Aku berjongkok mengelus kepalanya, mencoba mengartikan tatapannya yang penuh dendam.
"Alvian, ikut ibu, yah, ke kantor. Beri ibu waktu untuk bicara sebentar denganmu," ucapku lembut sembari tanganku tak berhenti mengelus pucuk kepalanya. Walaupun aku tahu dia salah, aku tetap tidak boleh gegabah mengambil keputusan hukuman padanya.
Meski terlihat ragu. Perlahan dia mengikuti langkahku.Â
Suasana hening kantor membuatku leluasa untuk mengorek informasi dari anak itu.
"Alvian. Ibu guru mau bertanya. Apakah kamu nggak pernah bawa uang jajan?"
Alvian mengatup mulutnya mendengar pertanyaan. Wajahnya merunduk, menolak bersitatap denganku.
"Jujur sama ibu, apa Alvian tidak pernah membawa uang jajan?" Selembut mungkin pertanyaan itu keluar dari mulutku. Berharap anak itu mau jujur menceritakan apa yang terjadi pada dirinya sebenarnya.
"Ibuku jahat!" Air matanya deras mengalir mengiringi kalimat itu. Tubuhnya melemas terhuyung ke arahku. Dengan sigap kutangkap tubuhnya menggiringnya dalam dekapanku.Â
Perih! Hatiku tiba-tiba merasa ngilu. Tangis sesunggukan keluar dari mulut mungilnya. Aku merasakan getaran tubuhnya seolah mengangkat beban yang begitu berat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H