Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dokumen Rahasia Intelijen Amerika, Papua, dan Timor Timur

31 Agustus 2019   13:31 Diperbarui: 31 Agustus 2019   13:50 3623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

30 Agustus 1999 referendum Timor Timur dilaksanakan. Hasilnya telak, Timor Timur (sekarang Timur Leste) menjadi negara terpisah. Tepat Jumat (30/08) kemarin, Timor Leste memperingati 20 tahun lepas dari Indonesia.

Saat itu, Jendral (Purn) Wiranto masih menjabat sebagai panglima ABRI (TNI). Ia menjadi salah satu aktor utama menjelang, saat dan setelah referendum Timor Timur. Ia juga adalah orang yang disebut-sebut terlibat dalam beberapa kasus di Timor Timur. 

Kini sang Jendral kembali menangani Papua yang sedang bergejolak. Namun, kini Ia bukan lagi sebagai panglima TNI melainkan Mentri Kordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Lalu, apakah Papua akan bernasib sama dengan Timor Timur?

Menjelang 20 tahun peringatan referendum Timor Timur yang memutuskan eks salah satu Provinsi di Indonesia ini, Amerika merilis data rahasia intelijen terkait peristiwa-peristiwa di balik itu. 

Dalam rilisan yang dipublikasikan di beberapa media internasional, ada dua hal yang menarik yakni bagaimana Indonesia mendukung milisi pro integrasi (Indonesia) di Timor Timur dan Mantan Perdana Mentri (PM) Australia John Howard mengakui beberapa tahun setelah referendum bahwa pelepasan Timor Timur dari Indonesia merupakan salah satu prestasi yang paling membangkan yang Ia lakukan dalam periode kepemimpinannya.

Meskipun momentumnya sama dengan 20 tahun referendum Timor Timur, tapi saya melihat momentum dilepaskannya dokumen rahasia ini ke publik sengaja dilakukan bersamaan dengan gejolak di Papua. Narasinya pun sama, pemisahan dari Indonesia.

Isu HAM yang selama ini diduga dilakukan oleh Indonesia melalui aparat keamanannya seperti TNI dan Polri digaungkan di panggung inernasional. Isu ini terus digoreng untuk mendapat simpati internasioanal yang nantinya berujung pada referendum ulang untuk menentukan apakah Papua tetap berada dalam wilayah kedaulatan NKRI atau berpisah.

TNI Mendukung Milisi Pro Indonesia dan Peringatan Amerika atas Papua

Dokumen intelijen tersebut cukup mencoreng institusi TNI. Dijelaskan bahwa TNI terlibat pelanggaran HAM dengan mendukung kelompok milisi pro Indonesia yang diantaranya melalui persenjataan dan penasihat militer. 

Menurut dokumen itu, kelompok milisi itu melakukan pembunuhan dan tindakan represi lain terhadap warga Timor Timur baik sebelum maupun sesudah referendum.

Hal ini seolah-seolah sebagai "warning" bagi TNI yang sedang menangani gejolak di Papua saat ini. Bahkan seakan mengonfrimasi bahwa TNI adalah pelanggar HAM terhadap Papua yang merupakan bahan kampanye gerakan pemisahan papua dari Indonesia selama ini.

Posisi Amerika sekarang terindikasi berlawanan dengan Indonesia dalam kasus Papua. Padahal jika  menilik sejarah, Amerika di bawah presiden John F Kennedy mendukung  penentuan pendapat rakyat (Pepera) tahun 1969 melalui mekanisme PBB dalam kerangka New York Agreement kemudian menghasilkan bahwa Papua berada di pangkuan ibu pertiwi Indonesia.

Secara politis tentunya Amerika punya tujuan. Saat itu situasi politik global sedang dalam era perang dingin atau persaingan blok barat yang dipimpin oleh Amerika dan blok Timur dalam kepemimpinan Uni Soviet. Kedua blok ini sedang bersaing mempengaruhi negara non blok termasuk Indonesia untuk bergabung. 

