"Iya ma, ini masih di jalan," dengan tegang Hilian menutup telepon dari mamanya.
Bagaimana tidak tegang, kami pulang hampir isya. Tapi untung saja, kami ditawari tumpungan oleh orangtuanya Azni.
Dengan cepat mobil itu melesat meninggalkan kerumunan.
"Makasi buat tumpangannya tante, untuk semuanya, makasi untuk waktunya, sampai jumpa besok senin" ujarku sembari melambai kepada mereka.
Tante Yatni mengangguk sambil tersenyum.
"See you". Ucap mereka dengan kompak.
Aku hanya mengangguk sembari tersenyum dipaksakan, merasa keberatan untuk ditinggalkan. Kusiapkan keberanian untuk masuk ke dalam rumah.Â
Mendengar ocehan ayah, kutarik nafas dalam-dalam sambil mencoba berdamai dengan dengan diriku yang sudah gemetaran ketakutan.
Aku berpapasan dengan ibu ketika hendak berlari kekamar. Sejak kejadian itu ayah dan ibu hanya diam setiap bertemu denganku. Perasaan bersalah semakin menyergapku. Hampir seharian tidak terdengar suara yang menyuruhku makan seperti biasanya.
Kasih sayang ibu yang tidak tega melihat anaknya kelaparan, menghilangkan rasa kesal atas kelakuanku, dia pun memintaku untuk makan.Â
Setelah 12 jam tidak ada apapun yang masuk ke perutku membuatnya meronta untuk diisi. Rasa lapar menghilangkan rasa malu dan gengsi yang menghinggapi pikiranku. Setelah makan aku pun meminta maaf kepada ayah dan ibu dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti into lagi.
Ketika suasana rumah kembali normal seperti biasa, setiap malam senin, aku selalu menyiapkan baju seragam serta peralatan sekolah yang aku gunakan besok pagi.