sekolah, kebutuhan menjaga kesehatan.
Dalam megusung semangat pengembangan ekonomi mikro dimaksudkan untuk melayani mustahik agar tidak berhenti pada pendekatan karitatif. Gerakan ekonomi produktif menyasar kaum dhuafa kota Batam dan dhuafa pulau Galang. Bentuk pembinaan di kota Batam berupa pembinaan kelompok-kelompok usaha kecil. Sementara untuk pulau Galang, adalah dengan menerjunkan da’i , yang sekaligus berfungsi pendamping usaha mandiri.
Tantangan yang dihadapi DSNI, dalam program karitatif, antara lain,: (a) pandangan warga mustahik dan juga muzakki bahwa dana zakat itu hanya untuk konsumtif; (b) mentalitas masyarakat hinterland yang tidak mau bekerja keras; (c) kondisi tanah pertanian yang keras, dan hanya bisa menumbuhsuburkan tanaman manakala dibantu pupuk kandang; (c) pengelompokan usaha kecil dalam program IMS, masih tidak menjamin keberhasilan karena pengaruh kondisi makro.
[1] Wawancara dengan Maryono, Penyuluh Kantor Kemenag Kota Batam, tanggal 15 Februri 2016.