Hal ini sudah menjadi perdebatan dalam pemikiranku. Bagaiamana harus melayani dengan baik atau sepatutnya? Pertanyaan ini bisa terjawab oleh hati nurani setiap manusia. Tak peduli apakah anda bekerja sebagaia pegawai negeri sipil (PNS) ataupun pegawai swasta (PS).
Sengaja saya munculkan dua frase terakhir di atas, pegawai swasta dan pegawai negeri. Dalam pengalaman yang saya jumpai, kedua tempat profesi ini memiliki perbedaan. Yah, tentunya selain menjadi abdi institusi yang bernama negara bagi pegawai negri dan institusi milik swasta (pribadi/kelompok) bagi pegawai swasta. Juga, saya menemukan ada perbedaan proses maupun prosedur pelayananan yang umum di jumpai.
PNS
Sudah menjadi rahasia umum, prosedur birokrasi di negeri kita cukup berbelit-belit. Sehingga terkesan mempersulit warga yang memiliki keperluan-keperluan. Padahal birokrasi adalah cara negara untuk menjangkau rakyatnya dalam memberi pelayanan. Kemudian para pelaksanan birokrasi (birokrat) di berikan gaji oleh negara. Dengan demikian birokrasi harus melayani rakyat bukan dilayani.
Paradigma melayani inilah yang harus terpatri dalam birokrat di negeri kita. Tapi konsep ini hanyalah indah di atas kerta, karena dalam kenyataan di lapangan tak demikian. Paradigma melayani terbalik menjadi dilayani. Para birokrat tak jarang ditemukan belaga ‘sok’ untuk berhubungan dengan masyarakat yang membutuhkan tugas-tugas (pelayanan) mereka. Selain tata kelolah birokrasi yang semrawut juga unsur kesengajaan untuk meliku-likukan segala prosedur sehingga masyarakat terutama masyarakat ‘kecil’ sulit untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka.
‘Birokrasi PNS’ penyebab Korupsi
Kondisi inilah yang menjadi salah satu pemicu korupsi di negeri kira. Prosedur yang berbelit-belit oleh birokrasi kita, menyebabkan banyak masyarakat mengambil jalan pintas. Mereka memberikan uang pelican agar segala urusannya menjadi licin dan cepat selesai. Banyak para oknum birokrat – untuk tidak menyatakan semuanya – yang senang dengan perilaku (baca: uang pelican) ini. Bahkan mereka (baca: oknum birokrat) sengaja membuka peluang untuk itu. Karena mereka di untungkan dengan menerima uang dari masyarakat meskipun secara tidak sah.
Keberadaan perlaku di atas, telah menjadi budaya yang lumrah. Sesuatu yang salah jika terus di biasakan maka akan menjadi dibenarkan secara budaya karena telah dilumrahkan. Padahal itu memang salah. Inilah bagian dari korupsi itu, bahwa memberikan uang pelicin agar mempermudah urusan-urusan administrasi merupakan bagian dari praktek korupsi sesuai dengan hukum di negara kita. Jika sudah demikian, bagaiamana dengan masyarakat yang tidak memiliki uang (miskin)?
Jangan heran jika kemudian hasil survei yang pernah di rilis menyebutkan korupsi dapat mempermudah urusan-urusan administrasi dalam birokrasi. Jangan heran juga hal ini berkonsekuensi pada maraknya budaya korupsi hingga tingkat yang paling bawah yakni masyarakat kecil biasa, tak hanya di tingkat wakil rakyat (elite) kita. Budaya korpusi menjadi massif, terstruktur dan sistemik.
Pegawai swasta (PS)
Bagaimana dengan pegawai swasta dalam memberi pelayanan? Dalam kenyataannya kita dapat melihat bahwa perbedaan itu begitu tajam. Misalnya ketika anda berkunjung ke suatu kantor swasta, anda akan di anggap sebagai raja. Raja yang dilayani sebaik mungkin tanpa ada embel-embel yang lain. Tidak perlu prosedur yang berbeli-belit. Kalaupun ada, maka anda akan di permudah oleh pegawai-pegawainya.
Ketika anda masuk, senyuman serta sapaan yang sopan akan anda dapatkan. Anda akan dipersilahkan duduk untuk ditanya perihal keperluan anda. Para pegawai swasta dengan setulus hati akan melayani anda hingga semua urusan kelar. Tidak perlu uang adminisitrasi kecuali untuk profesi-profesi tertentu semisal dokter praktek. Belum lagi dengan suasana ruangan kantor (lembaga) swasta yang begitu nyaman.
Paradigma yang di bangun dalam birokrasi swasta adalah benar-benar melayani. Terlepas dari motif demi ke ‘untungan’ maka birokrasi negara patut meneladaninya. Sehingga bukan lagi di layani melainkan kembali ke kittoh untuk “melayani”. Yah sekali lagi, pegawai negeri sipil harus “melayani”, bukan dilayani.
~Makassar, 5 Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H