Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berebut Jokowi

7 April 2023   15:53 Diperbarui: 7 April 2023   15:56 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: medcom.id/Kautsar Widya

Koalisi besar semakin menggaung menjelang kompetisi Pemilihan Presiden (pilpres) 2024 nanti. Beberapa partai mengatakan setuju dengan pembentukan koalisi ini. 

Wacana tentang koalisi ini kemudian semakin bergema ketika buka puasa bersama beberapa partai politik diadakan di Kantor PAN dan Jokowi ikut hadir di acara itu. 

Kehadiran Jokowi sebagai tanda koalisi ini direstui. Apalagi yang ikut bergabung adalah partai-partai pendukung pemerintah, minus PDIP.

"Ekor Jas" Jokowi

Hal yang menarik adalah nama Jokowi selalu terbawa terutama dalam perolehan restu. Saat Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP, dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yang terdiri dari Gerindra dan PKB membentuk koalisinya masing-masing, Jokowi selalu merestui. 

Ini berbeda dengan Koalisi Perubahan untuk Perbaikan (KPP) yang beranggotakan PKS, Nasdem, dan Demokrat yang sekarang dianggap tidak sejalan dengan pemerintahan, walaupun Nasdem masih dalam pemerintahan.

Tentunya, ada sesuatu pada Jokowi. Jokowi sejauh ini, menurut hasil survei, memiliki tingkat kepuasan kinerja yang cukup besar. Di sinilah daya tarik Jokowi. Mereka ingin mengambil efek "ekor jas", sebuah terminologi yang digunakan untuk mendapatkan efek positif dari tokoh yang diikuti. 

Setidaknya dapat diartikan, pihak yang disukai Jokowi akan disukai juga oleh para pendukung/pemilih Jokowi. Selain itu, daya tarik tersendiri adalah Jokowi sebagai Pemerintah yang berkuasa yang memiliki kekuatan politik yang besar.

Golkar Aktor Utama

Jika dilihat dengan seksama, Golkar menjadikan dirinya sebagai trend center. Golkar sadar betul, walaupun partai berlambang pohon beringin ini telah membentuk Koalisi KIB bersama PAN dan PPP, namun mereka belum punya capres yang potensial. 

Tidak ada kader dari salah satu partai di KIB yang menonjol berdasarkan hasil survei. Jadi mereka harus realistis. Harus mencari kader lain yang bersedia jadi Capresnya. Kalau tidak ada yang bersedia maka mau tidak mau, mereka harus bergabung pada koalisi lain yang sudah memiliki Capres.

Golkar paham betul dengan dinamika yang ada. Dari dulu, mereka lihai dalam bermanuver untuk mengamankan kepentingannya. Manuver Golkar yang mendekati koalisi Gerindra pun disambut baik oleh Gerindra dan PKB yang sudah duluan membentuk Koalisi KIR.

Gerindra menyadari penting untuk mengajak pihak lain untuk bergabung. Pasalnya, semakin besar koalisi maka semakin besar sumber daya yang dapat digunakan untuk meraih kemenangan di Pilpres. 

Apalagi Golkar datang membawa gerbongnya yakni PAN dan PPP. Golkar paham bahwa Gerindra akan menyambutnya dengan tangan terbuka karena jika Gerindra enggan, koalisi lain akan siap menampung seperti dari KPP dan PDIP.

Manuver Golkar ini membuat partai-partai lain tertarik untuk bergabung. Sebut saja Partai Perindo, PBB, dan PSI merespon positif keberadaan koalisi bersar ini. Demikian juga PDIP yang menyatakan kesediaannya bergabung.

Mengepung PDIP

Jika ditelisik lebih dalam, koalisi besar ini adalah cara partai-partai pemerintah untuk "menggertak" PDIP yang selama ini cenderung diam dan "angkuh". 

PDIP memiliki suara di parlemen yang memenuhi syarat untuk mencalonkan sendiri Capresnya, walaupun tanpa berkoalisi. Namun sejauh ini, partai besutan Megawati ini cenderung wait and see.

Dengan menggertak PDIP diharapkan PDIP segera mengambil langkah. Ini penting untuk menyusun langkah apa yang perlu dilakukan oleh partai-partai lain terutama partai-partai koalisi pemerintah sekarang.

Alhasil, gertakan itu sedikit membuahkan hasil. PDIP akhirnya buka suara dan menyambut positif koalisi itu bahkan bersedia menjadi tuan rumah untuk hajatan buka puasa bagi koalisi besar tersebut. 

PDIP juga menyampaikan permintaannya bahwa akan bersedia bergabung dalam koalisi apabila kadernya yang jadi Capres. Terlepas dari itu, gertakatan tersebut membuahkan hasil.

Koalisi Besar Tidak Menjamin Kemenangan

Pasukan yang besar tidak selalu membuahkan kemenangan. Semakin besar koalisi, tidak menjamin kemenangan. Hari ini, masyarakat Indonesia masih lebih memilih figur, bukan partai politik. 

Apalagi tingkat kepercayaan terhadap partai politik dan anggotanya di parlemen tidak signifikan. Berbagai skandal korupsi dan transaksi politik untuk tujuan pihak tertentu (bukan untuk rakyat pada umumnya) membuat dua institusi tersebut (baca: partai politik dan parlemen) kurang membuat masyarakat bersimpati. 

Rakyat lebih suka memilih figur. Sehingga menjadi hal yang wajar bahwa penentuan Capres dilihat berdasarkan hasil survei figur.

Hal ini bisa dilihat dalam Pilpres tahun 2019. Koalisi Parpol pengusung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno adalah koalisi terbesar mengalahkan pengusung Koalisi Parpol Jokowi-Ma'ruf Amin. Akan tetapi hasil Pilpres dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Hanya saja keuntungan koalisi besar adalah membuat Capres dan Wakilnya akan terbantukan dalam kampanye, baik dari segi pendanaan dan juga tim di lapangan sehingga mempermudah sosialisasi atas figur yang diusung.

Koalisi Besar Penting Dalam Pembentukan Pemerintahan

Pohon akan kokoh dan kuat jika akar-akar penyokong kuat. Koalisi besar sebenarnya akan sangat penting ketika Pilpres telah usai yakni dalam pembentukan Pemerintahan yang kuat. Karena dalam sistem presidensial seperti yang berlaku di Indonesia, kekuatan partai politik besar di parlemen akan mendukung jalannya pemerintahan.

Pentingnya hal tersebut dapat dilihat pada Era Jokowi-Ma'ruf sekarang ini dimana mayoritas anggota DPR yang mewakili partainya masing-masing bergabung dalam barisan partai pendukung pemerintah. Jadi wajar kalau UU Cipta Kerja mudah diloloskan yang kemudian bermetamorfosis menjadi Perpu Cipta Kerja karena UU tersebut dibatalkan oleh MK.

Terlepas dari itu semua, kondisi politik tanah air masih akan berdinamika. Iklim politik masih sangat mungkin akan berubah bahkan hingga di detik-detik penentuan Capres dan Cawapres.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun