Video viral baru-baru ini tentang rapat antara Anggota Komisi III DPR RI dan Menko Polhukam, Mahfud MD, mengundang diskusi di tengah-tengah masyarakat. Video yang dimaksud adalah tentang pengakuan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto.Â
Dia mengatakan bahwa jika ingin menggolkan sebuah regulasi seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, maka jangan lobi anggota DPR tapi langsung ke Ketua Partainya.Â
Hal ini mengundang pertanyaan: Apakah anggota DPR ini benar-benar mewakili rakyat? Atau mewakili Ketua Partai?
Awal Mula Kendali Ketua Parpol
Pertanyaan di atas penting untuk diajukan. Pasalnya, anggota DPR sejatinya adalah perwakilan dari rakyat Indonesia. Dalam pembuatan UU misalnya, tidak mungkin semua rakyat Indonesia yang jumlah di atas 250 juta jiwa, ditanya satu persatu tentang UU tersebut hingga pada persetujuannya.Â
Hal itu bisa dikatakan mustahil dan akan memakan waktu yang lama. Berangkat dari sini, dibutuhkan sistem  perwakilan yang akan mewakili masyarakat terkait pembuatan UU tersebut. Maka melalui mekanisme pemilihan anggota legislatif, dipilihlah siapa-siapa yang akan menjadi perwakilan setiap daerah tertentu.
Tentunya, sebelum sampai pada tahap pemilihan, kampanye dilakukan oleh para calon anggota legislatif (caleg) tersebut. Mereka mencoba menyakinkan rakyat dengan program-program (janji) apa yang akan mereka buat jika terpilih.Â
Mereka menggunakan banyak cara agar rakyat bisa meyakinkan rakyat bahwa merekalah yang pantas menjadi perwakilan rakyat. Singkatnya, suara mereka akan menjadi penyambung suara rakyat.
Akan tetapi, untuk menjadi anggota DPR tersebut, seorang caleg harus menggunakan partai politik (parpol). Tidak bisa tidak, kecuali bagi yang ingin menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Di sinilah penguasa partai akan memiliki otoritas. Ketua partailah yang bisa mengesahkan siapa caleg yang resmi menggunakan partainya.Â
Misalnya, caleg DPR RI harus melalui persetujuan Surya Paloh jika ingin menggunakan Partai Nasdem. Umumnya, ada perjanjian tertulis maupun tidak tertulis bahwa semua caleg dan kemudian jika berhasil menjadi anggota legislatif harus taat pada keputusan partai.Â
Jika tidak patuh, maka akan mendapat konsekuensi (sanksi) dari partai seperti pemecatan dari anggota DPR dan diganti dengan kandidat lain.
Di sinilah Ketua Partai akan berkuasa. Dalam kasus pembuatan UU, anggota legislatif harus mengikuti keinginan ketua partai, salah satunya dalam kasus RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Hal ini seperti dikonfirmasi oleh video Ketua Komisi III DPR RI tersebut, seperti yang telah disinggung di atas.
Apakah Benar-Benar Ketua Parpol yang Berkuasa?
Dalam sistem liberal-kapitalisme, peran pengusaha cukup signifikan. Ini tidak lain karena sistem politik dan operasional pembiayaan partai yang mahal. Logika ini juga berlaku pada kompetisi pemilihan eksekutif, mulai dari Bupati/Walikota, Gubernur sampai Presiden.Â
Ongkos politik yang mahal mendorong partai dan seorang kandidat akan mencari pembiayaan dari sumber pendanaan lain. Peran pengusaha di sini dibutuhkan. Namun, sebagai pengusaha, umumnya logika yang mereka gunakan adalah logika bisnis.Â
Saya memberimu uang, maka saya harus untung atau kepentingan saya terakomodasi jika kamu terpilih. Ada konsesi politik dan ekonomi. Terjadilah "perselingkuhan" penguasa dan pengusaha.Â
Mereka bertransaksi di atas meja kekuasaan, sedangkan rakyat yang di bawah tidak dipedulikan lagi. Bahkan transaksi bisnis dan elite politik ini akan semakin mudah apabila elite politiknya adalah juga pengusaha. Atau ketua partai politik dan pengurus teras partai tersebut juga adalah pengusaha.
Jadi jangan heran, jika di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam pertambangan sering muncul pertambangan ilegal. Surat izin usaha kadang terbit tidak sesuai prosedur yang semestinya seperti tidak patuh pada standar Amdal dan sebagainya. Atau ada UU dan Peraturan Daerah yang hanya lebih memfasilitasi ekspansi bisnis pihak tertentu.Â
Singkatnya, pengusaha yang telah "berkeringat" dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif harus mendapat konsesi dengan perluasan bisnis sehingga pundi-pundi cuan mereka semakin menggunung.
Jika kasus RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal sulit untuk disahkan menjadi UU, ini dikarenakan adanya hambatan dari ketua partai politik seperti ditegaskan oleh Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto di atas. Atau ada tantangan dari kepentingan pengusaha yang telah mengendalikan suatu partai politik.Â
Tentunya, ada kepentingan mereka yang terganggu: kepentingan pemilik partai atau pengusaha disekitarnya. Umumnya, pola ini tidak hanya pada RUU tersebut melainkan juga pada regulasi-regulasi lainnya.
Sebagai kesimpulan, di era demokrasi yang liberal dan sistem ekonomi yang kapitalisme seperti sekarang ini, substansi demokrasi perlahan lenyap. Rakyat bukan lagi pihak yang diwakili suaranya. Tetapi suara ketua partai politik dan pengusaha yang diutamakan. Rakyat diperhitungkan saat pesta demokrasi tetapi tidak diperhitungkan ketika para kandidat telah terpilih.Â
Jangan tertipu dengan citra-citra yang mereka tampilkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H