Beberapa tahun yang lalu,tepatnya saat aku berada di kelas 9 SMP. Aku mengalami kisah yang sangat menyedihkan. Ayahku meninggal tepat ketika aku akan melangsungkan Ujian Nasional. Di mana aku yang harus berjuang sendiri dalam keterpurukan. Dimana aku harus semangat tanpa melihat senyuman sang mentari yang selalu menyambut dipagi hari. Aku menangis dalam kesendirian.
Kejadian ini bermula saat ayahku sakit parah,aku yang sudah terpisah rumah dengan ayah dikarenakan ibu dan ayahku memutuskan untuk bercerai disaat aku berada dibangku sekolah dasar.
Suatu hari aku tiba-tiba mempunyai firasat buruk tentang ayahku tepat saat itu pula ponselku berbunyi,seseorang dibalik telepon itu berkata kepadaku.
"Neng, kemarilah bersama adikmu.ayahmu sangat merindukanmu" ucapnya dengan suara yang terdengar pilu.
Entah kenapa aku merasa air mataku ingin menetes dan saat itu pula aku dan adikku langsung pergi ke rumah ayahku. Disana aku melihat ayah yang sudah berbaring tak berdaya,tubuhnya lemas tak mau bergerak,nafasnya pelan tak beraturan hingga dapat kuhitung berapa kali ia menghembuskan nafas dalam sekian menit. Aku meraih tangannya seraya berkata
"Pa,neng disini bersama adikku yang sangat merindukanmu" ucapku tepat ditelinganya. Dapat kulihat tetesan air mata yang perlahan jatuh dipelupuk matanya. Ia hanya bisa berkata tanpa suara hanya gerakkan dimulutnya yang dapat aku baca.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore,tadinya aku akan menginap hari ini.Namun tak memungkinkan dikarenakan adikku harus mempersiapkan bekal serta pakaian untuk dia bawa esok hari untuk melaksanakan study tour. Aku dengan terpaksa berpamitan untuk pulang kepada ayahku. Ayahku pun hanya menganggukkan kepalanya. Tak lupa akupun berpamitan kepada ibu tiriku. Aku meminta kepadanya agar ia menjaga ayahku dan segera telepon aku jika terjadi sesuatu.
Esoknya sepulang sekolah aku berencana untuk pergi ke rumah ayahku. Aku menceritakan semua yang terjadi kepada teman-temanku.
"vi,ta,lis,aku mau ke rumah ayahku sepulang sekolah nanti. Ayahku benar-benar sudah tidak bisa apa-apa lagi. Aku takut sesuatu terjadi padanya. Rasanya dari saat awal pelajaran berlangsung pun aku benar-benar tak fokus" ucapku dengan penuh kegelisahan
"Kita akan menemanimu,kita semua sahabatmu. Kita harus berada disampingmu,apalagi sekarang kamu pasti sangat membutuhkan kami disisimu. Tetap semangat,kita yakin ayahmu pasti sembuh" ucap elisa dan via menenangkanku
"Terima kasih,karena selalu ada untukku. Kalau begitu setelah pulang sekolah ayo ke rumah ayahku."
"Sama-sama. Tentu saja" ucap mereka serentak dan membuat kesedihan serta kegelisahanku berkurang
Bel pulang pun berbunyi,aku dan teman-temanku bergegas untuk pergi ke rumah ayahku. Sungguh jiwaku tak tenang,kegelisahan selalu menyelimutiku selama perjalanan.
Sesampainya aku disana,aku dan teman-temanku langsung menuju ke dalam rumah. Sungguh aku benar-benar lupa akan sopan santun saat itu. Aku hanya memikirkan ayahku dan ingin segera memeluknya.
Disana,aku melihat ayah masih terbaring dengan lemas. Bahkan jika aku katakan keadaannya lebih parah dari yang kemarin,sudah dibawa berkali-kali ke rumah sakit namun keadaanya semakin memburuk. Hingga saatnya kemarin ayahku ingin pulang ke rumah. Disini aku menggenggam erat tangannya,berbisik bahwa aku akan selalu disisinya,mendoakan supaya ia lekas sembuh. Aku menangis dan terus menangis,ayahku hanya melambai-lambaikan tangannya kepadaku.
"Pah,cepatlah sembuh. Aku janji tak akan membantah perkataan Papa lagi. Papa,aku dan adikku masih sangat kecil untuk berpura-pura dewasa. Aku tak bisa tanpa Papa" bisikku seraya menangis tanpa henti.
"Pa, maafkan aku. Maafkan ibu, maafkan adikku. Papa aku tak tega,benar-benar tak tega melihat ayah seperti ini."
"neng,adek" ucap ayahku pelan
"iya pa,neng disini." bisikku,ia hanya melambai dan terus melambaikan tangannya kepadaku
"Pa,jika memang Papa akan sembuh maka cepat sembuh Pa. Aku benar-benar rindu ocehan Papa. Namun jika Papa tak kuat aku ikhlas asalkan Papa tak merasa sakit lagi. Aku benar-benar ikhlas,akan ku sampaikan permintaan maaf Papa untuk orang-orang di rumah." bisikku setegar mungkin
Tak terasa hari sudah sangat sore. Teman-temanku berpamitan kepada ayahku untuk pulang.
"Pah,hari sudah sangat sore. Teman-temanku harus pulang. Aku berjanji nanti malam aku akan kesini untuk menginap disini. Aku hanya pulang ke rumah intuk mengambil baju ganti. Assalamualaikum Pa"
Sesampainya aku dirumah,aku bergegas untuk menyiapkan pakaian serta makan terlebih dahulu. Aku yang baru mengalas nasi,tiba-tiba ponselku berbunyi dan tepat pada saat itu adikku pulang. Ibuku langsung mengangkat ponselku. Aku melihat matanya yang berkaca-kaca serta raut muka yang tak terbaca.
"Mah ada apa?" tanya adikku yang baru meletakkan tasnya,tak sempat ia memgucapkan salam karena melihat raut kegelisahan ibuku
"Ayo kita kesana" ucap ibuku terburu-buru tanpa menjelaskan apa yang terjadi
"Apa yang terjadi Ma? Apa ada sesuatu yang terjadi sama Papa?" ucapku dengan menangis sarat akan kegelisahan
"Papamu meninggal nak."
Hanya tiga kata namun kata itu benar-benar membuat hatiku menjerit,hidupku terasa berhenti dalam sekejap.
Ayah pergi secepat ini
Tiba disana aku melihat ayah yang sudah tertutup kain,aku dipersilahkan untuk membuka kain itu,melihat ayahku tuk terakhir kalinya. Kulitnya yang putih menjadi kuning bercahaya,bibirnya yang tipis tersenyum dengan indahnya.Â
Seakan ia benar-benar bahagia. Aku tergugu lama,menyaksikan ayahku tuk terakhir kalinya. Kini aku mengerti mengapa ia terus melambaikan tangannya padaku,kini aku mengerti bahwa ia menunggu keikhlasanku.Â
Sekarang ayahku telah pergi. Semua kenangan yang terjadi tiba-tiba menguap kembali bagaikan kilasan film yang diputar tanpa henti. Disini,aku berada disampingnya sembari membisikkan perkataanku tepat ditelinganya
" Pa,meskipun sekarang Papa sudah pergi. Aku berjanji akan menjadi anak Papa yang tumbuh dengan baik,berkunjung kemakam Papa. Dan berdoa agar kita dapat berkumpul kembali meskipun tidak disini lagi.Â
Aku yakin,aku pasti bisa tanpa sosok seorang Papa. Bukan berarti aku melupakanmu,Papa akan menjadi orang yang akan ku sebut dalam bait doaku,dalam kalimat rinduku,serta orang yang akan ku simpan dihati kecilku. Pa,tunggulah aku. Aku sangat mencintaimu " ku kecup keningnya lama dan kututup kainnya dengan segala keikhlasanku.
Ku menatap iba adikku,ia masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok seorang ayahku. Jika adikku masih bisa tegar,kenapa aku tidak? Aku pun harus berusaha untuk tegar,meskipun kesedihan mendominasiku. Beberapa hari lagi,aku akan menghadapi Ujian Nasional. Dimana aku harus belajar tanpa seorang penyemangat dalam hidupku. Cinta pertamaku telah pergi,salah satu kebahagiaanku hilang,entah bagaimana aku mrncoba menghadapinya. Ujian hidupku sedang diuji,membuatku sempat kehilangan arah.
Ayah,damailah disana. Doakan saja aku menjadi anak yang berbakti kepadamu. Aku berjanji ketika aku sukses nanti aku akan menunjukkan kepada dunia bahwa aku bisa meskipun tanpa dirimu.Â
Seiring waktu berlalu,aku perlahan mulai bangkit dari keterpurukan. Aku menyusun langkahku tuk menggapai masa depan. Besok adalah Ujian Nasional yang akan ku hadapi. Sebelumnya,aku berkunjung ke rumah ayahku. Meminta izin agar aku dilancarkan dalam menghadapi Ujian ini. Tak lupa aku membaca ayat-ayat al-qur'an di depan makamnya. Aku berbisik tepat dihadapan nisannya.
"Pah,ini aku anakmu. Besok adalah akhir dari perjuanganku di SMP,bertepatan dengan hari ke tujuh Papa meninggalkan kami semua. Damailah disana Pah. Tunggu kami,kami mencintaimu."Â
Bagaikan dejavu,akupun mengecup nisannya dan pulang meninggalkan makamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H