Aku Angger, seorang wanita yang umurnya hampir menginjak kepala empat. Hidup sebagai seorang keturunan Jawa telah membuatku terbiasa dengan berbagai tradisi dan budaya kejawen. Apalagi aku besar di salah satu daerah di Jawa Tengah, yang sangat kental dengan berbagai tradisi dan kepercayaan. Jawa memang tak pernah bisa dipisahkan dengan hal-hal berbau mistis. Banyak beredar berbagai cerita horor dan misteri, bahkan berbagai tradisi, kepercayaan dan ritual yang dianggap sangat identik dengan dunia tak kasat mata.
Meskipun sekarang aku sudah tidak lagi tinggal di kota kelahiranku. Namun, kepercayaan, budaya bahkan tradisi itu terus ku bawa sampai hari ini. Salah satunya adalah kepercayaanku tentang bambu kuning. Dulu sebelum kepindahanku, ibu yang sering kupanggil mak, terus mewanti-wanti agar aku menanam bambu kuning di pojok rumah. Katanya untuk memberikan keselamatan dan menghindarkan keluargaku dari mara bahaya, akupun sangat mempercayainya. Namun, Â suatu kejadian menghilangkan kepercayaanku itu. Sebuah teror dan cerita yang ku anggap menakutkan menimpa keluargaku. Awalnya aku tidak mengira sama sekali bahwa rumpun bambu kuning itulah penyebab teror yang terjadi.
Malam itu aku dan suami kebetulan sedang duduk santai di luar rumah sambil berbincang. Kebetulan teras rumahku berhadapan langsung dengan rumpun bambu kuning yang tidak terlalu rimbun di pojokan. Ketika kami tengah terlarut dalam setiap obrolan dan kenikmatan secangkir kopi. Tiba-tiba tercium bau yang sangat busuk. Bahkan aku tidak bisa menggambarkan seperti apa baunya, saking busuk-nya.
"Mas, bau apa ini ya ?'' tanyaku pada suami dengan terus menutup rapat hidungku.
"Ia baunya busuk sekali, apa jangan-jangan bau bangkai tikus?" suamiku terus menggumam sambil mencari-cari sumber bau.
"Ndak mungkin lo mas, orang bau bangkai kok datangnya tiba-tiba. Lagian bau bangkai tikus itu tidak sebau ini, "aku berusaha menjelaskan dengan tetap mencari sumber bau.
Belum lama kami berkeliling mencari sumber bau, tiba-tiba lampu teras kami padam. Padahal kami lihat lampu-lampu tetangga masih menyala. Akhirnya kami putuskan untuk masuk karena kondisi yang gelap. Mungkin bohlam-nya rusak, pikirku.
Malam harinya ketika kami tidur, tiba-tiba terdengar suara menjerit dari kamar Rea, anakku yang berusia enam tahun. Aku hafal betul, itu suara jeritan Rea. Sontak, aku dan suami berlari menuju kamarnya. Namun kulihat dia masih tidur dengan tenangnya. Apa dia mengigau ? aku kembali berpikir positif. Meskipun sebenarnya ada rasa takut juga yang muncul dalam diriku. Apalagi besok mas Heru harus keluar kota karena suatu urusan.
Keesokan paginya setelah mas Heru berangkat ke luar kota. Aku mengantar Rea untuk berangkat ke TK-nya. Kebetulan kami berjalan kaki karena memang jarak TK yang tidak jauh dari rumah. Aku hanya mengantar sampai dia berhasil ku seberangkan jalan raya yang lumayan ramai. Ketika aku berjalan pulang, tiba-tiba ada tetangga yang bertanya padaku.
"Bu Angger, kenapa kok semalem di teras sambil siul-siul? Aku ngeri lo bu liatnya," ucapnya sambil mengelus bulu kuduk-nya.
"Maksutnya bu ?" aku bertanya sambil kebingungan karena memang tadi malam setelah lampu teras mati aku langsung pergi tidur.
"Gini bu, tadi malam itu kan saya sama suami pulang dari rumah mertua sudah larut sekali. Sekitar jam sebelas tiga puluh. Waktu kami lewat depan rumah bu Angger, kami lihat bu Angger sedang duduk nyantai di teras sambil siul-siul lo bu. Malahan awalnya kami kira bukan orang. Tapi setelah kami sapa dan ada jawaban. Kami baru yakin itu bu Angger."
Sontak hal tersebut membuat aku merinding, "Lohh bu, itu bukan saya. Saya tadi malam sudah tidur dari jam delapan."
"Bu, jangan bercanda saya jadi merinding ini."
