"Alvian! Apa kamu tidak mendengarkan Ibu?" Emosiku kembali memuncak. Bagaimana tidak, dia samasekali tidak menggubris kata-kataku. Bahkan saat kutarik lengannya dengan lembut agar mengikuti langkahku ia malah menepisnya.
'Ya Allah, sabarkan aku menghadapi bocah ini!' Ingin rasanya tanganku mencubit telinganya, tetapi berusaha mengendalikan diriku.
Resiko jadi seorang guru, yah, harus banyak sabar. Apalagi menghadapi anak kelas satu SD yang luar biasa beragam tingkah polahnya, benar-benar menguras tenaga dan pikiran.
"Alvian! Ikut ibu! Sebelum kesabaran ibu habis!" Suasana kelas kembali tegang. Suaraku yang sehari-hari terbiasa lembut kini menggelegar mengejutkan seisi kelas.
Alvian masih bergeming, kepalan tangannya semakin merapat, kali ini dia mengangkat wajahnya menatapku, bulir bening menganak sungai dari kedua matanya. Dadanya turun naik menahan sesak menandakan amarah telah menguasainya. Aku menantang tatapannya, tak mau kalah oleh anak sekecil dia, apalagi dia bersalah.
"Aku tidak mencuri!"
"Aku bukan pencuri!"
"Aku hanya ingin meminjam uangnya!"
teriakannya yang tiba-tiba membuatku tersentak. Tak kusangka, dia berani membentakku. Apalagi kata-katanya diiringi tatapan tajam kepadaku.
Aku terdiam sesaat. Berusaha mencerna apa yang dimaksud bocah tujuh tahun itu. Apa yang tengah dia rasakan? Apa yang terjadi sebenarnya?
Ribuan tanya berseliweran di kepalaku. Tiba-tiba aku menyadari suatu hal. Tidak mungkin bocah itu bersikap kasar seperti itu tanpa sebab. Aku harus tahu, apa yang terjadi sebenarnya atas diri bocah itu.
Air bening mengalir dari sudut matanya yang memerah karena amarah yang tak terkendali. Anak seumuran Alvian, mengapa punya emosi sebesar itu?