Perhelatan akbar Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal sebentar lagi. Pasangan calon presiden dan wakil presiden di pemilu 2024 sudah memulai masa kampanye. Persaingan dan upaya menunjukkan kapasitas masing-masih calon sudah mulai ditunjukkan. Sebagaimana yang kita saksikan dalam debat Capres dan Cawapres. Persaingan tidak bisa dielakkan lagi. Para kontestan pemilu akan bersaing merebut dukungan rakyat dengan mengenalkan program kerja dan visi misi serta janji-janji manis untuk rakyat.
Alamiahnya sebuah persaingan tentu akan memunculkan konflik dan polarisasi. Tidak terkecuali persaingan dalam berebut kursi kekuasaan ataupun legislatif. Secara fakta dari apa yang pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya, konflik akan muncul dari banyak sisi. Mulai dari para pendukung bahkan sampai Partai Politik (Parpol). Sungguh disayangkan, untuk melangsungkan pemerintahan dalam demokrasi harus diawali dengan potensi adanya konflik. Namun apa daya, kondisi ini tidak bisa benar-benar dihilangkan.
Tentu dampak adanya konflik tidaklah baik. Utamanya bagi masyarakat dan kelangsungan Bangsa ini. Namun yang perlu menjadi perhatian tidak hanya konflik di kalangan pendukung. Konflik yg kerap menimpa parpol juga harus mendapat perhatian.
Perebutan posisi untuk jadi parpol pemenang turut memunculkan ambisi. Tak jarang itu terjadi juga pada para pendukung fanatik. Bukan hanya itu, Gambaran dualisme kepemimpinan dalam partai politik juga kerap terjadi. Seringkali dualisme kepemimpinan menghantarkan pada adanya perpecahan dan munculnya partai-partai baru yang digawangi oleh orang-orang lama. Sungguh miris, kondisi ini menunjukkan bagaimana rapuhnya kondisi partai politik di sistem demokrasi.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari ikatan yang menentukan apakah sebuah partai politik bisa berdiri kokoh atau rapuh. Hanya saja sistem demokrasi kapitalisme telah berhasil menjadikan orientasi manusia hanya berkutat kepada manfaat bagi dirinya atau kelompoknya. Seringkali kondisi inilah yang berdampak pada tidak berjalannya tugas dan tanggung jawab partai. Karena mereka diikat dengan kepentingan atau manfaat saja. Maka ketika terjadi perpecahan yang bersifat personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai. Bahkan juga memunculkan konflik antar partai. Padahal partai memiliki peran yang begitu penting. Diantaranya :
1. Â Sebagai sarana komunikasi politik. Parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang-siuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
2. Â Sebagai sarana Sosialisasi Politik (Instrument of Political Socializzation).
Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
3. Â Sebagai sarana Rekrutmen Politik.
Dalam hal ini parpol berfungsi dan diharapkan dalam pengkaderan politisi bermental negarawan.
4. Sebagai sarana pengatur konflik dan kontrol bagi kekuasaan.
Bisa dibayangkan jika partai politiknya saja rapuh dan hanya fokus pada kepentingan. Bagaimana mungkin peran parpol akan berjalan maksimal. Bukankah akhirnya parpol hanya akan sibuk dengan masalah internal, persaingan dan kekuasaan? Akibatnya parpol akan kehilangan peran utama sebagai kontrol atas kekuasaan yang sedang berjalan dan pencetak para negarawan bervisi revolusioner. Bahayanya Kekuasaan bisa berjalan serampangan dan justru politikus-politikus oportunis yang akan tercetak. Kondisi ini akan berdampak pada masyarakat secara umum.