Karenanya secara politis, dukungan Amerika terhadap hasil Pepera (Menurut pengakuan-pengakuan, Pepera tersebut cacat karena terdapat pelanggaran-pelanggaran, tapi tulisan ini tidak akan membahas itu meskipun pelanggaran-pelanggaran itu harus divalidasi lagi) agar Indonesia tidak jatuh pada pengaruh blok timur yang komunis. 

Selain itu, tentunya penguasaan sumber daya alam Indonesia, salah satunya masuknya perusahaan Amerika Freeport yang mencaplok tanah Papua.

Dalam sepak terjangnnya, Amerika bukanlah kawan yang setia dalam perjuangan hingga akhir. Hal itu tergantung bagaimana kepentingannya terlindungi. Jika sebuah rezim dapat mengamankan kepentingan-kepentingannya maka Amerika akan tetap berada dibelakang rezim tersebut. 

Sebaliknya akan terjadi jika sebuah rezim berposisi menentang kepentngan Amerika. Kasus Timor-TImur contohnya. Kerja sama militer Amerika dan Indonesia cukup kuat, namun secara kalkulasi geopolitik lepasnya Timur Timor dari Indonesia akan cukup menguntungkan Amerika dan sekutunya terutama Australia. Sehingga wajar, saat itu Amerika memutuskan untuk mendukung Timur-Timor sebagai negara merdeka atau mencampakan Indonesia.

Australia Aktor Terpisahnya Timor Timur

Pengungkapan kedua adalah pernyataan PM Australia Howard bahwa kemerdekaan Timur Timor adalah bagian dari prestasi yang paling membanggakan saat Ia memimpin Australia. Howard mengakui itu setelah beberapa tahun Timur-Timor berpisah dari Indonesia. 

Padahal dalam dokomen-dokumen itu terungkap bahwa menjelang referendum, Australia bergelagat ingin Timur Timor tetap dalam wilayah NKRI. Namun fakta yang terjadi ternyata jauh panggang dari api.

Dalam perspektif pertarungan geopolitik, Papua sangat strategis bagi Indonesia dan lepasnya wilayah ini dari Indonesia akan sangat merugikan Indonesia. Dari kekayaan alam hingga posisi geografis akan sangat menguntungkan bagi negara lain jika Papua lepas sebagai negara mandiri. 

Jika itu yang terjadi, konstalasi geopolitik kawasan Asia Pasifik termasuk Asia Tenggara didalamnya akan berubah drastis. Papua akan segera didekati dan mendekati kepentingan-kepentingan internasional terutama 'rival' Indonesia di kawasan yakni Australia.

Namun, Papua tidak akan semudah itu membangun dirinya sendiri baik secara ekonomi, militer, politik dan lainnya. Dengan asumsi Papua lepas dari Indonesia, Papua akan sangat membutuhkan negara lain dalam pembangunan. Jika itu yang terjadi maka secara geopolitik, Indonesia dalam  kepungan. Belum lagi dengan penempatan militer Amerika di Darwin Australia.

Pertanyaan selanjutnya, apakah Papua dalam skenario seperti Timor Timur? Siapa aktor? Apakah Australia kembali menjadi Aktor?

Aliansi Aktor Internasional di Papua

Tidak bisa dimungkiri, faktor internasional sedang memainkan perannya di tanah Papua. Saya juga tidak menafikan kompleksitas faktor internal atau masalah domestik Indonesia sehingga Papua bergejolak terutama masalah integrasi sosial selama ini. Dengan kata lain, tulisan ini akan mengesampingkan dahulu faktor domestik tersebut (butuh tulisan lain untuk menguraikan ini).

Saya tidak ingin menuduh komunitas internasional mana yang sedang bermain di tanah Papua. Tapi melihat data rahasia intelijen Amerika tentang Timur Timor yang diungkapkan ke publik di atas, terindikasi kuat bahwa Amerika, Australia dan sekutunya sedang memainkan kartu-kartunya.

Saya melihat ada faktor kebangkitan China dalam dekade terakhir yang memicu gejolak di Papua. China hadir sebagai kekuatan penyeimbang baru melawan hegemoni Amerika terutama di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masuk didalamnya. Bagaimanapun hubungan Jakarta-Beijing cukup kuat di era pemerintahan Jokowi. 

Apalagi China dengan pengaruh ekonomi dan politiknya melalui program BRI (Belt Road Initiative) mampu memperkuat hegemoninya bahkan menggangu negara-negara aliansi tradisional Amerika selama ini untuk merapat ke China. Tentunya, sebagai kekuatan global, Amerika tidak ingin hegemoninya terganggu apalagi terlampaui oleh kehadiran China.

Bisa jadi dirilisnya dokumen intelijen tersebut alat peringatan untuk Indonesia agar tetap "setia" pada Amerika atau jangan terlalu merapat pada Beijing. Papua akan dijadikan "kartu truf" untuk menggoncang Indonesia terutama dalam panggung diplomasi internasional. 

Kekuatan dan jaringan diplomasi Amerika yang telah terbangun lama memiliki pengaruh yang kuat di banding Indonesia. Jika Amerika mau, akan sangat berpeluang Papua akan diarahkan pada referendum Jilid 2 untuk menentukan nasib sendiri, sebagaimana yang pernah disetujui dulu yakni referendum (Pepera) 1969 dimana posisi Amerika mendukung Papua sebagai bagian dari Indonesia karena tujuan pragmatis.

Belajar dari lepasnya Timor Timur dari Indonesia -- seperti dijelaskan dalam dokumen rahasia intelijen -- tidak bisa lepas dari pengaruh Amerika yang memaksa Indonesia untuk berhenti membantu milisi pro Indonesia. 

Saat itu Panglima TNI Jendral Wiranto pernah melakukan pertemuan dengan Panglima Armada Pasifik AS terkait nasib Timor Timur. Secara eksplisit bahwa Amerika punya pengaruh yang kuat terhadap Indonesia.

Selain itu, Inggris adalah negara tempat salah satu markas United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), wadah perjuangan Papua merdeka. Salah satu tokoh dari gerakan ini, Benny Wenda, mendapat penghargaan sebagai salah satu tokoh demokrasi dari dewan Kota Oxford Inggris. 

Negara yang kini berjuang untuk menyelesaikan tahapan Brexit ini merupakan aliansi kuat Amerika dan Australia. Dari sini tampak pola aliansi yang terbentuk dalam sokongan terhadap ULMWP adalah aliansi negara-negara yang dalam percaturan politik global merupakan penantang kebangkitan hegemoni China, terutama dalam merespon kebangkitan China di kawasan Asia Pasifik. 

Bukan berarti negara lain seperti China tidak punya kepentingan di Papua, hanya saja pendekatan China berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para rival politiknya.

Papua memang memiki daya tarik yang cukup kuat. Posisi geografis dan kekayaan alam akan cukup menentukan dalam percaturan politik kawasan. Lebih-lebih bagi Australia sebagai negara yang berbatasan langsung di sebelah utara dengan Indonesia. Dengan posisi geografis ini, mau tidak mau Australia cukup bergantung pada kebaradaan Indonesia. Oleh karena itu Indonesia harus tetap dalam pantauan ketat Australia dan kawan-kawannya.

Kini Jendral (Purn) Wiranto kembali memainkan perannya di Papua. Entah bagaimana nasib tanah Cendrawasi ini ke depan. Apakah akan sama dengan Timor Timur? Namun, yang pasti adalah Indonesia terutama TNI tidak akan mengulang lagi sejarah kekalahan di Timor timur. Dan lebih penting adalah kemanusian harus menjadi hal utama yang dikedepankan.

~Makassar, 31 August 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun