Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melarang Gatot, Memperkuat Pengaruh Amerika di Indonesia

0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kabar yang cukup mengejutkan sekaligus membuat tanda tanya bagi  Indonesia terutama pihak TNI dengan dilarangnya panglima TNI Jenderal  Gatot Nurmantyo untuk mengunjungi Amerika Serikat. Apalagi undangan  tersebut datang dari Panglima Angkatan Bersenjata Amerika Serikat  Jenderal Joseph F Durford, Jr. untuk mengahadiri Chiefs of Defense  Conference on Countering Violent Extremist Organization pada 23-24  Oktober di Washington DC. Suatu kejanggalan karena keinginan hadir atas dasar undangan dari pihak Amerika tapi di sisi lain mereka juga  melarang. 

Sepintas ini bisa dikatakan sebagai upaya  mempermalukan Indonesia di panggung internasional. Lucunya lagi yang  melarang keberangkatan jendral Gatot tidak datang langsung dari otoritas  resmi negeri paman syam ini melainkan datang dari maskapai Emirates.  Cukup janggal.
Meskipun pada ahirnya Amerika telah menyampaikan  permintaan maaf tapi tidak ada penjelasan alasan kenapa pelarangan itu  terjadi. Justru mereka mengungkapan adanya kurang kordinasi di antara  instasi terkait mengenai pelarangan ini.

Dalam melihat kasus ini,  kita harus mencoba mengambil jarak untuk melihatnya lebih jelas.  Meskipun ada kemungkinan miskomunikasi dan kurang kordinasi yang baik di antara instasi terkait di Amerika terkait pelarangan in tapi  kemungkinan itu sangat kecil bagi Amerika sebagai negara yang memiliki  system adminstrasi yang terkoneksi dengan tekhnologi dan internet yang  cukup canggih. Bagi saya, justru Amerika punya pesan politik yang ingin  disampaikan pada pihak-pihak tertentu di Indonesia.

Geopolitik Asia Pasifik

Jika dilihat dalam lingkup makro, maka masalah ini tidak bisa dilepas  dari pertarungan hegemoni geopolitik di asia pasifik. Kawasan ini cukup  strategis dan menjanjikan bagi dunia terutama negara-negara yang punya  hubungan dagang dan ekonomi dengan negara-negara di kawasan ini. Asia  pasifik merupakan kawasan yang paling dinamis dalam pertumbuhan ekonomi  dibanding kawasan lain di dunia termasuk uni eropa yang sampai saat ini  masih belum pulih dari krisis ekonomi. Alasan ini kemudian dijadikan  batu pijakan bagi dua negara besar yang tengah berebut panggung dalam  percaturan politik dunia yakni Amerika dan China dalam mempertahankan dan memperluas pengaruhnya. 

Hari ini Amerika mulai kewalahan  menghadapi agresivitas China dengan agenda "one belt, one road" (satu  sabuk, satu jalan). Sebuah agenda yang membangun jalur yang mengkoneksikan hampir seluruh kawasan di dunia dengan program  infrastruktur dan kerjasama biliateral dan multilateral dalam banyak  sektor dengan dana yang telah disiiapkan begitu besar. Apalagi China  berhasil mempertahankan agenda RCEP (Regional Comprehensive Economic  Partnership) sebagai rivalitas agenda TPP (Trans Pacific Partnership)  yang di komandoi oleh Amerika serikat yang kemudian di batalkan setelah  terpilihanya donalt trump sebagai presiden AS.

Kemunduran dari  agenda TPP dibarengi dengan agenda "American First" oleh donalt trump  menjadi salah satu tanda kekalahan Amerika dalam pertarungan hegemoni di  kawasan asia pasifik.

Indonesia sebagai salah satu negara yang  cukup penting dan stabil dalam pertumbuhan ekonomi menjadi ladang  perebutan kedua negara ini (baca: AS dan China). Apalagi jika dicermati  lebih dalam, China secara perlahan mulai menancapkan pengaruhnya di  Indoneseia di bawa Presiden Jokowi. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya investasi China bahkan "meikarta dan reklamasi teluk  Jakarta" oleh banyak pengamat menilainya sebagai bagian dari symbol  hegemoni China di Indonesia. Dan bagaimanapun juga Amerika tidak  menginginkan pengaruh itu terjadi lebih luas, maka langkah-langkah  terukur pun mulai dilakukan.

Amerika menginginkan jendral Gatot

Melihat realitas ini, Amerika mulai sadar bahwa agenda politik luar  negeri di Asia pasifik di bawah Donald trump merupakan sebuah  kekeliruan. Oleh karena itu mereka mulai merekonstruksi agenda politik  luar negerinya sebelum semua terlambat dengan memainkan kartu "militer"  untuk menciptakan destabilitas di Indonesia. 

Indikasi itu bisa  dilihat bagaiamana dokumen CIA beberapa hari yang lalu dibuka ke publik  terkait peristiwa G30S/PKI yang ternyata melibatkan TNI dan beberapa ormas besar islam sehingga pelanggaran HAM terjadi. Dalam dokumen itu  justru secara jelas mengatakan Amerika juga terlibat membantu TNI dalam  pelanggaran HAM. Pertanyaan kemudian muncul: Kenapa Amerika membuka  aibnya sendiri? Jawabannya jelas: Karena Amerika tidak mendapat efek  negatif dari dipublikasikannya dokumen rahasia itu meskipun membuka boroknya sendiri, malah mereka memiliki agenda terhadap Indonesia yakni  merusak citra TNI dan menciptakan instabilitas sosial.

Ini  sekaligus pesan bagi militer Indonesia agar tetap setia menjalin kerja  sama dengan Amerika, jika tidak ingin hal yang buruk lebih besar  terjadi. Tidak bisa dimungkiri banyak petinggi militer Indonesia punya  hubungan khusus dengan Amerika terutama bagiamana para petinggi itu  pernah belajar keterampilan militer dan bersekolah di negeri super power  ini. Hal itu bisa dilihat dalam sejarah dua presiden Indonesia, Jendral  Suharto dan Jendral SBY ketika menjadi nahkoda negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini. Arah kebijkan luar negeri dua Presiden  berlatar belakang militer ini sangat akrab dengan Amerika bahkan  bisa  dikatakan tidak ada tempat yang banyak untuk kepentingan negara yang  berhaluan "kiri" seperti china di Indonesia.

Jadi sebenarnya  dibukanya dokumen CIA tentang peristiwa G30S/PKI dan sempat dilarangnya  jendral Gatot untuk memasuki wilayah Amerika adalah sebuah pesan politik  yang ingin disampaikan oleh Amerika agar Indonesia terutama militer  tetap menjaga ikatan yang kuat dengan Amerika.

Mungkin banyak  orang yang melihat bahwa kasus ini merugikan jendral Gatot, tapi  faktanya malah berkebalikan. Situasi ini justru menguntungkan pimpinan  TNI ini yang menurut suvey-survey terakhir ditempatkan sebagi kandidat  pontensial dan kuat untuk bertarung di pilpres 2019 nanti. Nama Gatot  semakin melambung tinggi dan konsolidasi dukungan terhadapnya semakin  kuat pasca kasus pelarangan ini. Inilah yang diinginkan Amerika. 

Jendral Gatot sangat diinginkan Amerika untuk menjadi pemimpin  Indonesia kedepan untuk membendung pengaruh China di Indonesia demi  memenangkan pertarungan hegemoni di kawasan Asia pasifik, karena seperti  disebutkan di awal bahwa Indonesia adalah negara yang penting dan  strategis dalam keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas  keamanan di kawasan ini. Singkatnya ini taktik Amerika untuk menguatkan  posisi Gatot di kancah politik Indonesia. Apalagi tidak ada penjelasan  terkait alasan pelarangan dan akhirnya pelarangan itu pun dengan  sendirinya dicabut.
Hubungan jendral Gatot dan panglima angkatan  bersenjata AS pun disebut-sebut memiliki hubungan yang cukup dekat  bahkan sebagai junior-senior.

Bukan alasan HAM dan demokrasi

Sebenaranya beberapa jendral Indonesia telah masuk dalam daftar  pelarangan untuk memasuk wilayah Amerika. Biasanya karena keterkaitannya  dengan pelanggaran HAM atau sejenisnya. Amerika melakukannya demi  menjaga citra dan mengklaim diri sebagai negara pengaplikasi demokrasi  dan HAM di dunia. Tapi benarkah demikian? Faktanya adalah Amerika  berwajah ganda jika dihadapkan pada penerapan demokrasi dan HAM.

Jika ada yang mengatakan pelarangan jendral Gatot disebabkan  kedekatannya dengan organisasi islam yang dilabelkan oleh banyak  kalangan sebagai organisasi garis keras, misalnya FPI dan  kawan-kawannya, maka ini bukalah alasan utama. Amerika dalam masalah HAM  dan demorkasi adalah negara yang tidak konsisten. Mari buka lembar  sejarah, tentang pemberontakan PRRI di Sumatrah terhadap Indonesia saat  itu. PRRI mengusung ideologi islam yang selama ini diantisipasi oleh  Amerika, namun justru mendapat dukungan dari negeri pemimpin blok barat  saat itu. 

Amerika melakukannya karena ingin menyingkirkan  Sukarno yang cukup dekat dengan blok timur. Artinya ini bukan persoalan  idealisme tapi ini persoalan kepentingan politik, yang tidak peduli  apakah kucing hitam atau putih, asalkan bisa menangkap tikus. Tidak  pedulil melanggar HAM atau tidak yang penting kepentingan bisa tercapai. Inilah prinsip politik luar negeri yang dimainkan Amerika selama ini.
Dengan kata lain insiden pelarangan yang kemudian telah dicabut pada  jenderal Gatot untuk memasuki wilayah AS hanyalah pesan yang ingin  dikirimkan oleh Amerika pada Indonesia terutama militer dan sekaligus  menguatkan posisi jendral Gatot dalam konstalasi politik nasional.

 ~SK, 23 Oktober 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun