Filipina akhirnya memutuskan komunikasi dan kerjasama dengan ICC (International Criminal Court). Filipina tidak sejalan dengan lembaga peradilan kejahatan internasional ini.Â
Lebih spesifiknya dalam kasus penyelidikan terhadap mantan Presiden Rodrigo Duterte atas dugaan kejahatan dalam upaya pemberantasan narkoba di negaranya.Â
Filipina di rezim sekarang yakni di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr dan wakilnya Sara Duterte-Carpio yang merupakan putri Presiden Duterte, meminta ICC untuk menghentikan penyelidikan ini. Namun, permintaan itu ditolak yang berujung pada keputusan Filipina untuk memutuskan komunikasi dengan ICC.
Beberapa hari yang lalu juga, ICC menjadi perbincangan internasional. Hal itu disebabkan karena lembaga pengadilan yang berbasis di Belanda ini mengeluarkan keputusan yang kontroversial yakni menangkap Presiden Rusia Vladimir Putin dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Rusia Maria Lvova-Belova.Â
Alasan yang dituduhkan adalah kedua tokoh ini melakukan pemaksaan pemindahan anak-anak dari Ukraina ke Rusia akibat perang di Ukraina. Namun, di awal keputusan itu dikeluarkan, Rusia tidak langsung merespon. Rusia menganggap itu bukan hal yang luar biasa.Â
Pasalnya, Rusia tidak mengakui keberadaan lembaga ini sehingga keputusannya tidak memiliki kekuatan hukum pada Rusia.
Kurang lebih sehari kemudian, Rusia merespon keputusan ICC tersebut. Rusia menganggap ICC tidak memiliki otoritas terhadap negaranya termasuk warganya. Bahkan mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan kalau Putin ditangkap maka ICC akan diserang atau sama dengan deklarasi perang terhadap Rusia.
ICC Bias Politik
Dalam kasus Rusia, banyak pihak yang menganggap ICC hanyalah alat politik. ICC digunakan untuk menghukum musuh-musuh "barat". Sementara itu, kejahatan perang seperti yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya seperti NATO tidak pernah disentuh.
Padahal invasi militer Amerika dan aliansinya ke Irak misalnya atau dukungan Amerika ke Israel untuk menjajah Palestina tidak pernah disentuh oleh lembaga ini. Amerika malah membuat UU untuk melindungi warganya jika diadili oleh ICC. UU itu dikenal dengan UU Serangan Den Haag.Â
UU ini mengamanatkan kepada pemerintah Amerika untuk melakukan apapun untuk melawan jika mengadili warganya bahkan oleh pakar hukum mengatakan bahwa UU itu akan digunakan untuk menyerang ICC.