Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nontonlah G30S-PKI

20 September 2017   21:54 Diperbarui: 20 September 2017   22:01 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: civitasbook.com

Wacana kebangkitan PKI (partai komunis Indonesia) kembali dihembuskan. Sebenarnya wacana sudah sering diangkat tapi saat ini cukup memanas karena bertepatan dengan momentum tanggal 30 september. Momentum ini cukup tersimpan di memori masyarakat terutama yang lahir di era orde baru karena selalu diperingati melalui pemutaran film "Penghianatan G30S PKI".

Sebenarnya banyak hal yang diperdebatkan terkait wacana PKI tapi yang kini tengah menonjol adalah pemutaran film tersebut (baca: penghiantan G30S PKI) terkait layak tidaknya ditayangkan kembali pada masyarkat luas. Bagi pihak yang setuju menganggap film tersebut sebagai fakta sejarah yang penting untuk diketahui bahwa PKI telah melakukan pemberontakan dan kekejaman terhadap masyarakat dan negara. Di satu sisi bagi kelompok yang tidak setuju menggap film itu tidak lebih hanya sekedar propaganda pemerintah orde baru untuk melenyapkan ideologi dan partai ini karena dapat mengganggu kelanggengan kekuasaannya.

Tulisan ini tidak membahas benar tidaknya film tersebut, melainkan lebih pada bagaimana menyikapi perdebatan ini. Bagi saya kebangkitan PKI menjadi partai yang resmi dan dapat eksis diakui secara hukum di negara yang beridologi pancasila adalah hal yang sangat sulit bahkan mustahil. Bahkan ideologinya -- komunisme - sebagai ajaran murni yang dicetuskan oleh karl marx merupakan sesuatu yang tidak kompatibel dengan sosial kebudayaan masyarakat Indonesia. 

Apalagi zaman sudah berubah, dunia berada dalam genggaman kapitalisme (liberalisme) yang sangat kontradiktif dengan komunisme. Oleh karena itu kebaradaan dan tujuan komunisme dengan masyarakat tanpa kelasnya sebagaimana yang dicita-citakan merupakan sebuah ilusi.

Di tengah arus liberalisme yang berkelindang dengan massifnya informasi yang ditersalur dalam perkembangan tekhnologi yang bergitu pesat terutama di bidang internet dan digital sehingga semakin memudahkan masyarakat untuk menemukan informasi yang variatif. Informasi tidak lagi dimonopoli oleh negara seperti halnya di era orde baru. Di era media sosial dan internet siapa saja bisa mengekspresikan gagasan melalui gambar, video dan tulisan kemudian dibagikan ke masyarakat secara luas untuk dibaca. Sehingga ruang wacana terisi dengan ragam perspektif.

Jika di era orde baru, segala sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan kekuasaan akan disingkirkan secara tegas. Hari ini di era reformasi keadaan berubah. Siapa saja bisa beropini dan memublikasikan ke khalayak sehingga masyarakat dapat memilah dan memilih informasi dengan sendirinya.

Tidak perlu dilarang

Berangkat dari alasan ini, saya berpendapat pemutaran film G30S PKI tidak perlu dilarang. Bagi saya film tersebut bagian dari referensi kahasanah pengetahuan sejarah dan politik. Dalam negara demokrasi segala wacana harusnya dihidupkan sebagai bagian dari dialektika pemikiran demi kematangan demokrasi kedepannya. Terkait benar tidak sebuah film, biarlah perjalanan sejarah yang membuktikannya.

Lagi pula fakta tandingan (anti thesis) terkait film tersebut sudah banyak beredar baik dalam bentuk buku (tulisan) maupun film. Tugas kita bagaimana terlibat secara bijak dalam diskursus sehingga penyebaran informasi dapat merata dan didiskusikan secara sehat. Tidak perlu ada ketakutan yang berlebihan terkait pemutaran kembali film ini. Sejarah terus bergulir dan akan membentuk polanya sendiri sebagaimana informasi akan terus bergulis hingga sampai di masyarakat.

Merespon pemutaran film dengan kekhawatiran yang berlebih, tidak ada bedaya dengan ketakutan pihak-pihak yang menggap PKI adalah monster yang akan hidup kembali di negeri pancasila ini. Lagi pula dalam fakta sejarah tidak ada komunisme yang bisa eksist. Apalagi hari ini kita berada dalam cengkraman liberalisme global yang begitu kuat, bukanlah tanah yang subur bagi komunisme untuk tumbuh dan berkembang. Karena komunisme mengharuskan otoritarianisme yang berujung pada satu satu variasi pemikiran. 

Atau pada prinsipnya komunisme mengharuskan lingkungan yang otoriter secara politik dan matinya kebebasan sipil, sedangkan Indonesia tidak berada dalam situasi ini. Bahkan China sebagai negara komunis terbesar di dunia pun tidak konsisten dengan komunismenya dan terpaksa harus mengikut pada aturan main globalisasi yang kapitalisik. Jika China tidak melakukan itu, maka matilah dia dalam sejarah.  

Apalagi sejarah perjalanan bangsa Indonesia belum diketahui secara luas oleh masyarakat. Saya percaya tidak semua adegan dalam film G30S PKI merupakan fakta sejarah, sebagaimana juga saya percaya bahwa PKI punya dosa-dosa. Tidak boleh ada konstruksi pikiran bahwa PKI sebagai hanya korban toh, tanpa ada kekejaman yang dilakukan. Melihat PKI tidak boleh hanya melihat kasus 30 september 1965, melainkan juga harus melihat pemberontakan PKI 1948 di madiun, termasuk bagaiamana pembunuhan terhadap kiyai-kiyai kampung oleh anggota dan simpatisan partai komunis ini. 

Jika pejuang demokrasi dan hak asasi ingin membuka fakta sejarah maka harus dibuka secara keseluruhan. Jika pejuang demokrasi dan hak asasi memperjuangkan hak anggota, simpatisan atau keluarga yang tergabung dalam gerakan PKI sebagai korban perlakukan negara, mereka juga harus memperjuangkan hak masyarakat yang merupakan korban dari perlakukan PKI. Jika ini dilakukan, demokrasi kita akan semakin matang.

~Makassar, 19 september 2017

*artikel ini juga diterbitkan di kanesia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun