"Bukan teman, apalagi kekasih. Kami bukan apa-apa."
"Dia menyukaimu?"
"Saya yang suka." Aku menatap langsung ke dalam mata Ibu Lail yang temaram dan kuyu di hari yang berjalan amat cepat ini.
Radi akan menertawaiku. Selain karena dia juga sempat menaruh rasa pada si gadis yang menolaknya itu, Radi juga sudah berkali-kali bilang aku sebaiknya menyampaikan perasaanku secepatnya. Aku menepisnya dengan berkata bahwa aku tidak menyukainya. Sungguh pembohong yang tidak handal, dan sekarang dia datang di acara penutupan peti ini.
"Sayang sekali." Tidak ada kehangatan darinya, dan aku juga tidak membutuhkannya. Beliau lebih perlu.
"Hamsa." Aku mengalihkan pandangan dan menemukan---kali ini---Ibuku sendiri, berdiri didekat mobilnya, menunduk sekilas pada Ibu Lail yang masih duduk disampingku tanpa keinginan untuk berpindah tempat. Ah, Ibu, padahal aku kan sudah bilang pada Radi, akan tinggal lebih malam disini, tapi engkau datang.
Aku tidak ingat memberitahunya karena nama Lail juga tidak pernah ku sebutkan tapi disinilah dia, menjemputku untuk pulang. "Ayo pulang."
Nada suara Ibu terdengar tercekat dan tidak nyaman. Aku buru-buru menunduk sebagai tanda bahwa aku pamit kepada Ibunya Lail.
Tidak bertele-tele, Ibu masuk kembali ke dalam mobil, disusul olehku. Dia membawa mobil kesayangannya yang dulu sering digunakan oleh Ayah sebelum keduanya bercerai. Tidak lama, di tempat yang agak leluasa, Ibu menghentikan mobil dan kami sama-sama tidak bersuara. Setidaknya, tidak sampai Ibu kembali membuka suaranya. "Kenapa tidak bilang kamu ke pemakaman temanmu?"
"Kami tidak---"
"Jangan bilang kalian tidak berteman, Hamsa!" ia memukul stir dan pukulannya itu menyisakan aku yang langsung mengalihkan pandangan. Air mata Ibu mengalir begitu saja, tapi aku tidak. Bukannya aku tidak merasa sedih dan tidak tahu maksud Ibu yang sebenarnya. Tetapi, karena aku tahu air mata itu tidak akan berhenti kalau aku membiarkannya begitu saja. "Dia mati bunuh diri, kan?"