Lama kami berbicara tentang keanehan rumahku. Sampai akupun akhirnya harus pulang karena sudah siang. Aku berusaha melakukan banyak hal agar aku tidak memikirkan cerita tetanggaku tadi. Namun ketika aku sedang menyuci, tiba-tiba ku dengar pintu depan di buka. Aku bergegas melihat siapa yang datang. Tapi masak ia tamu datang langsung buka pintu ? Setelah aku ke depan, ku lihat pintu itu masih tertutup rapat. Jelas-jelas tadi aku mendengar suara orang membuka pintu.
Malam hari aku sengaja menemani Rea bermain di ruang tengah. Tapi ada yang tak biasa dengan anakku ini, dia hanya duduk tanpa berkedip menghadap arah pintu depan. Akupun menepuk pundaknya. Saat itu juga, ia menangis sangat keras. Aku berusaha menenangkannya tapi tetap saja dia terus menangis. Sampai-sampai dua tetanggaku datang untuk membantuku. Akhirnya dia berhenti menangis saat meminum air yang sudah di bacakan ayat suci Al Qur'an oleh salah satu tetanggaku.
Teror itu tidak berhenti, dua hari setelah kejadian yang menimpa Rea. Kejadian serupa terjadi padaku. Tiba-tiba semua berubah jadi gelap dan aku sudah tidak mampu mengingat apa-apa lagi. Bangun-bangun aku sudah di sofa dengan banyak ibu-ibu mengerumuniku.
"Bu, saya kenapa bu?" tanyaku penasaran.
"Bu Angger tadi pas maghrib kami lihat hanya duduk termenung di bawah rumpun bambu kuning di pojokan. Karena khawatir saya berniat memanggil, tapi bu Angger tidak menyahut tapi malah ketawa-tawa sendiri bu."
"Akhirnya karena takut kami panggil Pak Handoko, salah seorang imam masjid komplek bu,"ucap salah seorang ibu menjelaskan.
Aku benar-benar tak habis pikir tentang yang menimpaku. Bukankah aku sudah menanam bambu kuning itu. Tapi kenapa ya hal aneh ini tetap terjadi padaku ? Akhirnya aku menelfon makku dan menanyakan tentang kejadian ini. Katanya aku tidak boleh ragu jika bambu kuning itu bisa menolak segala hal yang membahayakan keluargaku. Katanya yang terjadi padaku itu hanya pengingat supaya aku tidak ragu-ragu. Akupun mengikuti saran dari ibuku.
Benar saja, sudah sebulan tidak ada lagi kejadian aneh yang terjadi padaku dan keluarga. Namun anehnya, sebulan ini juga aku sangat malas untuk ibadah. Bahkan sering kali meninggalkan sholat. Pengajian RT juga tak pernah ku datangi. Hal serupa juga menimpa suami. Bedanya, selain malas ibadah dia juga menderita insomnia. Sedangkan anakku sering sekali rewel. Apalagi jika sedikit saja permintaannya tidak dituruti pasti dia akan menjerit dan rewel seharian.
Mungkin karena melihat keanehan yang terjadi padaku dan keluarga, suatu siang beberapa ibu-ibu dan pak Handoko datang ke rumah. Awalnya mereka menanyakan kenapa sekarang aku jarang keluar dan datang ke pengajian. Akupun menceritakan yang terjadi.
Setelahnya pak Handoko mengajakku keliling rumah, sampai tiba di dekat rumpun bambu, tiba-tiba aku tidak bisa mengontrol diri. Mulutku berteriak, mataku mengeluarkan air mata. Kakiku terasa panas dan ingin sekali aku menghentak-hentakkannya. Ku dengar pak Handoko terus melantunkan ayat-ayat. Aku merasa suara itu adalah suara yang mengganggu. Ku ingat hal seperti itu berlanjut cukup lama, sampai aku tidak mengingat apa-apa lagi.
Setelah aku terbangun, pak Handoko bertanya, "Bu, pohon bambunya bagus ya bu ?"
Meski merasa aneh dengan pertanyaannya aku berusaha tetap menjawab, "ia pak, itu tolak bala. Karena keyakinan saya pada pohon ini sebagai tolak bala, kejadian aneh yang menimpa saya beberapa waktu lalu sudah tidak terjadi."
"Bu, itu tandanya anda mengkeramatkannya. Padahal yang bisa menolak segala macam mara bahaya itu hanyalah pencipta. Mungkin karena itulah jin suka menghuni pohon itu. Jadi teror yang selama ini terjadi, termasuk perubahan sikap bu Enggar dan keluarga, penyebabnya adalah jin penunggu pohon bambu kuning itu. Sebenarnya tidak masalah menanamnya, hanya saja tidak boleh ada rasa pengagungan atau mengkeramatkan sesuatu. Bukan hanya pohon bambu kuning, apapun itu. Karena jika hal itu dilakukan jin akan senang menghuninya karena memang merasa diagungkan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H